Biasanya aku sudah menutup mata, tidak memedulikan malam dan berharap pagi cepat berlalu lalu kembali ke sekolah. Tapi tidak dengan malam ini, malam pertamaku pada kehidupan perkuliahan yang harus diisi dengan berjalan menuju rumah orang yang baru kukenal beberapa jam yang lalu, aku berkelana bersama angin malam.
Suasana malam ini begitu menarik, cahaya bulan meriahkan pemandangan kota yang terang benderang. Lampu putih bundar menghiasi trotoar setiap beberapa meter, serta pot semen yang ditumbuhi bunga berwarna-warni, berbaur dengan puluhan cahaya hp orang yang sedang lewat.
Disela-sela orang-orang ini, ada aku sedang menarik napas pendek sepanjang melangkahkan kaki. Melewati jejeran gerai yang menurunkan pintu rolling doornya. Lampu neon puluhan watt, menyinari tirai.
Aku melihat layar hpku, tidak aku sangka waktu telah menunjukkan pukul 09:10. Lima belas menit sejak aku berlari keluar meninggalkan Kafe. Di jalanan aku menatap keramaian isi toko-toko yang masih buka. Menerka-nerka belokan mana yang harus kulalui. Mengikuti ingatan peta yang telah kulihat sebelumnya.
Semakin lama aku berlari, semakin aku merasakan perubahan suasana yang tercipta. Suara langkah kaki manusia tergantikan oleh suara angin yang berhembus di antara dedaunan yang tertancap dan tegap di sela-sela terotoar.
Suasana begitu kontras saat aku melewati pilar pintu masuk, kata selamat datang dan selamat jalan pada kedua sisi papan. Sekarang bangunan yang terlewat hanyalah rumah biasa, tanpa pintu tambahan berupa rolling door, ataupun kaca besar yang dapat membantu kita melihat isi dalam rumah.
Perlu waktu yang cukup lama hingga akhirnya aku melihat berbagai rumah berjejer dengan pintu yang tertutup rapat dengan satu diantara rumah itu yang terlihat ramai akan motor yang terparkir. Pintu pagar yang terbuka. Tidak seperti rumah yang lainnya, dengan pencahayaan pada bagian luar seadanya, rumah itu terlalu terang.
Aku berjalan mendekat, mengatur ulang napas karena lelah berlari kecil.
Aku memastikan lokasi rumah itu di peta. Jika kutaksir gambar yang terpampang, icon pada peta tidak tepat, tapi aku tak terlalu memperdulikannya. Karena kulihat samar-samar beberapa anak yang kukenal.
Perlahan aku mendekati rumah itu, dan aku bisa mendengar suara canda gurau, padahal jarakku dengan rumah itu masih terbilang jauh. Jeritan melengking sempat kudengar.
Aku mengintip sedikit, mencari papan nomor rumah yang biasa ada di pintu rumah. Lalu kulihat manusia-manusia yang berada di beranda depan rumah.
Kulihat sudah ada sembilan orang yang sedang duduk di berbagai tempat, dua dari mereka sedang memegang karton besar dan dua orang yang lain memotong karton itu dengan gunting. Tiga orang duduk melingkar, memegangi karton dan penggaris besi sepanjang 30 centimeter lebih sedikit karena untuk lubang jika ingin menggantungkan di paku yang ada di dinding. Terakhir ada seorang cowok dan cewek yang duduk saling berhadapan, si cowok yang bernama Fajri merentangkan karton dan sementara si cewek yang bernama Mitha menyelimuti karton dengan kertas berwarna, mereka terlihat tidak fokus dalam bekerja melainkan saling melempar canda.
Sembilan orang ya, ditambah denganku berarti ada sepuluh orang yang datang. Berarti pas setengah yang hadir.
"Assalamualaikum." Salamku pada mereka.
"Waalaikumsalam." Jawab mereka hampir bersamaan. Enam orang menoleh ke arahku, melihat siapa yang memberi jawab. Tiga orang lainnya asyik dengan pekerjaannya sendiri.
"Yeee... ada yang datang lagi. Bala Bantuan" Ucap Faris yang aslinya sedang memberi garis pada karton tapi menghentikan tangannya karena mengangkat kedua tangannya.
Aku yang tak tahu harus membalas apa, hanya tersenyum kecil.
"Maaf, ya terlambat."
"Gapapa, santai aja. Masuk ra." Kata Puri sebagai pemilik rumah.
"Dih, curang. Kalau cewek telat dimaafin, gue tadi lu kata-katain." Potong cowok yang aku lupa siapa namanya. Aneh rasanya mendengar kata lu gue an.
"Biarin, weeek...." Ejek Puri
"Kok baru dateng ra?" Tanya Mitha.
"Ehmm... anu... itu.. sibuk urusan kosan." Jawabku seadanya, mana mungkin aku bisa bilang kalau aku lupa waktu karena terlalu lama bermain game.
"Oh yaudah, sekarang udah gak sibuk kan?" Tanya Mitha sekali lagi.
"Lumayan." Jawabku rancu.
Aku berjalan masuk dan duduk didekat orang yang berada di ujung lantai, aku memandangi mereka bekerja karena tak tahu harus mengerjakan apa.
"Ra, jangan duduk di sana, sini... bantuin." Ucap mitha sambil memberikan sebuah kertas karton dan gunting.
"Oke, Kurang apa? Apa yang bisa kubantu?" Tanyaku.
"Ini bentar lagi selesai, habis ini bisa dikumpulin ke kak Nia."
Di sela-sela pekerjaan kami saling bercerita, membahas identitas masing-masing, untuk saling mengakrabkan diri. Baru aku tahu, kalau aku cukup terlambat, karena yang tidak di sini sedang keluar karena membeli karton lagi karena terdapat kesalahan memotong sehingga memerlukan karton yang baru. Ada juga yang masih beli makan, dan kegiatan lainnya.
"Eh, Memang show off mau bikin apa?" Tanyaku. "Kelompok kita dapat tema tentang pengaruh Dokemon Go, kan?"
"Aku gak tau Dokemon."
"Kamu kan lucu, gimana kalau kamu stand up aja?" Fajri menoleh pada Bagas yang sebenarnya masih sibuk menggarisi.
"Anjir, numbalin satu orang." Balas Bagas
Berbagai pendapat terlontarkan. Hingga seluruh ide buntu, dan berakhir pada pilihan bernyanyi.
"Gak asik ah, masa nyanyi."
"Terus apa dong?"
"Eh mit, katanya kamu dulu anak theater ya? Gimana kalau pertunjukan aja?"
"Wah, ide bagus tuh."
Satu demi satu berkata setuju, dan entah bagaimana cerita mitha ditunjuk menjadi sutradara. Kemudian, pembahasan berganti menjadi naskah apa yang akan dimainkan.
Karena beberapa orang tidak terlaku mengenal Dokemon, aku menjelaskannya cukup singkat agar dapat diterima semuanya.
Beberapa orang melihat kearahku.
"Kayaknya Aira tahu banyak tentang Dokemon ya, Gimana kalau tokoh utamanya Aira saja."
Semua orang serempak berkata setuju.
Waduh.
***