Chereads / Secangkir Teh di Kedai Kopi / Chapter 7 - Cangkir ke-6 : Lupa Waktu

Chapter 7 - Cangkir ke-6 : Lupa Waktu

Klik klik klik, tap tap....

Sepasang tangan melayang diantara keyboard dan mouse, ketukan ritme suara seperti harmoni. Layar berkedip cepat dengan cahaya terang menampilkan pedang yang berayun dari kanan ke kiri, kemudian beralih kiri ke kanan melukai manusia yang ada didepannya, tanpa perlu waktu lama

ia jatuh tersungkur dan menyemburkan darah.

Tanpa sadar aku terkekeh saat mengangkat kedua tangannya dari mouse dan keyboard, bersamaan dengan layar yang berhenti berganti bergerak hingga menunjukkan logo 'Victory'.

Senyum manis tak dapat kutahan sehingga harus muncul dari raut wajahku.

"Hari ini menang lagi, fufufu" Ucapku hati.

Arena pertempuran berubah menjadi game summary. Menunjukkan rangkuman pertandingan yang terjadi, ditengah layar menampilkan sepuluh karakter yang ikut berpartisipasi dan terbagi menjadi dua tim, jumlah kill/death/assist, dan masih banyak lagi.

*Deennggg....*

Suara khas yang menampilkan hadiah item jika beruntung.

"hmmm, apa ini?"

Aku terkesima dengan hadiah item yang kudapat, jika kuperhatikan item ini termasuk langka.

"Boleh juga nih." Pujiku.

Aku berniat menggunakannya dengan segera, untuk memperkuat karakterku, tapi karena semua pertempuran yang kulalui, aku merasa haus sehingga menghentikan aktivitasku sementara untuk membeli minuman.

Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuruni tangga menuju meja resepsionis, yang kutemukan dibalik meja adalah mbak Intan yang sedang mencuci gelas diwastafel.

Aku memanggilnya dari depan mesin kasir.

"Mbak, pesan satu botol air mineral."

Mbak Intan menoleh, dan segera mengambil botol yang ada di lemari pendingin lalu menyuguhkannya padaku.

"Terima kasih." Ucapku sambil memberi uang pas.

Aku berpaling dan melangkah menaiki tangga, tak sabar ingin mengupgrape karakter.

Tapi, aku menemukan seorang pria berdiri tepat dikomputerku dan tangan kanannya memegang mouse. Pria berambut hitam bergelombang, jika ditaksir tingginya melebihiku sepanjang sepuluh centimeter. Jika diperhatikan, sepertinya umurnya tak jauh beda dariku.

"Hoo... seorang slayer player dan lv akunnya.... 57?." Ucap pria itu pada diri sendiri.

Takut jika terjadi apa-apa dengan akunku, aku berlari mendekatinya. Susah payah aku membangun karakter dari awal, tak akan kubiarkan ada orang yang mengacak-acaknya.

"Hei! apa yang kau lakukan dengan komputerku?" Tanyaku dengan sedikit keras.

Tanganku bergerak cepat kearah tangannya yang sedang memegang mouse dan membuatnya melepaskan genggamannya.

Ia yang kaget dengan kehadiranku lalu melompat kebelakang, berusaha melepaskan tanganku.

"Jadi kau pemilik akun ini? maaf-maaf, jika melihat role slayer aku jadi bersemangat. Sebagai permintaan maaf bagaimana jika kuberikan sosis ini? lalu kita pvp 1vs1? Besft of 5?" Ucapnya memohon sambil mengulurkan sosis besar yang ada ditangan kirinya.

"Kenapa aku harus meladenimu?" Tanyaku.

"Ayolah, tidak ada ruginya untukmu, kau mendapat camilan."

Aku mengamatinya, dari ujung kaki hingga kepala. Sepertinya bukan orang jahat, harusku kuterima?

"Bagaimana? ya? ya? Sosis ini enak loh, baru saja selesai dimasak."

Matanya seolah memohon, menginginkanku berkata 'ya'.

Aku menghela napas panjang, mencoba menahan emosi.

"Baiklah..." Aku mengiyakannya.

"Yeay, tunggu sebentar, aku akan segera login."

Katanya sambil pergi entah kemana.

Aku duduk kembali, mengamati layar untuk memeriksa apakah ada perubahan.

Aku tak menemukan apapun kecuali profil akun yang terbuka.

*Tiinngg...* Suara penanda pesan masuk.

"Hei, ini aku. ayo pvp." isi dari pesan tersebut, meski aku tak mengenal pemilik akun ini tapi bisa kupastikan dia orang tadi.

Tunggu, bagaimana dia bisa tau ID-ku? apakah saat dia melihat profil?

Aku berharap cuma itu yang ia lihat.

"Ya" Jawabku singkat.

Setelah percakapan singkat untuk menentukan map, kami memasuki sebuah room dan layar berubah menjadi loading.

***

Malam semakin larut dan rasanya sudah sangat gelap, tapi lampu Delta Cafe masihlah terang benderang. Aira dan penghuni warnet lainnya betah tertahan di kursi masing-masing, menikmati permainan yang disuguhkan.

Permainan berakhir. 5:0 VICTORY

Wajah pria itu tersenyum melihat layar monitornya. Tangan kirinya menopang kepalanya, menutupi sebelah matanya sambil menutup mata.

Sementara itu, Aira menoleh ke arah jam dan menemukan sudah pukul 08:55, dan baru kuingat jika ada kerja kelompok.

"Eh, sudah jam segini."

"Aku harus pergi, terima kasih untuk sosisnya. Permainan yang hebat" ucap Aira pada pesan singkat ke pria tadi.

Aira memencet tombol close dan menonaktifkan billing lalu berlari keluar ruangan, tepatnya keluar kafe dan pergi kerumah teman sekelompok.

Pria itu tak membalas pesanku, tubuhnya tetap diam. Perlahan-lahan ia membuka matanya, melihat dari sela-sela jari.

Wajahnya berubah menjadi pucat pasih, keringat hendak menetes.

"..."

'5:0 DEFEAT' berwarna merah terang tertampang dilayarnya. Rupanya kemenangan diraih oleh Aira.

"Apa?, aku kalah? siapa wanita ini? Aku dikalahkan oleh orang berlevel 57?

Ia menoleh kearah samping kanannya. Terdapat lelaki yang sepertinya temannya. Jika Aira melihatnya, pasti akan gugup karena seharian ini ia banyak bertemu dengannya, orang yang menyelamatkannya dari hukuman pagi hari tadi. Saat ini dia tak menolehkan kepalanya, bahkan sepertinya ia telah menunggu saat-saat ini. Kemudian dia bertanya singkat, "Bagaimana?"

"Gilak, permainan yang hebat banget, gak nyangka dia sejago itu. Kirain bakal menang mudah, tapi aku cukup kewalahan mengimbanginya. Ditambah lagi, yang memainkannya adalah wanita cantik, jarang-jarang ada pemain wanita, apalagi yang jago seperti dia. Tapi tenang saja, aku tak akan macam-macam dengannya."

Keduanya tersenyum puas, tapi kata-katanya tetap tak membuatnya pantas untuk dilihat, lawan bicaranya tetap diam dan terus menatap layarnya lalu menggerakkan kedua tangannya.

Tak berhenti sampai disitu, pria itu melanjutkan pujian panjangnya. Sampai akhirnya, pria itu mengambil napas panjang, mencoba menenangkan dirinya dari semangat bermain yang telah berlalu.

Matanya berubah jadi lebih serius. Kali ini, ia mendapat perhatian. Kursi berputar dan saling berhadapan, begitupula yang mendudukinya.

"Jadi dia yang kau maksud? Pilihanmu memang tak pernah salah, dra."

***