Chereads / MY UNCLE, MY HUSBAND / Chapter 16 - SURAT ANCAMAN

Chapter 16 - SURAT ANCAMAN

Hatiku ternyata sangat lemah paman, terlalu lemah untuk bisa membencimu." bisik hati Nadine.

"Nad, apakah keputusanmu bertunangan dengan marvin bulan depan apa sudah benar-benar kamu pikirkan?" tanya Ardham sambil membelai rambut Nadine yang masih dalam pelukannya.

Nadine mendongakkan wajahnya menatap mata Ardham, jujur Nadine tak bisa menjawab pertanyaan Ardham yang baginya sangat sulit untuk menjelaskannya.

"Jika kamu tidak ingin menjawabnya tidak apa-apa, paman tidak akan memaksamu." lanjut Ardham.

"Paman." panggil Nadine pelan.

"Hm...apa?" parau suara Ardham, membuat aliran darah Nadine terpacu cepat, ada gelora yang Nadine rasakan.

"Jangan pernah meninggalkan Nadine lagi, hanya paman yang Nadine miliki di dunia ini?" cicit Nadine sedih ingin menangis.

"Benarkah itu Nad?" bukannya sekarang sudah ada Marvin yang mencintaimu dan akan menjagamu selamanya?" ucap Ardham menahan cemburu.

"Paman!" jangan menggoda Nadine terus, Nadine serius paman." elak Nadine dengan bibir manyun.

"Paman, menurut paman apakah Marvin laki-laki yang baik?" tanya Nadine menatap tepat di manik mata Ardham. Ardham tidak menjawab pertanyaan Nadine,

"Kalau menurutmu?" Ardham tanya balik.

"Marvin laki-laki yang baik paman, dia sangat sayang sama keluarganya, dan Marvin juga tampan kan paman?" Nadine mulai terbuka pada Ardham, Hati Ardham mencelos saat Nadine bilang kalau Marvin tampan.

"Tampan mana sama paman?" tantang Ardham dengan hati kebat kebit.

"Emmmmmm." Nadine menatap wajah Ardham menelusuri tiap incinya lewat matanya. Ardham merasa malu dan memalingkan wajahmya. Tangan Nadine menahan rahang Ardham agar wajah Ardham tetap pada posisi menatapnya.

"Lebih tampan Paman, bagi Nadine..pamanlah laki-laki paling tampan di dunia ini." ucap Nadine tak lepas dari pandangannya menatap Ardham.

Wajah Ardham bersemu merah, seperti remaja yang lagi jatuh cinta. Bibir merah Nadine bergerak indah saat berbicara, membuat aliran darah Ardham terasa hangat di sekujur tubuhnya.

"Semakin dewasa, kamu semakin pintar menggoda dan merayu hm." ucap Ardham sambil melepaskan pelukannya, kemudian berdiri dan duduk di tepi ranjang.

"Paman mau mandi dulu, sekalian berangkat kerja, kamu tidurlah semalaman kamu tidak ada tidurkan?" lanjut Ardham menyentuh kepala Nadine.

Nadine mengangguk kecil. Hatinya sedikit penasaran dengan pujiannya Ardham tampak tenang-tenang saja.

Dengan berdiri Ardham mencium kening Nadine lembut.

"Selamat tidur peri kecil." ucap Ardham sambil mengusap pipi Nadine dan melangkah keluar kamar.

Nadine menekan dadanya yang berdetak kencang, perhatian dan sikap pamannya yang berubah 180 derajat, sekarang membuatnya menjadi lebih gelisah. Karena mengingat ucapan dan janjinya pada Marvin.

" Aaakkkkhhhhhh kenapa hal manis ini terjadi di saat setelah aku memutuskan bertunangan dengan Marvin." hati Nadine menjerit, menatap samping dinding kamarnya sambil memeluk gulingnya erat.

Ardham memasuki kantornya dengan hati yang terasa ringan, peraasaannya serasa terbang dengan perhatian dan kasih sayang yang di berikan Nadine padanya. Apalagi saat Nadine mengatakan hanya dirinya laki-laki yang paling tampan di dunia.

Bibir Ardham terangkat dengan membentuk sebuah senyuman. Tersenyum sendiri di kursi meja kerjanya, mengingat bibir merah Nadine yang bergerak sangat indah saat berbicara serta kecemasan di wajah Nadine saat merawatnya.

Mata Ardham terpejam di tekannya dadanya yang berdetak seirama degup jantungnya.

"Nadine, peri kecilku." desah Ardham di sela senyum bibirnya.

"tok...Tok"

Pintu terbuka, seorang pegawai Ardham yang menangani penerimaan kiriman atau paket , masuk dari balik pintu dengan membawa dokument-dokument penting di amplop coklat.

"Tuan, ini ada beberapa paket dokument dari empat perusahan dan dan yang satu ini tidak jelas pengirimnya Tuan." jelas pegawai Ardham yang bernama Pak Iwan sambil meletakkan semua paket di atas samping meja kerja Ardham kemudian menunduk hormat keluar dari ruangan Ardham.

Ardham Mengambil semua dokument yang beramplop tersebut, di lihat dan di bacanya satu persatu pengirim dari lima dokument tersebut.

Ardham mengamati salah satu amplop yang tidak ada pengirimnya bahkan di lihatnya tidak ada stempel dari mana di kirimnya. Dengan penasaran Ardham membuka amplop tersebut, ada selembar surat yang tak terlipat dan beberapa foto di sana.

Tangan Ardham sedikit gemetar saat melihat beberapa foto tersebut. Terlihat jelas dua foto Nadine saat sendiri, dan dua foto lagi saat bersama Marvin.

Melihat latar belakang foto Nadine dan Marvin Ardham yakin foto itu di ambil saat Nadine dan Marvin berada di halaman kampus, dan di parkiran kampus.

Pikiran Ardham mulai mengingat kembali surat Arsen yang di berikan padanya tiga hari sebelum terjadi kecelakaan.

"Apakah kiriman ini ada kaitannya dengan kematian Arsen dan ancaman yang di tujukan pada Arsen?" Ardham berpikir keras, di keluarkannya selembar surat dari amplop tersebut di bacanya dengan hati yang tidak tenang.

"Sepandainya kamu menyimpan identitas Nadine, dan menyembunyikannya, aku akan tetap tahu. Nadine adalah putri dari Arsen, maka Nadine pun harus hilang dari dunia ini. Kamu tidak akan mampu menghentikan jalanku. Carilah jalan selagi kamu bisa, Nadine sudah dalam genggamanku bahkan Marvin putra dari Bella akan dalam bahaya jika ikut terlibat.Jaga Nadine dengan baik, sedetik kamu berpaling nyawa Nadine akan tamat "

"Aaaaahhhhhh!! bedebah!" teriak Ardham, melempar surat tersebut ke atas meja. Ardham mengambil ponselnya kemudian menghubungi sahabatnya yang selama ini membantunya untuk menangani kasus Nadine.

"Abay, segera kamu ke sini, dan bawa surat penting yang dari Arsen dulu. Barusan aku mendapatkan kiriman dari orang itu, dia sudah tahu identitas Nadine, kalau Nadine adalah anak Arsen." jelas Ardham dengan wajah yang sangat serius.

"Kamu di mana sekarang Dham? lama kamu tidak menghubungiku?"

"Aku sudah kembali ke sini, aku menunggumu di ruang kerjaku."

"Oke, lima belas menit lagi aku kesana."

Ardham menutup panggilannya dan segera menelpon Nadine.

"Nadine kamu di mana?"

"Masih di rumah paman, ini Nadine mau ke kampus ambil jadwal siang."

"Mulai sekarang, jika ke kampus atau keluar kemanapun, paman akan mengantarmu." suara tegas Ardham

"Ennngg, tidak bisa begitu paman, kan Nadine juga ada acara sama teman, sama Vio sama Marvin." balas Nadine dengan sedikit heran dengan sikap Ardham yang terlihat posesive.

"Nadine, menurutlah pada paman, ini demi kebaikan kamu peri kecil."

Hati Nadine meleleh, walau hanya di panggil peri kecil oleh Ardham.

"Baiklah paman, tapi Nadine sekarang sudah ada janji sama Marvin paman, tidak enak nanti sama Marv."

"Kamu batalkan janjimu hari ini sama Marvin, kamu jangan ke mana-mana, siang nanti paman pulang."

Ardham segera menutup ponselnya bersamaan munculnya Abay dari balik pintu.

"Bay, duduklah." Ardham menyilahkan Abay untuk duduk di depannya.

"Ini Dham surat Arsen dulu, aku sudah melaminatingnya biar tidak hancur, surat ini jangan sampai hilang karena dari ungkapan hati Arsen ini, bisa di jadikan sebagai bagian dari barang bukti." ucap Abay menyerahkan surat Arsen ke Ardham.

Ardham menekan pelipisnya dengan wajah serius.

"Aku tidak tahu caranya untuk membuktikan kalau orang terdekat Arsenlah dalang dari semua ini, dan apa motifnya sampai dia tega membunuh Arsen." keluh Ardham.

"Penyelidikanku memang mengarah ke situ Dham, tapi aku harus memastikan lagi dari Kenzi kakak kandung Kayla, mungkin ada petunjuk dari sana, karena permasalahan yang utama di sini sebenarnya adalah Arsen." sahut Abay.

"Sulitnya Bay, jika memang orang itu dalang dari semua kejadian ini, kita tidak menemukan bukti apa-apa di mobil itu, jadi jalan satu-satunya kita harus menantangnya untuk keluar." ucap Ardham menatap Abay.

"Apakah kamu siap dengan resikonya jika menantangnya keluar, nyawamu dan Nadine jadi taruhannya." tatap Abay tajam. Tangan Ardham mengepal.

"Aku siap dengan resiko itu, aku minta anak buahmu untuk selalu memantau dan menjaga Nadine di manapun Nadine berada, aku juga akan selalu menemani Nadine." Ardham berdiri dan melangkah ke lemari besi kecil yang berada di balik lukisan.

Di ambilnya dua pistol dan di letakkannya di hadapan Abay.

"Belikan peluru untuk pistolku ini, aku sekarang membutuhkannya." ucap Ardham dengan suara dingin.

Abay mengambil pistol itu dan memasukkannya ke dalam tasnya.

"Siap Dham, besok segera aku ke kota B Untuk menemui Kenzi, kamu harus hati-hati mulai sekarang Dham." pesan Abay sebelum meninggalkan ruangan Ardham.