Chereads / Who Are You In My Mind / Chapter 2 - Chapter 2: Kegelisahan Pertama

Chapter 2 - Chapter 2: Kegelisahan Pertama

Potongan-potongan kejadian yang muncul di dalam ingatannya tidak seratus persen diyakini. Itu hanya seperti potongan mimpi buruk yang ingin segera dilupakan. Tapi, ada rasa sakit yang ia rasakan di kepalanya, dan ia berada di tempat yang tidak dikenal. Amira tidak punya jawaban ketika dirinya sendiri bertanya, "Apa yang terjadi padaku?"

"Sudah bangun?" seorang laki-laki dengan postur tubuh tinggi mendatangi Amira.

Amira mendesis, ia akhirnya sadar kejadian buruk yang seperti potongan mimpi itu adalah kenyataan yang membuatnya hampir mati. Orang di hadapannya sekarang adalah orang yang sama yang keluar dari Lamborghini hitam. Dalam ingatan Amira, laki-laki itu mengekang tangan orang yang tidak waras dengan ikat pinggang, kemudian memasukkannya ke dalam mobil.

"Ini di mana?" tanya Amira memperhatikan sekelilingnya.

"Rumah sakit," jawab orang yang berpostur tinggi, tampak elegan dengan setelan kemeja berlapis blazer dan jeans hitam. Poninya jatuh ke depan, menutup setengah wajahnya. Tapi, senyum yang lebar dari orang itu masih bisa dilihat Amira.

Amira mengerutkan kening, tidak terlalu yakin kalau tempat mereka sekarang adalah rumah sakit. Ruangan itu lebih mirip hotel, dengan tempat tidur yang besar berlapis selimut berwarna keemasan.

"Maksudku kita di rumah sakit jiwa dan ini ruangan pribadiku," tambah orang yang kemudian berjalan ke lemari dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah wadah segi empat berbahan stainless yang biasanya hanya ada di rumah sakit atau klinik-klinik kesehatan. Ia kemudian menarik kursi ke dekat meja samping tempat tidur. Orang itu membuka wadah dan meletakkan tutupnya di atas meja. Tutup diletakkan terbalik dengan gagang menempel ke meja. Ia juga menuangkan cairan berwarna merah pekat ke dalam sebuah mangkuk kecil yang ada di dalam wadah. Gunting, kain kassa terlipat dan penjepit besi juga ada di dalam wadah tersebut.

Amira yang duduk 90 derajat di atas tempat tidur bergeming. Tidak ada yang bisa dipercaya dari apa yang ia lihat. Kecuali fakta bahwa orang yang duduk di hadapannya benar-benar kaya. Lamborghini hitam, tempat di mana ia menghempaskan tubuh orang tidak waras, kemudian mengikat tangan orang itu dengan ikat pinggang yang bermerk D&G.

"Bagaimana perasaanmu? Kejadian tadi... pasti membuatmu sangat terkejut," kata orang di hadapan Amira. Orang itu menjepit kassa dengan alat berbahan stainless, mencelupkannya ke dalam cairan berwarna merah pekat, kemudian mengarahkan benda itu ke dahi Amira.

Amira sempat menghindar.

"Biarkan aku mengobati lukamu!" katanya.

Amira akhirnya menurut tanpa melepaskan sorotan kewaspadaan. Orang di hadapannya, cukup mengerikan ia kira karena nekat berkelahi dengan orang yang tidak waras yang memegang belati. Kesimpulannya, dia tidak kalah gila. Namun, persepsi Amira terusik karena sikap dan cara bicara orang itu jauh berbeda dari pertama kali mereka bertemu. Amira merendahkan sorot mata ketika orang yang bilang akan mengobatinya mulai membubuhkan sesuatu ke kening Amira. Amira meringis berkali-kali dan ketika itu juga orang yang mengobatinya melemahkan tekanan tangannya.

"Vero, pasien kamu sudah tenang."

Suara itu terdengar dari belakang.

Orang yang mengobati Amira, dia menghentikan gerak tangannya dan meletakkan penjepit stainless kembali ke dalam wadah.

"Gantikan aku!"ujarnya sebelum beranjak pergi.

~II~

"Mana dia?" kening Vero mengerut. Tempat tidur kosong dan ia tidak menemukan siapa pun selain dirinya dan Angel ada di ruangan itu.

"Mana aku tahu. Tadi dia masih di sini. Nggak sopan banget, sich! Udah ditolong... malah pergi gitu aja!" tukas Angel.

Mata Angel menerawang ke sudut-sudut ruangan. Naluri perempuan yang memaksanya untuk peduli setiap hal yang berhubungan dengan Vero, meski itu membuatnya merasa tidak nyaman.

"Aku cuman khawatir kalau luka di kepalanya parah. Benturan di kepalanya cukup keras, seenggaknya mesti diobservasi selama 2x24 jam untuk memastikan dia baik-baik saja."

"Kayaknya kamu perhatian banget sama dia!" Angel menunjukkan ketidaksenangannya.

"Bukan perhatian, tapi tugas seorang dokter memastikan pasiennya baik-baik saja."

"Tapi, dia bukan pasien kamu!" sergah Angel dengan nada suara meninggi.

Vero kembali tersenyum ringan. "Nggak usah cemburu kayak gitu, dong! Sekarang dia kabur. Aku tidak tahu nama, alamat dan aku tidak punya niat untuk mencarinya. Apa menurut kamu ini pantas untuk dipermasalahkan?"

Senyum Angel melebar. Ia menggenggam lengan Vero," Ok. Aku minta maaf!" katanya manja.

~II~

Alvero Yudistira, sebagai seorang dokter spesialis kejiwaan, keahlian yang ia punya adalah cara berkomunikasi yang baik, kemampuan mengerti orang lain dan tahu caranya bersikap. Sesuatu yang membentuk pribadinya terlihat sangat baik. Dia bahkan akan tetap tersenyum ketika ada yang menamparnya karena ketidaksadaran mereka. Dan Angel, sejak pertama kali Vero melihatnya, Vero mengira Angel adalah orang yang ambisius, tujuh puluh persen agresif. Sayangnya, Vero tidak salah soal penilaiannya. Vero tahu Angel bahkan menyukai dirinya sejak pertemuan pertama mereka di rumah sakit jiwa. Angel seorang Psikolog dan bekerja satu tahun lebih lama dari dirinya. Mereka sudah dipasangkan sebagai rekan kerja sejak Vero ditempatkan di rumah sakit itu. Angel menjelaskan beberapa hal tentang yang harus dikerjakan di rumah sakit, secara dia seorang senior. Vero mendengarkan dan menurutnya tidak ada hal yang istimewa yang terjadi di hari pertama pertemuan mereka. Hanya saja, pertanyaan Angel mulai menjamah ke hal-hal pribadi setelah satu jam kemudian mereka memutuskan berteman.

Sikap Angel yang spontan dan jujur, membuat Vero tidak bisa mengabaikan Angel begitu saja. Dia juga cerdas dan cantik. Hanya saja, bukan berarti Vero ingin hubungan mereka terikat dalam sebuah status. Angel, sebenarnya tidak ingin mengerti kenapa Vero begitu sulit menjadikan dirinya sebagai seorang kekasih. Hingga sekarang, hubungan mereka terkesan abu-abu, tapi serasi dimata orang lain. Vero tidak memberikan klarifikasi apa pun ketika ada yang menyebut mereka pacaran.

"Bagaimana kalau besok malam kita keluar? Kita makan malam bersama!" ajak Angel.

Vero tidak menyahut. Sekali lagi ia hanya tersenyum.

"Mau menolakku?" Angel memaksa Vero melihat padanya.

"Apa aku bisa?"

Angel tersenyum senang, "Tunggu di café biasa, ya!"ujarnya.

"Ok!" sahut Vero dengan gerak bibir tanpa suara.

Vero kembali memperhatikan sekelilingnya. Ruang istirahat pribadi yang disediakan khusus untuknya, Vero mendesain sendiri ruangan itu dan mengisinya dengan perabotan mewah yang terkesan tidak wajar. Tempat itu lebih mirip kamar hotel dengan tempat tidur king size berwarna hitam dan tirai berwarna pastel yang menggantung di dinding. Alasannya hanya satu, agar membuatnya merasa nyaman. Parahnya, otak Vero memprogram hal-hal detail yang menurut orang lain tidak terlalu penting. Seperti tempat ia meletakkan jas putih, selalu di dinding dekat cermin besar yang bisa merekam seluruh tubuhnya. Parfumnya, ada di salah satu space di rak buku yang menggantung di dinding. Ia tidak pernah membiarkan ada dua botol parfum yang terpajang di sana. Matanya juga terbiasa dengan hal-hal yang simetris secara geografis. Spontan, ia akan menggeser benda yang menurutnya berada pada posisi tidak tepat, entah terlalu ke kanan, terlalu ke kiri, atau miring.

Vero kemudian menggeser mata ke lengan kirinya yang kosong. Ia kehilangan benda seberat hampir 200 gram yang biasa melingkar di pergelangan tangannya.

"Kamu mencari sesuatu?" tanya Angel.

"Jam tangan," spontan Vero. Ia biasa meletakkan benda itu di meja samping tempat tidur jika ia harus melepaskan benda itu. Hanya saja jam tangan itu tidak di sana sekarang.

"Coba kamu ingat-ingat!"

"Aku seharusnya melepaskan jam tanganku sebelum mencuci tangan, aku harus membersihkan luka perempuan yang diserang tadi siang. Aku ingat saat itu aku sudah tidak mengenakannya."

Angel diam sejenak. "Bagaimana kalau beli jam tangan yang baru?"

"Bukan itu masalahnya!" nada suara Vero tiba-tiba meninggi.

Angel tersentak dan Vero sadar ia sudah melakukan kesalahan. Vero buru-buru memalingkan wajah, ia menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat mulut. Jam tangan yang ia cari, tidak lebih istimewa dari barang bermerk lain. Tapi, Vero merasa memiliki benda itu dan ia tidak ingin kehilangan sesuatu yang benar-benar disayanginya. Semakin lama ia tidak menemukan benda itu, maka kecemasannya bertambah. Keringat dingin mengucur dari leher dan sela-sela tangan, ia mulai gelisah sendiri. Vero terus berpikir, tentang di mana sebenarnya ia meninggalkan benda berdetik itu. Apakah di suatu sudut yang begitu dingin dan gelap, tempat yang begitu buruk menurutnya.

"Tenang saja, nanti pasti ketemu!" Angel mencoba menenangkan.

Vero menatap Angel, bukan dengan tatapan lembut seperti biasa. "Aku harus menemukannya," ujar Vero berjalan ke luar ruangan.

~II~

Di sudut lain,

Amira berjalan menapaki jalan besar hitam sambil memperhatikan jam tangan silver di tangannya. Jam tangan yang semakin berkilau ketika tersentuh cahaya dari satu per satu lampu jalanan yang menyala. Sebuah avenue yang bersejarah di kota mereka, hari itu tampak lebih sunyi. Amira, ia tidak punya apa pun dalam pikirannya, Ia kira ia telah mengalami hal terburuk dalam hidup dan kejadian traumatis tadi siang sudah terlupakan.

Saat berdiri di depan etalase kaca yang gelap, ia melihat dirinya masih tetap sama. Perempuan 19 tahun yang miskin. Yang tidak mampu mewujudkan apa yang diinginkan. Yang meski pun ia meneriakkan sesuatu, tidak ada yang mau mendengarnya. Perempuan muda yang bahkan tidak punya waktu untuk menyisir rambutnya lebih rapi saat pagi hari, dan agar rambut itu tidak terlihat berantakan, Amira menggulung rambutnya yang panjang dan menyelipkan ujung rambut itu di antara helaian rambut yang lain. Make up yang ia kenakan adalah debu-debu jalanan, kadang semburan tepung atau uap dari panci yang memanas. Dia tidak punya waktu untuk mencuci muka, tapi jangan khawatir, keringat akan mengalir dan membersihkan sedikit wajahnya. Pemerah pipi Amira adalah kondisi kelelahan yang kadang membuatnya sulit untuk bernapas. Sekali lagi Amira menatap heran bayangan yang terekam di kaca etalase, tentang kenapa dia masih hidup? Tentang kenapa dia begitu kuat? Bahkan ketika ia lupa caranya tersenyum, menangis dan mengungkapkan perasaan? Ekspresinya menjadi begitu datar, hingga ketika ada seseorang yang menyuruhnya tersenyum, Amira perlu bertanya "Bagaimana caranya?"

Amira mengeluarkan lagi jam tangan silver yang sempat ia selipkan di saku celana jeans-nya, tidak ada perasaan bersalah ketika melihat benda itu. Ia merasa Tuhan berbuat lebih kejam pada dirinya. Dan yang ia lakukan pada pemilik jam tangan itu, hanya sekadarnya saja.

~II~