"Kau tahu aku tidak akan pernah menyetujui hubungan mereka," tutur Rena dengan penuh emosi. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
"Kalau begitu aku juga tidak akan menyetujui hubungan mereka," jawab Karla dengan lembut. Karla berusaha menenangkan Rena. Ia tahu Rena tidak suka dengan kejadian ini.
"Aku tidak akan memaafkan Rachel atas hatinya yang terlalu mudah dijatuhkan kepada kakaknya sendiri."
"Kau benar, seharusnya kedua putraku harus lebih selektif dalam memilih pasangan mereka."
"Apa maksudmu?" tanya Rena tersinggung.
Karla mendudukkan Rena pada ranjangnya, berusaha menenangkan kegelisahan dalam hati Rena. Karla tersenyum sebelum akhirnya mengatakan, "Dibawah umur? Kurasa kasihan Rachel."
Rena menyetujui pendapat Karla. Ia bingung mengapa ia mendadak khawatir. Biasanya ia selalu bahagia menatap Rachel tertawa bersama dengan Lorne. Baru saja ia juga mengatakan kalimat setuju Lorne menjalin hubungan dengan Rachel. Ada apa dengannya? Mengapa tiba-tiba khawatir menyerang?
"Aku harus menghubunginya," kata Rena tiba-tiba.
"Siapa?"
"Johnnie."
"Oke, kurasa kau semakin khawatir dengan putrimu. Ada apa? Kau tidak suka? Kita katakan saja pada mereka selepas mereka pulang. Aku yakin mereka akan baik-baik saja," ujar Karla setengah menahan panik.
"Johnnie perlu tahu."
"Whoaa, Rena," tangkasnya kewalahan. "Putraku bisa babak belur jika kau menghubungi suamimu."
"Kau tahu dia tidak sekejam itu. Kuharap putriku..."
"Dengar," potong Karla yang seolah tahu kemana kalimat Rena akan dibawa. "perkataan Shane kemarin hanyalah omong kosong. Rachel adalah wanita baik-baik. Begitupun putraku, Lorne. Dia tidak akan melukai harga diri putrimu walau dia ingin. Rachel akan baik-baik saja. Kau harus bersyukur Lorne yang bersama dengan Rachel saat ini. Bukan orang lain."
"Bukan Shane?" tanya Rena ragu.
"Bukan orang lain, Ren. Shane juga tidak se-brengsek itu untuk melakukan hal hina."
Rena mulai dalam kondisi tenangnya. Ia mulai berpikir dengan jernih. "Kau benar, biarkan mereka menyelesaikan semuanya sendiri."
"Aku setuju," sahut Karla.
**
Rachel menemukan dirinya sudah berada di jalanan yang ia kenali. Jalanan yang membuat jantungnya berdetak dengan tidak beraturan. Apa yang akan mamanya pikirkan? Apa yang akan Karla dan Shane pikirkan tentang dirinya? Rachel tidak bisa menikmati perjalanan menuju kediaman Weinston. Tidak ketika nantinya ia yang akan menjadi bahan sorotan.
"Kau tegang sekali."
"Ya, aku ketakutan," jawab Rachel.
"Aku yang akan menjelaskan. Kau tenang saja." Lorne berusaha menenangkan.
Rachel mengangguk. Ia yakin Lorne bisa. Tapi bagaimana jika dirinya yang ditanya? Apakah ia juga bisa menjawab tanpa membuat masalah? Rachel memejamkan matanya. Berusaha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Detak jantung yang 'tak beraturan, napas yang memburu. Pikiran yang kacau. Rachel sungguh tidak bisa membuat dirinya melupakan jika ia telah menghilang selama itu. Seminggu?
"Apa ini, Lorne?" Rachel mendapatkan perhatian Lorne. Lelaki itu kini menatapnya dengan tatapan bingung. "Aku mendapatkan masalah yang berat di Berlin."
"Ah, masih penasaran?" goda Lorne.
Rachel mengangguk. Lorne benar, ia masih penasaran. "Iya. Kau dingin sekali."
Lorne menunjukkan senyumnya, untuk menciptakan kebohongan lain. "Aku memang begitu."
"Tidak, kau tidak."
"Kau memandangku atas sikap yang kutunjukkan padamu. Dengan Deby? Nadine? Tidakkah kau berpikir sikapmu juga demikian?"
Rachel menyipitkan matanya. Rachel tahu ia tidak pernah memperhatikan Lorne sejauh itu. Tapi ia yakin ada yang berbeda dari Renatta. Renatta yang tidak terlalu penting di mata Lorne. Atau Renatta yang diasingkan walau berada tepat di depan matanya. Renatta cantik yang harus berpura-pura tidak peduli jika hatinya sedang terluka.
"Kau juga tidak suka dia ikut ke London," tanya Rachel, menemukan pertanyaan lain yang lebih penting dari sekadar membahas Deby dan Nadine.
Lorne menatap mata Rachel lekat-lekat ketika ia berhasil memarkirkan mobilnya di lobi kantornya. Lorne tidak menjawab. Lorne hanya memperhatikan garis wajah Rachel. Ia 'tak pernah bosan.
"Kau memutar arah," kata Rachel.
Rupanya Lorne tidak ingin berurusan dengan komentar Rachel. "Kau tahu pada akhirnya kita kemana."
"Lorne," desah Rachel. Ia menyerah. Lorne terlalu keras untuk menutupi Renatta dari hadapan Rachel. Ini terakhir ia mencoba. Ia 'tak akan mencobanya lagi. "Aku yakin Renatta adalah masa lalumu yang bisa dijelaskan."
Lorne mendecak kesal atas usaha Rachel. "Tidak ada."
Lorne membukakan pintu bagi Rachel. Ia membawa Rachel untuk ikut dengannya menemui pekerjaannya yang sebenarnya tidak benar ingin ia urus. Tapi ia harus. Lorne disana. Langkah pertama yang ia tuju adalah ruangan Candara. Rachel mengerutkan dahinya. Terakhir kali, Lorne seperti tidak suka mendengar nama itu. Tapi sekarang? Ia ingin berurusan dengan Candara?
"Candara Leirvy," panggil Lorne ketika ia membuka pintu ruangan Candara. Candara berdiri. Menunjukkan betapa ia menghormati bosnya yang begitu menaruh benci padanya. Candara tersenyum. Senyuman terpahit yang pernah Lorne ketahui. Ia 'tak suka berlama-lama disana. "Aku akan membicarakan beberapa hal denganmu."
"Silakan," ujar Candara mempersilakan Lorne dan Rachel untuk duduk.
Mata Candara jatuh pada pelukan Rachel dilengan Lorne. Juga senyuman Lorne pada Rachel yang terlihat tipis, tapi membekaskan makna. Rachel menangkap aneh pandangan Candara akan dirinya dan Lorne. Namun tatapannya juga sama dalamnya dengan Candara. Argh, wanita-wanita Lorne, mana ada yang jelek?, batin Rachel. Sedangkan Lorne? Tidak juga. Ia tidak terlalu peduli akan reaksi Candara melihat dirinya bersama dengan Rachel. Ia sengaja.
"Aku sudah membaca beberapa karanganmu," kata Lorne memulai.
"Beberapa sepertinya terlalu berlebihan. Aku hanya mengirim 2," sela Candara.
Lorne mempertegas tatapannya. Menunjukkan ketergangguannya terhadap selaan itu. Lorne serius. "Begini. Kau diam selagi aku menyampaikan maksudku kepadamu. Bisa?"
"Ya," jawab Candara sebisanya. Hatinya. Dilukai. Sekali lagi. Oleh orang yang sama. Lorne.
"Aku sudah membaca... karanganmu. Bagus. Menurutku, belum terlalu cukup untuk memenuhi standar penerbitan kita. Candara, aku memiliki dua pilihan menarik untukmu. Kau bisa memilih salah satu yang menurutmu lebih baik. Kau siap?"
Candara mengerutkan dahinya. 'Tak paham akan ucapan Lorne. Namun ia mengangguk. Daripada tatapan Lorne berubah menjadi lebih menyeramkan daripada yang sekarang.
"Keluar atau pindah."
Rachel mengeratkan pegangannya pada Lorne. Ia ikut terkejut tentu saja. Betapa ia tahu Candara baru saja menikmati pekerjaan barunya. Lorne bersamanya selama ini, kapan memangnya ia memeriksa hasil pekerjaan Candara? Rachel berusaha menarik perhatian Lorne dengan memperkuat cengkramannya. Jawabannya? Sia-sia.
"Lorne," bisik Rachel pada akhirnya. Lorne hanya menatap Rachel sebentar lalu membalas bisikan itu dengan, "Aku 'tak akan membuatnya menangis lagi."
Ya, ketika itu Candara belum. Namun sekarang wajahnya memerah. Dan bodoh, Lorne. Bukan itu yang ingin Rachel dengar! Rachel masih dalam tatapnya kepada Candara selagi ia berusaha meminta Lorne untuk menjelaskan pada Candara apa yang sebenarnya ia maksudkan.
"Jadi?" Lorne membuka suaranya lagi.
Candara menguatkan hatinya sendiri sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya dengan tegas. "Apa salahku kali ini, Tuan?"
Lorne mengendurkan tatapannya ketika Candara menampakkan begitu ia tidak terima dengan keputusan Lorne. Lorne kira, Candara masih sama rapuhnya dengan Candara terakhir yang menangis tidak mengerti akan sikapnya. Kali ini ia salah. Candara menentang dan membutuhkan jawaban.
"Well, Candara..."
"Sejak kapan kau menggunakan kata 'well'?"
Rachel mulai 'tak nyaman berada disana. Lorne seakan tidak peduli. Sikapnya sama dinginnya dengan yang kemarin. Dalam hatinya ia mengukirkan betapa ia makin penasaran dengan Lorne. Lorne dan sikapnya. Lorne dan perubahannya. Ia harus tahu barang sedikit.
"Aku bosmu sekarang. Hor..."
"Kau membenciku, Lorne," tangkas Candara.
"Aku tidak punya alasan," jawab Lorne seolah tahu apa yang dimaksudkan Candara.
"Ya, kau memang tidak punya alasan. Masih sama seperti dulu?"
Reaksi Lorne mendadak berubah. Rachel tahu, karena Lorne tiba-tiba mendesis dan mengambil langkah maju. Tangannya hampir saja terlepas dari Lorne jika ia tidak segera menahan. Rachel ikut maju selangkah, berusaha menyamai posisi Lorne. Ia berusaha menenangkan Lorne yang tampaknya tidak mendampakkan hasil apapun. Setidaknya ia tahu ia disana untuk Lorne.
"Aku bahkan tidak mengenalmu," ujar Lorne.
Candara memainkan reaksinya. Seolah ia terkejut, tapi ia tidak. "Oh, tidak mengenalku? Kau yakin? Lantas atas dasar apa kau membenciku?"
"Aku tidak membencimu."
"Kau membenciku, Lorne."
"Aku tidak membencimu."
"Oh, ya? Lalu mengapa kau tidak membenciku?"
Lorne tidak tahu jawabannya. "Aku tidak punya alasan. Karena aku memang tidak membencimu."
"Kau sama saja," desah Candara. Nada kesal.
Lorne memajukan langkahnya, lagi. Ia mendekati Candara dengan hati yang memanas. Rachel mulai bingung. 'Dulu'? Kalau begitu, Candara adalah masa lalu Lorne?
Lorne memegang tangan Rachel, menggenggamnya. Setelah ia yakin, ia kembali menatap Candara dengan tatapan yang...
"Semua sudah berubah."
"Ya, aku bisa lihat," balas Candara sama kesalnya.
"Kau kesal?" tanya Lorne.
"Tidak."
"Kau berani berbohong padaku?"
Candara menaikkan alisnya. "Aku tidak sedang berbohong padamu!"
"Kau berani menaikkan nadamu dihadapanku?!" tantang Lorne.
Rachel memeluk lengan Lorne dengan sepenuh hati. Kemarahan Lorne tidak pernah ia lihat sebelumnya. Entah mengapa Rachel tetap yakin Lorne bukan dirinya saat ini. Lorne menyempatkan diri untuk membuang muka menahan amarah sebelum akhirnya mulai membalas tatapan menantang dari Candara.
"Ya, aku kesal! Aku kesal kau meninggalkanku di hari aku menurunkan harga diriku dihadapanmu! Aku kesal kau mengusirku ketika aku melamar diri di perusahaan ini! Aku kesal padamu yang mendadak membenciku! Ada apa denganmu, Lorne?!"
Candara menyelesaikan kalimatnya. Pada akhirnya. Apa yang tengah ia pendam selama ini. Candara, akhirnya. Mengungkapkan betapa ia sakit hati pada sikap Lorne. 10 tahun, waktu yang dibutuhkan untuk segala luka dan sakit hati. Diulang kembali, Candara tidak mau menerimanya tanpa alasan.
Lorne kehabisan kata-kata. Ia mau membalas mulai darimana? Ia bahkan tidak tahu mengapa Candara sebegitu kesalnya. Bisa dibilang seharusnya dirinyalah yang paling kesal di dalam hal ini. Ketika cintanya tidak terbalaskan dan malah wanita itu pergi meninggalkan dirinya. Lalu kembali setelah 10 tahun dirinya melupakan wanita itu. Siapa yang lebih pantas merasa kesal sekarang?
"Aku tidak membencimu," ulang Lorne dengan nada yang lebih rendah.
Candara tidak menjawab pernyataan Lorne. Ia kelewat emosi menatap wajah dingin Lorne. Wajah yang 'tak pernah ia bayangkan akan seperti itu. Ia rasa Renatta benar. Rachel telah banyak mengubah Lorne. Terlalu banyak, sehingga ia sendiri 'tak bisa mendapatkan sahabatnya kembali.
"Kau 'tak perlu melamar diri disini hanya untuk mendapatkan perhatianku," tambah Lorne.
"Itu yang selama ini kau pikirkan?" tanya Candara 'tak habis pikir.
"Bukan," sahut Lorne yakin. "Itu yang kau katakan kepadaku."
"Aku tidak mengatakannya. Aku masuk berkat Shane..."
"Ya, aku tahu motifnya," tangkas Lorne. Ia mendengus sinis dihadapan Candara, dengan sukses. Sama sekali tidak berniat menghilangkan sikap dinginnya.
"Lorne, kau berubah..."
"Ya, memang."
"Karena wanita sialan ini?"
Rachel tersinggung. Siapa yang Candara maksud? Dirinya? Rachel meneteskan air matanya, begitupun Candara. Tapi Rachel, dia yang mendapatkan reaksi Lorne. Lorne menghapus air mata Rachel tepat sebelum mengalir melewati bibir Rachel. Candara melihat itu. Hatinya terluka sekali lagi, tepat sebelum ia berhasil menyadarinya.
"Kau tidak bermaksud Rachel, 'kan?" tanya Lorne dengan nadanya yang mengintimidasi.
"Bagaimana kalau memang itu yang kumaksudkan?" tantang Candara.
"Kau bisa bebas keluar dari perusahaan ini, Candara," balas Lorne. Lorne menghilangkan emosinya, berusaha bersifat profesional kali ini. "Dengar, aku bermaksud memindahkanmu ke Australia. Keinginanmu semenjak kecil, bukan? Sepertinya aku salah ingin memberikanmu tawaran bagus itu."
"Kau ingin memindahkanku karena keinginanku, atau keinginanmu?"
"Maksudmu?"
"Lorne," cegah Rachel sebelum Lorne berhasil maju selangkah lagi.
Ya, Lorne tertahan.
"Katakan apa maksudmu."
"Katakan kau ingin menjauhkan diriku darimu, Lorne."
Lorne terdiam sesaat. Ia tidak tahu apakah Candara benar atau salah. Yang ia tahu, ia takut akan ancaman Shane. Ancaman yang entahlah benar atau tidak. Tapi ia ingin menjaga kemungkinan terluka lebih dari apa yang dilakukan Candara tidak terjadi.
"Ya, aku ingin menjauhkanmu dari kehidupanku."
"Satu hal, Lorne. Satu hal yang tidak berubah dari dirimu."
"..."
"Kau pengecut."