Keinginan kuat pertanda kepedulian
Kepedulian kuat pertanda kelengketan
Segala yang lengket kuat jika dilepas mendatangkan bekas
Agar tak berbekas, agar tak berbahaya, yang lengket harus dihangatkan
Dihangatkan agar melunak
Melunak agar dapat dibentuk
Dibentuk agar dapat menjadi indah dan bermanfaat
Tiga tahun telah berlalu semenjak Wander menjadi murid Kurt. Sekarang ia sudah berumur 11 tahun. Ketika ia merayakan hari ulang tahunnya, ibunya menasihatinya, "Karena sekarang kamu sudah sehat, mungkin sudah saatnya kamu membuat permohonan mengenai apa yang kamu benar-benar inginkan."
Wander untuk pertama kalinya tidak lagi berdoa agar terbebas dari segala macam penyakit. Kali ini, ia berdoa untuk keluarganya, teman-temannya, dan Gurunya. Tapi di antara doa yang panjang itu, sepenggal keinginannya membisikkan permohonan bagi dirinya, "Aku ingin belajar Rijeen."
Ia terkaget-kaget dengan dirinya. Ketidaksabaran dan keinginan yang menyala-nyala itu tidak menghilang. Selama hampir tiga tahun ia telah menanti datangnya Guru Sejatinya sesuai yang Master-nya janjikan. Tapi masih juga ia belum muncul.
Karena kepercayaan Wander pada Gurunya sangat besar, pertanyaan yang timbul dalam hatinya adalah: Berapa lama lagi ia harus menunggu?
Sejak saat itu, keinginannya semakin lama semakin kuat. Ia sering memimpikan bagaimana bakal Guru Sejatinya itu. Bagaimana wajah dan apa yang akan diajarkannya. Terkadang pikirannya sering terusik pada masalah misteri Kurt atau dirinya, tapi keinginannya jauh lebih kuat mengenai harapannya untuk belajar Rijeen di bawah Guru Sejatinya.
"Siapapun kamu dan di manapun kamu, Guru, cepatlah datang. Aku berjanji akan jadi murid yang rajin, akan mematuhimu dan selalu melayanimu," Demikian doanya semakin khusyuk dan kuat.
Tapi, Gurunya itu tidak kunjung tiba. Bahkan ketika keinginan itu menjadi demam yang berlangsung berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu, di mana Wander merasa suara doanya itu kalau diucapkan pasti bisa didengar sampai pusat kota, tapi tetap saja Guru Sejatinya tidak datang.
Wander mulai merasa bahwa keinginannya pasti tidak cukup kuat, meskipun sebenarnya cukup kuat untuk membuatnya demam dan harus beristirahat di atas tempat tidur. Untuk pertama kalinya setelah 2 tahun, ia menderita sakit lagi. Ketika ia tidur, tubuhnya basah oleh keringat dingin, ia berguling ke sana-kemari, gelisah dan takut dalam mimpinya yang dipenuhi wajah-wajah dan bayangan gelap yang semuanya mengaku sebagai Guru Sejatinya.
Berkat perawatan Kurt dan para pembantunya, akhirnya Wander bisa juga melewati demamnya. Ketika ia pulih, perasaan dan keinginan itu masih kuat, masih ada di sana. Akan tetapi ia merasakan hal lain juga. Ia menyadari bahwa ia tidak memperhatikan tubuhnya, seperti yang diperingatkan Gurunya, dan membuat semua orang khawatir. Ia merasa begitu malu ketika ia mengakui bahwa keinginannya ini kepada Masternya.
"Di usiamu, ketidaksabaran adalah pertanda yang sehat," Kurt menjawab.
"T-tapi…"
"Tidak ada gunanya menyalahkan dirimu, Wuan. Kenyataannya adalah kamu memang benar menginginkan agar Guru Sejatimu cepat datang, tapi kamu lupa soal pelajaran terpenting dalam hidup ini: tidak segala hal sesuai dengan keinginanmu."
"Tapi kalau begitu… apakah salah kalau kita menginginkan sesuatu?"
"Tidak salah sama sekali. Tapi juga tidak benar sama sekali jika berlebihan. Keinginan hanyalah apa yang ada di manusia, hal yang wajar."
"Lalu… Bagaimana caranya aku bisa membuat perasaan ini hilang? Aku…"
"Kamu tidak bisa menghilangkan perasaan. Itu juga realita. Tapi kamu bisa belajar hidup dengan mereka. Daripada membuat perasaan jadi musuhmu, kenapa tidak memperlakukannya sebagai sahabatmu? Perasaan timbul dari hatimu, jadi mereka pasti sesungguhnya dekat denganmu."
"Tapi kalau begitu, kenapa perasaan ini demikian menyiksa?"
"Karena kamu belum mengenal mereka dengan baik, dan kamu keras pada mereka. Seperti kalau kamu keras dan bermusuhan, tentu setiap orang akan merasa tidak enak denganmu, bahkan begitu pula terhadap dirimu sendiri."
Wander terdiam. Kurt mengamati wajah bingung dan gelisah muridnya dengan penuh minat, sampai akhirnya Wander tampak bisa menemukan cara mengatasi konflik dalam jiwanya. "Aku coba berteman dengan perasaanku kalau begitu."
"Semoga berhasil, Wuan," Kurt tersenyum, "… dan pakai Kesabaran."
Itu bukanlah proses yang singkat. Wander masih bisa merasakan hatinya tetap sakit dan merindukan Guru Sejatinya yang misterius dari waktu ke waktu, tapi Wander menuruti nasihat Kurt.
Itu sangatlah tidak mudah. Hatinya terus memberontak dan Wander kerap merasa bahwa dirinya seolah berubah menjadi sosok yang tamak dan jauh lebih buruk dibanding sebelumnya. Itu terus memburuk hingga suatu hari, Wander menyerah berupaya mengendalikan mereka.
Ia memperlakukan perasaannya ketulusan, kehangatan. Menyadari bahwa dirinya tak terpisahkan dari mereka, ia belajar untuk benar-benar mendengarkan mereka. Seiring dengan waktu, ia semakin peka terhadap perasaannya. Ia terus mendengarkan tanpa menilai dan sesuatu yang menakjubkan mulai terjadi. Hatinya perlahan mulai ramah juga terhadap dirinya, tidak lagi berteriak-teriak seperti dahulu.
Hatinya masih sering menyanyikan keinginannya, tapi Wander mendengarnya kini bagaikan bisikan dukungan, dan ia menyetujui hatinya yang hangat.
Lebih baik lagi, ia tidak merasa sendirian lagi. Hatinya kini adalah temannya, dan ia tidak tersiksa lagi oleh keinginannya.
*
"Kenapa kamu tidak mendatanginya? Bukankah waktunya katamu sudah tiba?"
Ia menggeleng.
Dalam banyak hal di hidup ini, pada saat melepaslah kita justru memperolehnya, bukan saat memburunya habis-habisan.
Namun memahami ini sungguh tidak mudah.
Pada saat memburunya, yang diburu takut dan menjauh, pandangan terhadap dunia menyempit, hanya ada kita dan buruan, yang lain tak penting. Kita menerjang, mendoncang, terus maju berderap, tanpa memedulikan kerusakan dan kehancuran yang kita perbuat. Tak memedulikan air mata dan tangisan di sekeliling kita.
Tanpa sadar senyum di wajah berganti menjadi kertakan gigi. Tanpa sadar yang menyayangi menjauh, para penjilat mendekat, musuh bertepuk tangan. Ia tak ingin itu terjadi kepadanya. Tak terbayangkan jika ia sampai menjadi yang seperti itu. Dunia akan celaka.
Maka, ia menunggu. Ia tahu cara menunggu. Ia menunggu hingga yang di sana tahu cara menanti dan cara berdamai.
Suatu hari, itu akan menjadi hadiah bagi dunia. Apalah artinya bulan dan tahun, jika itu kelak bisa menjadi berkah bagi semesta.