Wujud adalah ruang dan isi.
Perancahnya adalah materi.
Pilarnya adalah waktu.
Jendelanya adalah persepsi.
Namanya adalah konsep.
Dua tahun kemudian...
Di kawasan yang dipenuhi halimun kelabu nan tebal, Wander sedang berdiri dalam danau itu. Separuh badannya, mulai dari pinggang ke bawah, tersengat dinginnya air danau itu. Jarak pandang ke segala arah hanya sebatas satu rentangan tangan orang dewasa, itu pun hanya terlihat gulungan kabut yang senantiasa berubah bentuk.
Sudah seminggu ia berada di daerah yang misterius ini. Tempat seolah waktu berhenti ini. Tempat yang sunyi dari kegiatan manusia, hanya bergema oleh bunyi tetesan air dari akar-akar pohon menyentuh air, atau bunyi binatang dan serangga hutan.
Gurunya mengatakan bahwa nyaris sepanjang tahun, daerah itu diselimuti kabut tebal yang menyembunyikan danau dan hutan pepohonan berdaun jarum di sekelilingnya. Ini bukanlah pemandangan yang umumnya ditemui di negerinya yang biasanya dipenuhi pepohonan palem, pasir gurun, atau tanah tandus.
Suara batuk gurunya membangunkannya dari lamunannya.
"Ingat eling, Wuan."
"Ya, Jie Shishou."
Hening lagi. Lama berselang sebelum suara dari balik kabut bergema lagi.
"Coba ulangi lagi."
"Untuk bisa mencapai Khici milikku sendiri... dibutuhkan Pemurnian, Wawasan, dan Hati."
"Lalu apa hubungannya dengan telaga kabut ini, yang engkau pilih sendiri sebagai Wawasan di antara berbagai tempat lainnya?"
Wander menjawab, "Makin murni suatu zat, makin terpusat kekuatannya. Bahkan air paling murni dapat menggerus bebatuan. Asam kental tidak dapat dipegang tangan telanjang. Pemurnian Khici adalah suatu keharusan untuk memperoleh kekuatan."
Hening. Wander melanjutkan dengan nada sangat serius, "Namun selain murni, kualitas penyusun Khici itu sendiri haruslah dapat dilihat sekecil mungkin. Lebih halus dibanding inti butiran pasir. Makin halus, makin berdaya, makin terungkap misteri sifatnya."
Ia pernah melihat sendiri Jie Shishou memperagakan hal itu. Betapa suatu batu yang berpendar kehijauan berukuran seujung kuku mampu menghasilkan ledakan mengerikan hanya karena menurut gurunya itu 'intinya dibebaskan dengan daya.'
Siapa menyangka kekuatan dari penembusan unsur bisa begitu dahsyat? Apalagi hal ini ternyata dapat diterapkan ke Khici.
Bunyi tetesan air menggema. Burung-burung melesat lewat di depannya sesunyi hantu. Ini pemandangan yang sangat langka. Ia nyaris tak pernah melihat burung di sana, meski mendengar suaranya. Namun burung itu begitu dekat, nyaris menabrak dirinya. Ia tercekat melihat burung yang lewat adalah bangau dengan bola mata berwarna seputih susu!
Terdengar suara batuk lagi. Wander merasakan pipinya memerah, "Untuk mengendalikan daya hancurnya, diperlukan kekuatan Hati. Itu dilatih melalui semadi dan Ikrar yang Shishou ajarkan."
Ia sadar bahwa ia sengaja tidak membahas mengenai aspek Wawasan.
Selama dua tahun ini ia sudah mengunjungi begitu banyak tempat. Pegunungan, lembah, gua, air terjun, kolam panas, samudra. Bertemu dengan segala macam kejadian dan tokoh. Semua pengalaman itu kini menyesaki dadanya, menunggu suatu berkas inspirasi untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.
"Kamu belum membahas mengenai Wawasan yang akan diberikan tempat ini..."
Wander mengangguk. "Sekuat apa pun Sahabatku namun jika tidak dialihkan menjadi suatu wujud, inkarnasi, ia hanya akan menyemburat menjadi tenaga liar. Namun agar peralihan dari Khici-ku yang tak kasat mata menjadi sesuatu yang mewujud, hidup, membutuhkan kunci pemahaman. Wawasan yang sudah kulihat dari berbagai tempat kini menyatu dan membisikkan bahwa dalam kabut ini... ada jawabannya."
Batinnya berbisik riang. Batinnya yang telah menyatu dengan Khici-nya berbisik gembira.
[Ya. Pahamilah air. Pahamilah api. Pahamilah udara. Pahamilah tanah. Lalu, yang terakhir, berikanlah kami Tubuh, melalui Rahim Kabut ini.]
Pada saat itulah, Jie Bi Shinjin mengangguk-angguk, matanya bercahaya misterius kala ia membacakan sajak lirih.
"Legenda kuna menyatakan bahwa bintang, para kartika, lahir dari kabut semesta.
Yang berwujud lahir dari kekosongan tanpa wujud,
rahimnya adalah Kabut di angkasa, tilam dan pembaringan
tempat para bintang dibuai dan diasup Maharaya."
Momen itu juga, suara Jie Bi Shinjin dan suara Chi dan benak Wander menyatu. Wawasan segalanya perlahan jatuh pada tempatnya, menjadi suatu gambaran. Kabut. Peralihan dari wujud cair yang bukan cair, udara namun bukan udara, namun mampu menjadi penghantar hawa api dan es, yang kelak membentuk segala tanah.
Wander mengangguk. Ia yakin bahwa ia kini sudah menemukan kuncinya.
Ia kini hanya perlu memahami kabut. Tidak. Ia harus melebur menjadi kabut ini.
Dari kabut kelabu inilah... Wujud Khici-nya akan lahir. Wujud peralihan, perdana, rahim, yang akan melahirkan wujud-wujud berikutnya yang ia saksikan dalam mimpinya, perjalanannya, dan dari bisikan Sahabat Sejatinya itu sendiri.
Ia harus menjadi kabut.
Gerak batinnya perlahan menyelami wujud kabut. Berusaha melebur dengannya. Matanya terus menera wujud kabut itu, sementara gerak tubuhnya tanpa terasa mulai bergerak, berusaha mengekspresikan pemahamannya melalui tarian Roh Air - Eruda Hanyool.
Waktu terasa bergulir bagaikan berabad-abad, ia terus bergerak dan menari, meleburkan dirinya. Tiada lagi perbedaan kabut di luar dengan dalam dirinya. Tiada lagi gerak tari atau pun penarinya, yang ada hanyalah sekadar gerak.
Hanya melalui gerak, rasa dan karsanya dapat berpilin naik, membangkitkan riang yang membumbung penuh daya bagaikan topan. Wawasannya yang tadinya beku kini melebur, lalu berpijar dan mencercah laksana petir.
Rijeen-nya lambat laun mulai mengkristal menjadi esa...
Itulah yang mendahului kelahiran Divaya Ruwaligra pertama: Kabut Kelabu terlahir.