Gerombolan angsa putih
Dengan anggun mengarungi sungai
Asyik menisiki bulu atau bermain air
Sibuk dengan urusan mereka sendiri
Tiba-tiba, busur semburat air menyembur
Kala seekor angsa hitam menyembul ke permukaan
Semua angsa putih beterbangan ke segala arah...
Tiga tahun kemudian, Tahun 620 Penanggalan Sang Pencipta
"Master! Master, aku pulang!"
Kurt bangkit dari pergulatannya di bawah semak melawan gulma yang mencoba menyerbu tanamannya. Ia bisa mendengar suara nyaring muridnya dari arah gerbang. Sahutannya yang hendak keluar tersangkut di kerongkongannya kala ia melihat pemuda yang berlari masuk dari arah gerbang.
Rambutnya berwarna coklat bagaikan larutan teh, demikian juga matanya yang bersinar-sinar. Tapi sekali lagi matanya begitu menakjubkan, bagaikan sumur jernih berisi kristal dan batu berlian yang bercahaya. Kurt selalu penasaran bagaimana dunia terlihat lewat sepasang mata itu. Rambutnya yang dipotong terlalu pendek bagaikan pucuk wortel atau ujung sapu. Dan tingginya sudah lima kaki tujuh inci. Enam senti lebih tinggi hanya berselang satu bulan yang lalu.
Wajahnya memancarkan spontanitas yang alami, anggun, campuran keriangan dan juga ketenangan. Posturnya yang langsing dan lentur begitu enak dilihat, sementara bahasa tubuhnya tetap rendah hati, menyembunyikan semua buah latihannya dengan sempurna. Proses perubahan dari seorang anak kecil menjadi seorang pemuda masih terus berlanjut. Wajahnya yang mulai membentuk ketampanan seorang muda, berani dan ceria, tapi masih menyisakan kelembutan wajah kanak-kanaknya. Ia begitu mudah dikenali, terutama dari kulitnya yang berwarna coklat muda, hasil pemberian ayah dan ibunya.
Kurt mendadak berpikir, "Wanita macam manakah yang akan mampu meruntuhkan hatinya?"
"Ada apa, Master?" Wander bertanya saat melihat Masternya bengong.
"T-tidak apa-apa. Aku hanya pangling melihatmu tambah tinggi begini cepat."
"Shishou bilang aku tidak akan terlalu tinggi lagi."
"Baguslah. Terlalu jangkung seperti Shishoumu itu terlalu menyolok. Ngomong-ngomong di mana Shishoumu?"
"Terakhir aku melihatnya di gerbang kota. Tapi seperti biasanya beliau hilang lagi. Mungkin sedang jalan-jalan. Ia bilang akan kembali untuk makan malam. Rumput lingkar mengganggu semak ini?" Wander langsung mendekam lalu bergabung dengan gurunya memerangi gulma.
Kurt tersenyum melihat muridnya yang sedang menisiki akar-akaran di sampingnya.
Sudah lama sekali berselang. Kini ia sudah 17 tahun. Demi Divara, berapa lama lagi waktunya tiba sampai datangnya saat berpisah? Masa depan apa yang akan dimiliki anak ini dan takdir uniknya?
"Wander… Kamu sudah memutuskan soal itu?" Kurt bertanya.
Wander membersihkan serumpun akar itu dengan pisau, sebelum ia memerciki bagian yang sudah bersih tapi luka itu dengan campuran obat, lalu menempelnya dengan tanah basah yang baru. Ia lalu berkata, "Aku sudah menetapkannya. Aku baru akan memberitahu Master setelah aku mengumumkannya ke Ayah dan Ibu."
"Sempurna. Aku juga telah memutuskan sesuatu."
"Bukan soal yang itu?"
"Bukan soal yang itu. Kamu sendiri yang harus menjawab soal yang itu."
"Master bisa beri petunjuk sedikit saja?"
"Aku akan menunggu sampai kau memberitahuku punyamu, itu baru menarik," Wander tersenyum simpul.
Kurt diam-diam membatin.
[Aku pun sudah memutuskan.
Aku sudah menjalani hidupku dengan penuh. Aku tidak lagi punya keraguan apa pun.
Berkat anak ini, aku akhirnya menemukan kedamaian.
Aku tidak punya lagi penyesalan apa pun, apa pun yang akan terjadi.
Mulai sekarang, aku tidak akan tinggal dalam masa lalu lagi.]
Wander menceritakan mengenai perjalanannya di meja makan, "Aku dengar di Nalim Cas dan pelabuhan Faldos, bahwa Raja masih saja sakit. Sudah dua bulan katanya..."
Kota-kota yang disebutkan Wander terletak di Wilayah Barat, di mana berita-berita soal Kerajaan lebih dahulu sampai ketimbang Fru Gar.
"… kasihan sekali Paduka. Semoga beliau cepat sembuh, ia orang yang begitu baik dan bijak."
"Jangan kuatir, Ibu. Luanmu pasti bisa menghiburnya."
Tepat saat Raja jatuh sakit dua bulan yang lalu, Chiru'un baru mengirimkan karya tahunannya kepada Raja. Kali ini adalah lukisan sebuah pohon emas nan besar dan berkilau, melambangkan simbol keluarga kerajaan, sekaligus perumpamaan seisi kerajaan dan penduduknya.
Dari ibu, ayah, sampai ke guru-gurunya mengajarinya peribahasa soal Pohon ini dari waktu ke waktu:
Sebuah kerajaan itu seperti sebuah pohon. Setiap mahluk hidup dari daun dan buahnya, berlindung di pucuk, di dalam, bahkan di bawah akar-akarnya. Dalam Kerajaan yang makmur orang-orang akan menemukan kesejahteraan dan kedamaian, dan mereka tidak akan pernah meninggalkannya. Di Kerajaan yang buruk semua mulai membusuk dari akar hingga ke ranting terkecil, dan semua orang akan menderita di dalamnya atau lari berbondong-bondong meninggalkannya.
Likuun tetap optimis, "Divara memberkati Raja. Sakitnya paling hanya sementara. Atau mungkin Raja sedang ingin menguji Pangeran Pertama sebagai penerusnya selama beberapa waktu."
Apa yang dikatakan Likuun mungkin ada benarnya. Raja telah melantik Pangeran Pertama sebagai Penguasa sementara, dan segalanya sejauh ini berjalan lancar. Harapan akan masa depan sangat cerah.
Mereka berbincang mengenai Baginda Raja selama beberapa lama, sampai arah pembicaraan mereka berganti. Ayahnya berbicara dengan serius, "Baik Ibumu dan aku sudah berulang kali membicarakan masalah ini, tapi kami belum pernah mendengar keputusanmu, Nak."
Wander mengangguk. Ia mengunyah dan menelan makanannya lebih dahulu.
"Kakakmu Fyure membentuk usaha dagang dengan kawannya di Krog Naum. Ia bahkan sudah bisa mengirim uang ke rumah dari hasil dagangannya," Ayahnya berbicara lagi.
Wander mengangguk. Fyure dan teman-temannya telah lulus dari sekolah beberapa tahun yang lalu. Dengan koneksi dari ayahnya, ia menjadi murid seorang pedagang di Krog Naum. Tiga tahun berlalu sebelum ia akhirnya memutuskan untuk memulai usahanya sendiri. Likuun memberikan bagian warisan miliknya dan kakak Wander juga berhasil mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan membentuk perusahaan dagang di bidang rempah-rempah dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ia juga telah bertunangan dengan seorang anak pedagang di Krog Naum.
"Kakakmu Kokru juga sudah menjadi perwira Calan. Segera, jika Divara mengizinkan, kita mungkin bisa mencarikannya jodoh dari keluarga yang cukup pantas."
Wajah Kokru berubah menjad merah saga. Wander yang mengetahui hati Kakaknya lebih dari siapapun, berkedip-kedip ketika Kakaknya memalingkan wajah dari tatapannya. Kakaknya yang ini memang telah lama memiliki cita-cita menjadi seorang perwira militer. Setelah kedatangan Shishou, kakaknya memulai latihan di sekolah militer. Awalnya ia hanya pengurus di kandang kuda, lalu menjadi kadet, sebelum menjadi prajurit berkuda. Ia disenangi handai taulan dan atasannya, bertanggung jawab dan serius, hingga ia dinaikkan pangkatnya menjadi Perwira Calan, yang membawahi 20 orang prajurit beberapa bulan yang lalu.
"Sedangkan kakak-kakak perempuanmu semuanya sudah cukup usia untuk menikah. Banyak keluarga telah datang mencoba menjajaki lamaran. Jumlah tawaran dan janji demikian banyaknya, sejujurnya kami sampai kewalahan," Ibunya menyambung.
Ketika Wander melihat kakak-kakak perempuannya ia tidak terkejut. Mereka mewarisi kecantikan ibunda mereka dengan warna kulit yang agak pucat, menambah kecantikan menjadi istimewa di antara gadis-gadis lain. Jadi, jumlah pelamar dan peminat begitu melimpah.
Kedua kakaknya itu tampak tersipu-sipu, tapi Wander tahu bahwa harga diri mereka cukup tinggi meski juga tak sabar. Ibunya pernah berkata bahwa mereka sebenarnya diam-diam sudah memiliki laki-laki yang mereka taksir, tapi mereka tidak memberitahu siapapun. Mereka hanya diam sambil menikmati permainan tawar menawar yang makin tinggi, sampai laki-laki yang mereka taksir datang melamar, dengan harga yang tinggi pula.
Mengenai alasan kenapa mereka melakukan hal demikian dan hubungannya dengan harga diri atau sifat wanita, semua itu di luar pemahaman Wander. Ia sering membatin bahwa ia tidak akan pernah mengerti mahluk yang namanya perempuan.
Juga, anggota keluarga mereka telah bertambah lagi. Baru dua bulan yang lalu, adik kembar Wander lahir. Sorju Nili Oward dan Hinael Nili'l Oward sedang tertidur di pangkuan Miar dan Asyu. Wander sangat menyayangi adik bayinya, dan ia begitu gembira setiap kali melihat mereka. Ia juga lega bahwa ibunya bisa melahirkan dengan selamat. Sungguh langka seorang wanita bisa melahirkan banyak anak-anak yang sehat dan tetap hidup pada jaman itu. Ketika ibunda mereka sedang menenun, biasanya kakak-kakak Wander akan membantu merawat si kembar.
Keluarganya melihat masa depan sebagai sesuatu yang penuh harapan. Akan tetapi dalam hati Wander sendiri ada suatu hal yang demikian mengusik hatinya. Bahwa tidak ada satu orang pun di keluarganya yang akan mewarisi seni Luan ibundanya. Ia terus memperhatikan ibunya. Beliau sedang mendengarkan apa yang dikatakan ayahnya, meski Wander tidak mendengar sama sekali. Ia teringat akan kata-kata ibunya saat itu.
"Kalau tidak ada seorangpun yang memenuhi syarat untuk kuwariskan, mengapa harus kuwariskan? Lagipula, aku masih sehat. Umurku belum mencapai separuh yang digariskan. Aku pasti akan bertemu dengan calon penerus berikutnya, jika Pencipta Segala Sesuatu mengizinkan, dan akhirnya mewariskan pada Luan ini kepada orang yang akan mengabdikan hidupnya kepadanya."
"Tapi bagaimana jika ibu tidak menemukan siapapun yang cocok?" Ia bertanya saat itu. Tidak ada seorangpun yang pernah minta diajari Ibunya, karena kebangsaan beliau dan kecurigaan yang masih mendalam mengenai Luan sebagai sihir gelap.
"Itu berarti bahwa garis penurunan dan rahasia ini akan berakhir di sini. Itulah Takdir. Ada banyak hal yang harus kau korbankan dan pikirkan sebelum kau yakin bisa menjalani hidup di jalan Luan yang sepi ini."
Ia teringat lagi apa yang ibundanya katakan kepadanya saat ia berumur 6 tahun. Saat itu ia bertanya, "Apa Ibu tidak kesepian? Menenun terus sendiri berbulan-bulan?"
Ia sebenarnya ingin bertanya, "Kenapa menenun terus ketimbang bersama kami?"
Chiru'un saat itu tersenyum lembut, seakan bisa mengerti isi hatinya yang paling dalam, "Dengarkan anakku sayang. Ada sebuah jalan yang bersinar dalam kegelapan. Begitu indah hingga rasanya begitu mengerikan dan juga menawan hati. Begitu suci dan juga murni, tapi terletak jauh di dalam, tersembunyi dari siapapun. Jalan yang harus Ibu tapaki sendirian. Karena tidak seorangpun yang bisa memasukinya kecuali Ibu, dan milik Ibu sendiri, bukan orang lain. Ketika Ibu memasuki jalan suci ini, ribuan tahun pengetahuan dan kebahagiaan akan datang dan bersemi dalam hati ini. Memberitahukan bahwa inilah pilihan, panggilan, janji, dan pengabdian Ibu."
"Janji ke siapa?"
"Janji dengan semua Guru dan Penguasa Luan sebelum Ibu dan Sang Pencipta Segala Sesuatu. Janji suci untuk terus melangkah di jalan ini, betapapun sepinya, betapapun lelahnya, apa pun imbalannya, apakah dicerca atau dipuji, apakah senang atau sedih, suka atau duka… Terus menenun Luan, terus mengasah keterampilan dan hati, betapapun puasnya, betapapun kecewa dan putus asa. Untuk terus berjalan di jalan Luan ini sampai saat terakhir tiba. Jalan ini adalah kebahagiaan dan kesedihan, hidup dan mati, pencerahan dan kegelapan. Semuanya. Singkatnya, Ibu sudah berjanji untuk selalu bersama dengan Luan, dan Luan telah memberikan pada Ibumu ini ayahmu, saudara-saudaramu, serta hidup yang terbaik."
Wander saat itu belum mengerti arti pengabdian Ibunya sampai ia berlatih dengan Shishou dan Masternya. Setelah menemukan dua hal yang dicintainya: tanaman dan Rijeen, ia bersedia mengabdikan hidupnya, hanya demi keduanya! Ia tidak akan merasa hidup kalau terpisah dari keduanya. Namun ia merasakan bahwa ia memiliki kewajiban dan cinta yang samat besar kepada keluarganya. Itulah sebabnya ia memutuskan...
"Wander? Kamu mendengarkan?"
"Y-Ya, Ayah!" Wander mendadak tersentak dari arus kenangannya.
"Kamu sudah memutuskan?"
Wander mengangguk. Ia lalu menceritakan kepada mereka mengenai keputusannya–mengenai janji Masternya kepadanya, lalu rencananya. Ketika ia selesai, seluruh meja dikuasai keheningan.
"Kamu benar-benar yakin?" Ayahnya bertanya. Wajahnya begitu terkejut, tidak menyangka sama sekali.
Ibunya juga tidak bisa menahan kelegaan dan juga kekagetannya, "Kamu yakin, Wuan?"
Wajah Wander makin tenang, "Aku yakin, Ayah, Ibu. Aku yakin pasti bisa."
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Wander mendadak dipeluk oleh ayahnya! Ia balas memeluk, begitu terharu melihat ayahnya sampai berkaca-kaca, dan ketika ia melihat wajah penuh kelegaan ibundanya, ia tahu bahwa ia sudah memilih jalan yang tepat.