Yang paling mulia
di antara manusia
adalah yang tak menghakimi,
yang menerima perbedaan,
dan mencintainya
Ketika makan malam itu telah berakhir, Wander menemukan kakak kesayangannya sedang berjalan-jalan sendiri seputar halaman belakang dan bengkel kerja ibunda mereka.
Wander mendekatinya dari belakang tanpa suara dan berhasil mengagetkannya dengan menyentil pundaknya. Ketika abangnya itu berbalik, ia sudah menyelinap ke belakangnya lagi secepat kucing, hingga membuat Kokru sampai terlompat saat ia berpaling lagi dan bertatapan dengan senyum nakal Wander.
"Wuan! Dasar kau…" Ia sampai lupa bernapas, "Huf! Aku sampai mengira tadi makhluk gaib menyentuh pundakku."
Wander tertawa. Wajah Kakaknya segera bercahaya melihat ia terkiki. Kalau kakaknya senang,
Wander juga merasa begitu senang. Tahun-tahun mungkin telah berlalu tapi hubungan persaudaraan yang begitu dalam masih terjalin.
Kapanpun Wander melihat wajah Kakaknya, ia akan berpikir, "Aku masih ada di sini karena Kakakku," sementara wajah Kokru selalu tampak lebih cerah jika ia melihat adiknya yang paling ia sayangi.
"Bagaimana di pasukan berkuda?" Wander bertanya.
Kokru tersenyum sambil menceritakan adiknya beberapa kisah seputar kehidupan militer dan barak. Wander mendengarkan dengan penuh perhatian. Sementara kakaknya berpikir bahwa jika adiknya itu juga masuk ketentaraan, tentu ia akan menjadi prajurit yang jauh lebih hebat darinya, dan tentu ia yang akan mendengarkan cerita dari adiknya. Akan tetapi adiknya ini memang selalu membawa berita kaget ke keluarga. Ketika mereka semua berpikir ia akan jadi ini, ia akan bilang ia akan jadi itu dengan senyum paling lebar dan yakin. Adiknya itu bagaikan awan. Kamu bisa melihat dan menunjukknya tapi kamu tidak bisa memegangnya atau menggebanya.
Wander, bergantian, menceritakan kisah-kisah lain dalam perjalanannya. Selama 4 tahun terakhir, Wander telah berjalan ke hampir seluruh wilayah Telentium Timur, sampai ke gurun-gurun dan lautnya di Tanjung Selatan, dan sebagian Telentium Barat.
"Oh ya. Ketika aku kembali, tadi aku juga melihat Kisin dan Diorin di kota. Mereka jangkung, pakaian mereka terlalu bagus. Gaya mereka begitu mirip dengan orangtuanya."
Kedua mantan seterunya ini memang telah meneruskan usaha ayah-ayah mereka. Ekspresi wajah mereka masih tetap sombong, dilapisi bedak dan ditutupi baju mahal. Tapi Wander senang melihat mereka karena ia tahu bahwa mereka tidak mencelakai orang lain, melakukan usaha mereka dengan jujur, meskipun selalu berusa meninggikan harga diri mereka. Tapi itupun sudah kemajuan. Ketika ia melambai pada mereka, mereka membungkuk sedikit dan cepat-cepat memalingkan wajah mereka darinya.
"Baguslah," Kokru berkomentar agak pedas. Ia tahu cerita mengenai 'Cap Tangan' di dinding itu.
Wander senyam-senyum, "Memang."
Wander lalu berkata, "Oh ya, Aku sudah lama belum melihat Nalia lagi. Bagaimana kabarnya?"
Wajah Kokru mendadak berubah. Bengong, kaget, bagaikan baru dipukul martil besar, sebelum menjadi begitu merah. Wander menahan napasnya. Ia tahu ada sesuatu!
"Ah… Ia… baik-baik saja."
Wander mendadak menembak, "Kakak, kenapa kau tidak mengungkapkan perasaanmu padanya?"
Kokru terdiam hebat. Ia berusaha menguasai dirinya dan tersenyum, "Ah… Tampaknya aku begitu lelah. Aku harus istirahat dulu. A-angin malam memang tidak baik… Sekarang kau sudah kembali, kau harus cepat menemuinya sering-seringa. Ia merindukanmu."
Wander sama sekali tidak melewatkan senyum penuh pengorbanan itu… Tapi juga pancaran mata yang begitu perih.
Wander sama sekali tidak tidur sekejap pun malam itu, memikirkan soal kakaknya dan sahabat kecilnya yang paling dekat. Dua orang yang ia hutangi nyawa, dan ia cintai melebihi nyawanya sendiri.
Keesokan harinya…
Seperti yang ia tebak, Nalia berada di klinik keluarganya. Ia telah berguru pada ayahnya selama bertahun-tahun dan ia telah dipercaya dan dikenal masyarakat sebagai tabib. Ia sedang memeriksa seorang kakek.
"Bisa'ah li'at 'en'apa, 'non'?" Kakek itu bertaya dengan parau.
Nalia mendekatkan telinganya ke nadi pergelangan tangan kakek itu, lalu ke dadanya. Gerakan anehnya membuat kakek itu agak canggung tapi malu juga bergerak, serba salah. Nalia mencubit kulit kakek itu main-main lalu membuat isyarat tangan.
"'Pa? Ma'a eyang ta' ngerti…"
Nalia cemberut. Ia baru saja mau mengambil pena dan tumpukan kertas di sampinya, ketika suara Wander muncul dari sisinya, "Mau kubantu menterjemahkan?"
Nalia berpaling dan melihat wajah pemuda karibnya itu. Ia menangkup dagunya seakan sedang berpikir keras. Tapi sepasang matanya tidak bisa membohongi Wander, karena bersinar-sinar jenaka.
"Ia ingin memberitahumu bahwa kamu hanya..." Ia terus menerjemahkan dengan lancar, sambil mengikuti gerakan tangan Nalia yang bagaikan menari.
Hubungan Wander dengan Nalia tetap dekat selama sampai sekarang.
Dari sejak kecil, ayah Nalia yang selalu datang memeriksa Wander. Nalia, setiap ada kesempatan, selalu bermain ke tempat Wander. Bahkan ketika ia belum setengah sehat sekalipun. Mereka selalu bermain bersama. Ketika Nalia mendengar Wander telah menjadi murid Kurt, ia merasa kesepian. Karena selama Wander sibuk berlatih di rumah Kurt, ia tidak mengirimkan kabar apa pun. Saat demikian, Kokru menemaninya. Ia bahkan menganggap Kokru seperti kakaknya sendiri. Setiap kali Wander mendapat libur, Wander selalu bermain dengan sahabatnya ini.
Wander tahu bahwa kakaknya sudah kenal dengan Nalia sejak kecil. Tapi setiap kali Nalia bersama Wander, Kokru tidak pernah berlama-lama. Demikian juga ketika Kokru bersama Wander, Nalia tidak pernah mengganggu. Wander baru menyadari betapa dekatnya Nalia dan kakaknya sebenarnya setelah ia menjadi murid Shishounya.
Setelah klinik ditutup, Nalia dan Wander berjalan-jalan di taman Jil Mirrad. Sambil menikmati udara senja, Wander bertanya, "Sudah berapa lama kamu dan Kakak berdua?"
Nalia agak kaget, wajahnya memerah. Wander merasa jantungnya juga berdebar-debar.
Nalia begitu cantik dan manis.
Gadis itu cepat menguasai dirinya. Ia mengerutkan keningnya. Ia menggerakkan tangannya: Kokru [Nalia teman baik. Seperti kamu aku.]
Wander tidak menyerah, "Kau dan Kakak sering sekali bersama. Aku tahu itu. Apa kau menyukainya?"
Nalia hanya menatapnya. Ia memainkan taktik yang sama dengan Kokru. Taktik tutup mulut. Wander dan ia terus berjalan tanpa suara. Selama beberapa lama hanya ada kesunyian yang begitu berat di antara mereka.
Ketika mereka mencapai sebuah pohon besar di tengah taman itu, Wander segera duduk di tempat yang rindang. Nalia juga ikut dan mereka duduk berdampingan, melihat matahari terbenam.
"Ketika aku masih kecil, aku selalu sakit… Tapi Kakak selalu ada di sana, merawatku, dan mencintaiku. Ia lakukan segalanya demi aku. Ia menyendokiku, membacakanku dongeng, mencuci bajuku, bahkan membersihkan kencing dan kotoranku," Wander tertawa saat ia menceritakan hal ini.
Air mata penuh kasih berkilauan di pelupuk matanya.
"Aku sayang sekali pada Kakak. Ia selalu memikirkanku, meski setelah aku sehat. Ia selalu membagi barang-barang yang paling ia sayangi sekalipun buatku. Aku hanya… tidak tahan lagi mengambil apa pun darinya, tapi tiap kali ia selalu tersenyum… dan senyumnya begitu mempan padaku. Sampai aku selalu menerima pemberian dan kasihnya, hanya untuk melihatnya tersenyum sekali lagi. Kalau ia tersenyum, aku akan tiga kali lebih bahagia," Wander terus bicara. Bibirnya terasa kering dan kata-katanya terus mengalir tanpa berhenti sesuai dengan perasaan hatinya.
"Kamu adalah sahabatku yang paling baik. Ketimbang menolong dan melindungimu sebagai laki-laki, aku malah lebih sering merepotkanmu. Kamu juga selalu siap menolongku. Merawat dan menyayangiku apa adanya. Aku sayang padamu, seperti aku sayang pada Kakak. Tapi aku tahu bahwa sekarang Kakak jarang tersenyum tulus lagi... Ada kilau di matanya ini yang begitu membuatku sakit. Kamu tahu apa yang kumaksud, bukan?"
Nalia menatap Wander. Pipinya telah basah oleh dua aliran basah dari matanya.
Setelah kesunyian yang begitu menghentak, ia akhirnya mengangguk. Ekspresi wajahnya begitu menyakitkan bagi Wander.
"Lalu, apa perasaanmu yang sebenarnya?"
Nalia membuat isyarat tangan perlahan-lahan. Tubuhnya bergetar.
[Dua laki-laki. Aku sayang. Pilih Nalia tidak. Nalia tidak lukai siapa pun.]
Wander tersenyum getir, "Kalian berdua tidak perlu harus mengkhawatirkanku begini lagi. Pikirkanlah diri kalian sendiri. Atau kali ini saja, kumohon…."
Nalia mendadak menangis tersedu. Tangannya menari-nari, menyatakan perasaannya. Wander sesaat terhenyak. Sesaat ia ingin memeluknya, tapi ia menyadari bahwa jika ia memeluknya, ia hanya akan menambah kerumitan… juga mengakui perasaannya sendiri pada gadis bisu ini.
Ia tahu benar bahwa Nalia sedang membohongi dirinya.
"Tolong jaga Kakak baik-baik," Ia menjura penuh perasaan.
Nalia akhirnya mengangguk. Ia jatuh berlutut, menangis sejadi-jadinya. Wander tidak tahan. Ia bangkit dan pergi.
Nalia hanya duduk di sana. Larut dalam kesedihan yang amat sangat. Ia merasa begitu berduka sampai ia akan melompat masuk ke dalam jurang terjal, jika ada satu yang tersedia di dekatnya. Tapi anehnya, ia juga merasa begitu lega. Tapi ia mengutuk dan memukuli perasaan positif itu kuat-kuat.
Mendadak, ia mendengar suara langah kaki mendekat. Ia menengok dan melihat Kokru sedang diseret-seret Wander ke arahnya.
Wander berkata dengan serak, "Sekali ini saja, Kak. Pikirkan soal dirimu! Kau layak baginya."
Kokru tampak memberontak, tapi tekad Wander begitu kuat. Atau apakah Kokru yang setengah enggan?
Ia melihat pertengkaran saudara itu. Ia mendadak menyadari bahwa ia sedang tersenyum saat melihatnya. Ia menyadari kenapa ia merasa lega, dan ia memaafkan dirinya sendiri. Ia menelan semua air matanya dan perlahan ia bertekad pada dirinya sendiri.
[Aku sudah memutuskan.]
Ia berdiri dan kemudian ia berjalan ke arah Kokru, dan memeluknya dari belakang saat ia mulai lari.
Perjuangan Kokru sontak berhenti. Wander mundur dengan penuh kepuasan.
"Nalia… Lepaskan aku! Ini…"
Tapi Nalia tidak melepaskannya. Ia menangis sambil menempel erat-erat di punggungnya bagaikan anak yang hilang. Hati Kokru yang lembut akhirnya tidak tahan, ia berbalik dan memeluknya. Berusaha menghiburnya sambil masih berusaha bergulat menolaknya.
"Aku tidak pantas untukmu… Kamu selalu mencintai Wander. Aku tahu itu…."
Tapi Nalia terus menggelengkan kepala. Tangannya bergerak.
[Kokru tak mengerti.
Kokru tak mengerti. Nalia akhirnya mengerti.]
"Mengerti… apa?"
Kokru membatu saat melihat senyum gadis itu. Detik berikutnya, gadis itu sudah menciumnya dalam-dalam. Kokru bagaikan telah menjadi arca saat bibir mereka bertemu, tapi sebelum ia menyadarinya, ia sudah balik menciumnya pula dengan, penuh gelora dan hasrat. Keraguan dan pertikaian batinnya mendadak terlepas, dibanjiri oleh rasa syukur dan bahagia begitu dalam, tapi ia begitu terhenyak melihat Nalia masih terus menangis.
"Jangan menangis separuh hatiku… Baiklah… Aku akan mengatakannnya. Aku mencintaimu. Sangat sayang padamu." Kata-kata itu akhirnya terlontar dari bibirnya.
Nalia malah menangis makin keras.
Kokru tambah kebingungan. Ia tersenyum pahit, "Ah.. Aku malah membuatmu menangis. Kamu tidak suka padaku?"
Nalia menggelengkan kepalanya.
"Lalu mengapa masih terus menangis?"
Nalia memelototinya dengan marah tapi sekilat rasa geli juga berpijar di matanya.
[Kokru tidak mengerti hati gadis!
Kokru tidak akan mengerti…
Ini air mata bahagia…]
Wander memperhatikan dua orang yang paling ia cintai akhirnya bersama dari jauh. Ia merasakan luapan kegembiraan menyapu jiwanya. Mereka berdua telah mengorbakan kehidupan mereka bahkan demi ia, mereka selalu memikirkannya di atas segalanya bahkan perasaan mereka sendiri. Saat itu, Wander bersumpah bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan apa pun memisahkan mereka. Ia ingin melindungi mereka seumur hidupnya.
Ia telah memutuskan.