Orang bijak berkata
Pada awal perjalanan spiritual
Orang melihat gunung sebagai gunung
Pada tahap madya,
Orang melihat gunung sebagai
yang agung, ilahi, suci, sakral,
Pada tahap akhir,
Orang kembali melihat gunung sebagai gunung,
Tapi hidupnya telah terubahkan
Inilah pelajaran terakhir yang diajarkan Kurt pada Wander perihal Riijen.
Bagian terpenting yang harus diketahui seorang Pengejar Mimpi. Batu penjuru, fondasi, dari semua perkembangan dan pemahaman mengenai Rijeen, sekarang dan di masa yang akan datang.
Kurt berkata ke muridnya yang penuh semangat dan masih belum tahu mengenai hal ini, "Inilah ujiannya. Ujian Terakhir dariku. Kamu lulus ini dan kamu sudah siap bertemu dengan Guru sejatimu."
Ia bisa melihat muridnya ternganga mendengar pernyataan yang begitu mendadak dan begitu berat. Ia melanjutkan,"Ujian ini hanya satu pertanyaan saja. Jawab dengan seluruh hatimu dan kamu lulus."
Wander terdiam.
Kurt sudah memulai ujian itu tanpa ampun.
"Apa itu Khici?"
Wander sejenak terhenyak. Bengong, sebelum ia pulih dan siap menjawabnya secepatnya, tapi Gurunya membentaknya seperti badai petir di musim panas.
"Kalau berani jawablah tanpa menguncarkan semua teori yang telah kau dengar atau kau telah baca di buku manapun! Kalau kau mengutip kau akan kuhajar!"
Wander segera terdiam, betul-betul kaget, "A-apa maksudmu Guru?"
"Kamu tidak tahu kan? Kamu tidak tahu apa itu Khici selain dari yang kamu baca atau kamu dengar dariku. Ada ratusan, ribuan teori, kata-kata, puisi, risalah teknik, jurus, sikap, rapalan, visualisasi, juga pengalaman dan sensasi yang telah terbentuk dalam pikiranmu mengenai apa yang menurut kamu Khici. Tapi bisakah kamu mengatakan padaku dengan sepenuh jiwa dan ragamu apa itu Khici? Dari dasar jiwamu sendiri?"
Momen hening berlalu di antara mereka, sementara Wander menguras isi kepalanya mati-matian, mencoba mencari jawaban yang betul-betul dari dalam dirinya. Tapi, perkataan Gurunya benar sekali, menghujam sampai ke sumsumnya. Wander menunduk, melihat permukaan taman dengan malu ketika kebenaran itu mulai menyerap ke dalam hatinya. Ia sama sekali tidak tahu Chi itu apa jika ia harus merumuskannya sendiri. Ia merasa kecil hati, dan masygul…
"Kenapa pertanyaan ini guru?"
"Inilah gunanya pelajaran dan ujian, Wuan. Pelajaran membuka wawasan, mendobrak di luar pemikiran dan pandangan kita semula. Ujian hadir untuk meleburkan wawasan itu hingga tak terpisahkan dari diri kita, menyadarkan dan mencerahkan, bukan membuat orang membeo dari ajaran yang dihafalnya. Burung kakatua bisa membeo, bahkan domba pun mengikut saja, kadang secara membuta, namun manusia itu beda. Tugas dan karunia kita adalah mencari jawaban milik kita sendiri, bahkan yang paling gila sekalipun, bagi setiap pertanyaan," Kurt berkata.
"Apa lagi yang bisa kutemukan sendiri? Semuanya telah ditemukan, Guru! Ada ribuan Master sebelum aku… Semuanya…."
Kurt langsung marah, "Jangan pernah merendahkan dirimu. Kamu tidak pikir dahulunya semua Master itu dulunya juga bayi? Orang yang tak berpengetahuan? Tidak pernah jadi anak muda sepertimu? Sama-sama makan roti dan minum air? Bagaimana mungkin kamu bilang semuanya sudah ditemukan?"
Wander terdiam seperti tikus mati. Kurt mendengus, "Cari jawabannya, Wuan. Yang terpenting bukanlah apa yang ditemukan orang lain, tapi dirimu sendiri. Aku pasti akan mengetahui jawaban dari hati yang mengetahui dengan yang tidak. Aku harap aku bisa mendengar jawaban yang bagus, Wuan."
Kurt berbalik dan pergi meninggalkannya.
"G-Guru…!" Wander memanggilnya dengan tertahan, penuh dengan keraguan.
Kurt hanya berpaling sedikit dan berkata, "Kalau kau bisa menemukan jawabannya, kamu akan menemukan Ilmu Bela Dirimu sendiri, dan kamu akan mengetahui arti dari Rijeen bagi dirimu. Tekunlah mencari, Wuan."
Ketika ia mendengar kata-kata itu, Wander merasa seakan sebuah pintu yang selama ini ia tak pernah lihat sebelumnya terbuka dalam hatinya. Mendadak ia merasa tertantang. Ia tersenyum, penuh dengan harapan. Dadanya bergemuruh dengan keberanian dan semangat.
"Aku akan melakukannya." Ia berkata pada dirinya.
Lalu dimulailah perjalanannya mencari jawaban.
Hari-hari latihan telah membuat badannya liat dan lentur, bertenaga dan terlatih, geraknya seimbang dan lembut. Pikirannya menjadi lebih tajam dan jelas. Hatinya penuh dengan ketenangan, hingga ia bisa belajar dan berlatih dengan begitu fokus. Tapi semua perkembangan ini tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Ia hanya bisa menggunakan pikirannya, pengalamannya, dan pengamatannya didukung hasil latihannya untuk memecahkan teka-teki ini.
Bahkan sambil mencabuti rumput liar di taman, berlari pagi, berlatih, bersemadi, atau belajar Wander terus mengulang pertanyaan itu di kepalanya bagaikan mantra.
"Apa itu Khichi?" Bisiknya terus.
Apa itu Khici?
Akan tetapi semua jawaban yang muncul dalam benaknya berasal dari rumusan orang lain. Wander mengerahkan semua kreativitasnya untuk mencari rumusan baru. Ia menghabiskan berjam-jam mencoba mencari rumusan baru yang bisa mencakup semua pengertiannya. Usahanya demikian kerasnya hingga ia berpikir sampai berkeringat begitu deras di depan mejanya, menatap lampu dan kertas kosong di depannya.
Jam demi jam berlalu dan dua hari berlalu tanpa tidur sama sekali penuh dengan penyelidikan dan pencarian yang keras akan jawaban satu pertanyaan ini.
Pada hari ketiga, Wander sudah frustrasi. Ia baru menyadari bahwa meski ia mencoba mengarang rumusan baru, hasilnya tetap saja hanya susunan, perca, tumpukan semua teori dan pengetahuan soal Chi yang sudah tertanam begitu keras dalam pikirannya dari orang lain. Teori-teori ini sudah membatu dalam bawah sadarnya karena bertahun-tahun lafalan dan latihan berdasarkan sudut pandang tersebut. Jumlah teori dan paham yang ia pelajari sebagai begitu banyak, semuanya mendetail dan tertata rapi, mantap, dan ia sudah berlatih berdasarkan konsep itu dan memperoleh hasil dari pemberdayaan Khici dari sana.
Sekarang ia malah diminta kembali ke awal, tidak bahkan lebih dari awal, diminta mencari tahu apa itu Khici? Mempertanyakan fondasi segala hal yang mengalir kuat dalam dirinya. Bukankah itu lebih mustahil melempar bebatuan ke udara dan berharap bahwa jatuhan batu itu menyusun rumah yang rapi?
"Khici hanyalah kekuatan langit, bumi yang dipinjam manusia! Khici hanyalah kekuatan yang dikembangkan dengan metode tertentu! Khici adalah tenaga dalam berdasarkan metode pernapasan dan semadi!" Demikian batinnya berteriak kuat-kuat.
Tapi ia tahu bahwa itu cuma jawaban standar berdasarkan keyakinannya semata. Wander menghela napas yang berat dan panjang. Kelopak matanya mulai seberat timah hitam, dan beberapa saat kemudian ia sudah tertidur lelap di atas dipannya.
Ia bermimpi mengenai sebuah kenangan.
Dua tahun yang lalu… Saat itu, ia tidak tahu bahwa hal ini bakal jadi ujian yang sekarang.
["Saatnya kamu mengerti apa yang paling penting jika kamu ingin terus mempelajari Rijeen. Gagal memahami pertanyaan ini, akan membawamu ke jalan kehancuran. Menurutmu, apa yang paling penting bagi seorang yang belajar Rijeen, Wuan?"
"Apa itu moral, Guru?"
Kurt tertawa. Banyak Master-Master di luar sana bertahan hidup dan berjaya tanpa harus mengikuti prinsip moral, Wuan.
"Lalu, apa itu Kekuatan?"
Kurt menatapnya dalam-dalam, sebelum menjawab.
"Banyak Master dan ahli bela diri di luar sana berpikir itulah jawabannya."
"Apakah itu jawabannya?"
Kurt tersenyum.
"Aku, juga, sudah 40 tahun berpikir bahwa itulah jawabannya. Tapi ternyata bukan."
"Ooh…" Wander cemberut kecewa, ia juga berpikir demikian. Bukankah siapa yang terkuat dialah yang akan bertahan? Bukankah hukum rimba yang berlaku di dunia Pengejar Mimpi? Ia juga belajar untuk menjadi kuat.
Tapi ia cepat bertanya lagi, berusaha mempertahankan pendapatnya.
"Tapi kalau bukan untuk Kekuatan, buat apa orang belajar bela diri?"
Kurt diam untuk waktu yang lama. Saat Wander mengira bahwa sore ini akan dihabiskan dalam keheningan, Kurt mendadak berkata.
"Itu karena mereka memutuskan sendiri sebuah 'jawaban' dari pertanyaan mereka dan mereka terus mengikuti 'jawaban' itu sepanjang hidup mereka. Mereka mengabdikan hidup mereka untuk membuktikan bahwa 'jawaban' mereka itu benar. Mereka hidup berdasarkan apa yang mereka percaya. Suatu hari, kamu juga akan menemukan 'jawaban' milikmu juga, yang kau bisa abdikan sebagai jalan hidupmu."]
Wander terbangun. Hari rupanya sudah menjelang fajar. Langit mulai perlahan terkuas dengan warna yang makin lama semakin cerah. Untuk sesaat, segalanya terasa demikian hening. Bahkan bunyi angin pun tidak terdengar.
Ini adalah pertanyaan yang harus kujawab sendiri. Jika aku tidak bisa melakukannya, aku tidak berhak belajar ilmu bela diri lebih lanjut.
Ia menyadari wujud sebenarnya dari pertanyaan ujian itu:
[Apa itu Khici bagiku?]
Ia masih tidak mengetahui jawabannya, tapi ia bertekad kuat untuk menemukannya. Bukan karena ia disuruh melakukannya, tapi sekarang karena ia begitu ingin menjawabnya sendiri, demi dirinya sendiri. Meskipun perlu waktu bertahun-tahun untuk melakukannya.
Sejak saat itu usahanya semakin giat untuk merenungkan pertanyaan itu.
"Kalau bagimu, apa sih Chi itu Guru?" Wander tidak tahan bertanya suatu hari. Pertanyaan itu begitu saja terlontar dari mulutnya ketika mereka melatih gerak tarian bersama.
Kurt nyengir, "Kamu sedang berusaha menyontek, Wuan. Orang yang curang tidak akan pernah mengerti suatu pelajaran sebagaimana hal itu seharusnya. Sayangnya, jawabanku tak ada hubungannya denganmu. Itu punyaku dan selalu hanya untukku. Sekarang apa punyamu dan hanya untukmu?"
Wander menggaruk kepalanya, "Aku belum tahu, Guru."
"Kalau begitu cari baik-baik, Wuan."
[Apa sebenarnya Chi itu?
Apa itu Chi bagiku?]
Pada awalnya, ia berpikir bahwa Chi adalah kekuatan luar biasa yang datang dari alam semesta dan terserap ke dalam tubuh dan jiwa melalui usaha dan latihan. Kekuatan yang aneh dan ajaib ini telah mengatasi penyakitnya, mendorongnya ke keadaan yang begitu sehat, kuat. Akalnya menjadi jelas dan tajam, jiwanya tenang dan seimbang.
Sebuah teori pernah menyebutkan bahwa Manusia adalah Elemen Ketiga yang berada di antara Dua Elemen Tanpa Batas: Bumi dan Langit. Manusia, yang dilahirkan dari esensi laki-laki dari Elemen Langit dan esensi wanita dari Elemen Tanah ditakdirkan memiliki kemampuan menjadi semacam 'wadah' bagi kedua unsur ini. Sehingga manusia meminjam Kekuatan Bumi sebagai penyusun jasmaninya dan Udara untuk bernapas dari Langit. Sebuah dualitas yang saling melengkapi satu sama lain, Langit dan Bumi, Yin dan Yang.
Ia menyadari bahwa pemikirannya selalu berakhir dengan kesimpulan yang sama: Chi itu pasti Kekuatan.
Energi yang dikaruniakan pada manusia yang mengabdikan diri pada latihan, semangat, penyelidikan, dan usaha luar biasa untuk mendapatkannya dan mengolahnya sebagai alat untuk membantu kehidupan. Karena energi ini bisa dibangkitkan dan dilatih, ia merupakan sebuah ilmu. Karena ia memiliki begitu banyak bentuk dan sifat, bentuk energi yang dikembangkan ini bisa disebut Seni atau Kemampuan.
Wander juga telah mendengar berbagai kisah dunia persilatan, di mana para pendekar terus berusaha mencari Kekuatan Tertinggi. Chi merupakan jalan dan sumber mereka untuk mencapai Kekuatan Tertinggi, kulminasi dari ambisi dan mimpi mereka.
[Tapi apakah itu jawaban sebenarnya?] Hati Wander berbisik ragu. Jika itu memang jawabannya, mengapa hatinya terasa demikian ragu. Apakah jawaban yang diturunkan sedari kuno, yang membentuk jawaban dan pikiran mengenai konsep Chi itu adalah kebenaran tunggal? Apakah jawabannya demikian mudah dan cepat hingga tidak perlu berpikir sama sekali? Apakah jawabannya sama hingga jawaban dari orang lain juga bisa digunakan?
[Tidak. Itu bukan jawabanku sendiri.
Aku harus mencari jawaban yang betul-betul memuaskanku.
Itulah jawabanku, jawaban yang hanya untukku.'
Karena Chi-nya adalah miliknya sendiri, ia harus menyelidiki sifat-sifatnya lebih dalam. Akan tetapi Gurunya tidak pernah mengajarkannya teori atau latihan Chi lebih lanjut. Jadi, ia hanya bisa memakai satu-satunya alat penyelidikan yang tersisa: semadi atau meditasi.
[Aku harus menyelidikinya dalam diriku, sampai ke akarnya.]
Terbawa iktikadnya, ia duduk di tengah taman.
Matanya terpejam dan ia mengumpulkan segenap kesadarannya.
Semadi pada dasarnya merupakan aspek harian latihannya. Hanya dengan bernapas dan menyadarinya, itu sudah merupakan semadi yang mapan. Tetapi ketika persepsi indra dibatasi dengan menutup mata dan pintu indra lainnya, membuat tubuh diam seperti pohon yang berakar dalam, ia bisa mencapai keadaan yang luar biasa hening tempat ia mendapati bahwa batinnya menjadi tajam, terpusat, kukuh. Kini, kekuatan setajam bilah pisau tertajam, seterang larik sinar laser itu, ia arahkan pada pertanyaan itu:
[Apa itu Khici?]
Dalam keheningan yang dalam, satu-satunya yang bergerak liar adalah pikirannya. Berbicara, terus berteriak, beterbangan ke sana kemari tanpa arah. Ia hanya mengamati mereka dengan sabar, tidak terlalu memedulikan mereka, sambil terus berkonsentrasi pada mantranya:
[Khici. Khici. Khici. Khici. Khici…]
Ia terus melakukannya, sampai ia merasa seakan-akan ia ditenggelamkan dalam sebuah lautan yang sunyi dan lembut. Ia merasa tubuhnya bagai terurai, keping demi keping… Sampai yang tersisa hanyalah gema itu. Suara dering yang aneh dan misterius di dasar kesadarannya. Kesadarannya terus melayang, berusaha mengikuti asal gema itu.
Mendadak ia merasakan adanya sebuah palung.
Palung yang gelap, besar, dan bagai tak berdasar dengan kerlip cahaya di tengahnya. Kegelapan di dalamnya begitu pekat hingga segala warna bagai diisap, termasuk dirinya, menuju ke kilauan di bagian tengah.
Dalam keadaan normal, ia tentu sudah menjerit, tapi ketenangan mahakuat menguasainya. Ia bagaikan mengikuti alur dan arus nir-warna, nir-wujud, perlahan namun pasti memasuki lubang hitam yang bagian tengahnya berupa bintang bercahaya. Anehnya ia merasa luar biasa senang, ia bahkan tahu ia sedang tersenyum lebar, jika ia masih memiliki bibir…
Kemudian ia melebur dengan cahaya itu.
---
Ketika Wander sadarkan diri, ia sudah berada di atas tempat tidur. Suara yang keluar dari mulutnya begitu tenang dan pertanyaan pertamanya adalah, "Sudah berapa lama berlalu, Guru?"
Wajah Gurunya yang berada di samping tempat tidurnya bagai terbelah antara kelegaan, kekhawatiran, namun juga terpana. Tapi pendekar berambut emas itu tidak meledak, melainkan hanya mengelah napas.
"Tiga hari."
Tapi Kurt tidak memberitahunya bahwa selama tiga malam itu, Wander tidak bernapas. Ia mengira Wander telah mati suri atau bahkan meninggal, namun anehnya badannya tetap hangat. Dengan wawasannya, ia memindahkan Wander ke dipan dan terus mengawasinya.
Wander tertegun, lalu ia tersengat saat ingatannya mengalir deras kembali. Ia termangu sejenak, air matanya bertetesan di selimutnya.
Ia berbisik lembut, "Kutemukan jejaknya…"