Juni, Tahun 612 Penanggalan Sang Pencipta
Likuun memang senang sekali melihat anak bungsunya semakin sehat dan berseri-seri. Tidak tampak lagi wajah yang pendiam, misterius, memendam kesedihan seorang anak yang tersiksa, melainkan keceriaan, binar, dan semangat menyala-nyala. Ketika ditanya pertama kali mengenai Gurunya, Wander menjawabnya dengan pujian setinggi langit, rasa hormat dan kekaguman tiada tara.
Sekarang, setelah setahun Wander berguru dengan Kurt, rasa senang yang Likuun rasakan sudah mulai berubah menjadi kegusaran, dan juga keheranan yang menjadi-jadi.
Masalahnya dimulai dari sejak Wander pertama kali diizinkan pulang. Ia membicarakan mengenai Gurunya, wisma itu, dan ya, soal taman. Sejak saat itu, kalau ia pulang ke rumah, omongannya selalu mengenai taman, bunga, pohon dan berkebun.
Wander berbicara soal bebungaan, biji-bijian dan benih, pupuk, sinar surya dan tata air, kain dan sistem mulsa, dan berbagai guna tanaman rempah. Di ruang keluarga, di meja makan, sampai di kamarnya, apa yang ia bicarakan (jika diizinkan) selalu mengenai berkebun. Matanya akan memancarkan cahaya jika ia sedang membicarakan hobinya itu. Kepada pendengar setia seperti Ibu dan Kakaknya, ia mampu berceramah tentang hampir tiga ratus jenis bunga dan tanaman jika saja ia diizinkan lebih dari sehari saja di rumahnya.
Fyure yang memang cemburu dengan keberuntungan yang Wander berhasil berguru pada Kurt, kini mengejeknya dengan gembira. Setiap ada kesempatan, ia terang-terangan menyebut adiknya itu tidak lebih dari kacung tukang kebun. Ia pernah berkata, "Minggu lalu ia bicara soal menanam kol dan cabe, minggu ini soal bunga aster dan hydrangea. Aku pikir Gurunya hanya mengajarkannya bagaimana mengaduk tanah dan pupuk kandang."
Kakak perempuannya sebagian besar hanya mengacuhkan Wander, lebih suka memikirkan hal lainnya ketimbang mendengar ceramah soal bagaimana menggemburkan tanah, serta jarak tanam bayam dan selada.
Minggu ini pun, Wander tidak jauh-jauh dari pembicaraan penuh semangat soal berkebun, "Guru baru mengajariku cara membuat stek tanam. Itu luar biasa sekali. Ibu bisa menanam pohon tiga atau empat jari panjangnya dalam tanah lalu bisa tumbuh akar dengan sendirinya! Hebat sekali alam itu. Ibu harusnya melihatnya sendiri!"
Chiru'un tertawa, "Aku takkan berani datang ke rumah gurumu. Beliau sudah begitu baik hati memberikan sekeranjang bunga lagi, kali ini lain dari yang lain, apa ya namanya?"
"Itu bunga Anggrek Ular Emas! Itu anggrek langka dari hutan hujan Mauro! Hanya mekar sekali dalam lima tahun."
Sorot mata Chiru'un berkilau-kilau. Ia jelas pernah melihat bunga itu namun belum tahu namanya sedari dulu.
Chiru'un memuji,"Wah, betapa berharganya. Sampaikan salamku pada Gurumu."
Likuun sudah cukup dan muak mendengarkan apa pun soal anggrek atau bebungaan lagi. Ia mengirimkan anaknya untuk belajar bela diri bukan berkebun!
"Wuan..! Bisakah kau tidak membicarakan soal berkebun di meja makan?"
Wander menunduk malu, "Baik, Ayah."
"Kenapa kamu tidak menceritakan yang Gurumu ajarkan mengenai Rijeen?"
Wander sejenak tercenung. Ia berpikir sebentar sebelum ia menjawab dengan hati-hati, setenang mungkin, "Guru mengatakan kepadaku bahwa ia tidak pernah mengajarkanku ilmu Rijeen."
Sendok berkelontangan ketika terjatuh dari genggaman Likuun. Ia begitu shok.
"APA?!"
Wander merasa khawatir ketika mendengar nada suara ayahnya betul-betul murka, tapi ia merasa perlu meluruskan hal ini, "Ya. Guru bilang begitu. Ia tidak pernah mengajariku ilmu bela diri."
"DIA TIDAK PERNAH MENGAJARKANMU RIJEEN? DIA BERJANJI MELAKUKANNYA!"
Wander membuka mulutnya tapi segera ia katupkan kembali melihat isyarat mata Kokru.
Fyure terkekeh, "Jadi ia hanya mengajarimu untuk jadi tukang kebun, adik kecil?"
"Itu salah satu pekerjaan paling mulia, Demi Divara. Guru mengajariku berkebun dengan sangat baik," Wander menukas balik dengan tajam.
Apa yang diucapkannya itu bagai menyiram api dengan minyak. Likuun meneriakkan kata-kata penuh amarah pada Wander, lalu ia disuruh segera masuk ke kamar.
Chiru'un hanya bisa mengelah napas tanpa henti. Sudah diberi isyarat ternyata kakak sulungnya ternyata masih saja membandel.
Likuun menyatakan dengan amarah dingin, "Aku akan menemui Master Kurt, besok juga."
Chiru'un tersenyum misterius, "Mungkin memang seharusnya begitu, Sayang."
"Apa yang kau senyam-senyumkan? Ini bukan main-main! Ia tidak mengajari apa yang seharusnya anak kita patut terima. Ia berdusta."
Chiru'un masih tersenyum, "Mungkin… Tapi Wander tetap senang sekali dengan Gurunya."
"Tapi ia berjanji!"
"Aku tahu sayang. Dan beritahukan hasilnya setelah aku selesai menenun… Buket bunga Master Kurt memberikanku inspirasi. Aku pikir aku bisa menenun Luan untuk Raja, kali ini, mulai esok."
Amarah Likuun makin terbakar dalam, sekarang bahkan buket bunga dari Guru tak bertanggung jawab itu membuat Istrinya kembali mengasingkan diri.
Akan tetapi, ketika Likuun akhirnya berhadapan dengan guru anak bungsunya itu, amarahnya sudah mencair, digantikan oleh rasa canggung dan segan, tidak enak sekali dengan apa yang akan ia katakan. Melawan sikap Kurt yang rendah hati, senyumnya yang ramah, serta posisinya sebagai tuan rumah yang begitu dermawan membuat pengaruh yang demikian dalam. Belum termasuk reputasi tak terbantahkan Kurt sebagai Pengejar Mimpi yang misterius dan sakti. Betapapun marahnya Likuun, ia tidak akan bermimpi untuk memancing emosi Kurt.
Setelah menukar salam dan basa-basi sesuai dengan tradisi, ayah Wander akhirnya bisa mengatakan hal yang diinginkannya, "Sebenarnya, saya datang kemari karena aku ingin membawa Wander kembali denganku."
Ia berhenti beberapa saat, tapi melihat ekspresi wajah Kurt tidak berubah, Likuun melanjutkan dengan rasa khawatir yang makin menggunung, "B-bukannya saya meragukan kemampuan Guru… mengajar, tapi… setiap pulang ke rumah, anak ini selalu membicarakan soal taman dan bunga," Ia dengan takut-takut menatap Wajah Kurt.
Kurt malah tersenyum seperti anak kecil mendapatkan mainan atau kembang gula.
"Tentu saja demikian. Wuan sangat senang berkebun. Anak kecil suka bicara apa yang mereka sukai."
Likuun terperangah mendengar kata-kata Kurt, tapi ia gigih, "Tapi bukankah ini artinya Wander tidak pernah diajari ilmu bela diri?"
"Sejak kapan aku pernah bilang padamu bahwa aku berjanji akan mengajari anakmu ilmu Rijeen?"
Wajah Likuun tersirap ketika ia mendengar pertanyaan balik itu.
"T-tapi? K-kenapa..?"
Kurt melihat ke Wander yang berdiri diam dengan wajah cemberut di samping ayahnya, "Coba koreksi kalau aku salah, Wuan. Tapi bukankah pertama kali kita bertemu aku hanya mengatakan pada ayahmu seperti ini: 'Jika kamu masih mau mempercayai tua bangka tak berpendidikan ini, maukah Tuan membiarkan aku mengasuh dan menjaga anakmu? Dengan senang hati aku akan mengajarinya.'"
Wander mengangguk mantap. Likuun juga dipaksa mengingat kejadian itu.
"Itu tidak berarti aku berjanji akan mengajarinya Rijeen!"
Melihat wajah Likuun yang begitu tersiksa dan kehabisan akal selama beberapa menit, Kurt tersenyum, "Baiklah. Baiklah. Karena sekarang kamu sudah berubah pikiran rupanya soal pengajaranku, mari kita buktikan apakah apa yang kuajarkan sudah cukup bagus atau tidak sesuai keinginanmu."
Kata-kata ini membuat Likuun bingung, tapi Kurt sudah berdiri dan berkata dengan tegas, "Ikut aku, Tuan Likuun. Kamu juga, Wuan."
Ucapannya lebih ke perintah ketimbang sekedar ajakan. Jadi, ia mengikuti Pengejar Mimpi itu keluar dari kabin hutannya itu dan menuju Wisma. Di aula utama, Likuun sudah terkagum-kagum. Ia merasa bagaikan masuk ke dalam istana kecil.
Mereka menikung ke satu sayap, dan di ujung koridor itu terdapat sebuah pintu. Ketika mereka melaluinya, sebuah ruang latihan yang luas telah terhampar di hadapan mereka.
Lantai ruang latihan itu terbuat dari kayu pernis, begitu bersih dan berkilau di bawah sinar matahari dari jendela-jendela miring. Setumpukan matras bambu tergeletak di sudut. Kurt membisikkan sesuatu ke telinga muridnya, dan anak itu segera meninggalkan ruangan lalu kembali lagi kurang dari semenit dengan membawa sekantung tepung terigu. Likuun heran bukan main.
Tanpa banyak bicara, anak itu menggambar sebuah lingkaran besar, lebarnya kurang lebih dua meter, sebuah lingkaran kecil di dalamnya, dengan lebar satu meter dengan menggunakan kapur.
"Sekarang, Tuan Likuun, mari kita buktikan apakah anakmu ini layak berkebun atau tidak," Kurt lalu tertawa pada leluconmu sendiri, sebelum wajahnya mendadak berubah menjadi begitu serius.
"Begini saja, kamu bisa bawa anakmu pulang atau apa pun yang kamu mau kalau kau bisa menangkap Wuan di dalam dua lingkaran ini," Kurt menunjuk ke arah Wander yang sudah berdiri dalam lingkaran kecil.
"Kamu bisa pakai cara apa saja. Entah paksa ia keluar dari kedua lingkaran ini, atau menangkap bagian tubuhnya, atau bahkan bajunya. Kalau bisa, kamu menang."
"Aku tidak akan ikut permainan tolol ini!" sergah Likuun.
Kurt ganda tertawa, suaranya terdengar begitu jahat mendadak, "Kalau begitu selesai sudah masalahnya. Kamu tidak lagi meragukan metode pengajaranku dan anakmu akan terus berkebun. Ingat bahwa kamu sudah berjanji bahwa aku boleh mengajari anakmu sesukaku. Baik kamu, maupun aku, memegang surat bukti yang sah mengenai perjanjian ini. Atau… kamu ragu kamu tidak bisa menangkap anakmu sendiri?"
Likuun terdiam. Wajahnya merah dan ia tampak seperti mau meledak setiap saat. Akhirnya ia mengertakkan giginya dan berkata, "Jadi!"
"Jadi!" Kurt membalas dengan tenang, meski ia tampak kegirangan.
Wander membungkuk ke ayahnya, "Mari kita bertanding dengan baik, Yah."
Kurt berkata, "Jangan kuatir, Tuan Likuun. Wuan hanya akan menghindar. Juga, kalau ia sampai menginjam garis lingkaran manapun, ia kalah. Ia bisa bergerak ke lingkaran luar tapi dalam dua langkah ia harus kembali ke lingkaran kecil."
Meski terkejut melihat aturan-aturan penyulit yang dibebankan pada anaknya, Likuun sekarang merasa begitu yakin bahwa ia bakal menangkap anaknya, dengan gampang pula. Ketika ia muda, ia juga sempat mengikuti pelatihan militer. Ia jelas bukan orang lemah.
Ia masuk ke dalam lingkaran. Jaraknya hanya empat langkah orang dewasa dari anaknya. "Siap? Mulai!"
Likuun langsung menyergap anaknya, tangannya terulur ke depan. Tapi ketika hampir tersentuh, mendadak Wander telah menghilang! Likuun cepat berbalik tapi gagal juga menangkap sosok anaknya. Ketika ia melihat lagi ke lingkaran kecil, ia melihat Wander sudah ada di sana lagi! Sesuatu dalam dirinya seperti tersulut. Ia meningkatkan kecepatannya, memburu anaknya, tapi bocah itu selicin belut dan secepat angin!
Hanya dengan gerakan sederhana, ia bisa merunduk, mengelak, bahkan kadang-kadang menjegal kaki ayahnya hingga ia hampir terpeleset jatuh. Tapi bagaimanapun ayahnya mencoba, Wander tetap tak tersentuh!
Likuun semakin terusik, dan ia mengerahkan segenap tenaganya. Meskipun ia bisa bergerak dalam kedua lingkaran itu dengan bebas, gerakan Wander sebat sekali bagaikan hantu. Ketika ia terjepit pun, ia selalu bisa meloloskan diri dari hadangan Likuun.
Permainan itu berjalan terus, selama hampir satu jam, semakin lama semakin cepat dan seru, sampai Likuun akhirnya kehabisan napas. Ia limbung sempoyongan, lalu jatuh terduduk dalam lingkaran sambil bersimbah keringat.
Wander mendekat karena kasihan, tapi rupanya Likuun punya rencana lain. Dengan sergapan tercepat yang bisa ia lakukan, ia mencoba menangkap anaknya yang hanya beberapa senti dekatnya! Akan tetapi tangannya hanya menyambar udara kosong.
Tepat saat itu, ia merasa pundaknya terasa berat sesaat, sebelum ia menyadari bahwa Wander sudah bertolak menggunakan bahu kanannya untuk menghindar dari serangannya!
Ketika ia bisa melihatnya lagi, anaknya sudah berdiri dengan tenang dalam lingkaran kecil lagi. Ia bahkan tidak melihat gerakan anaknya tadi.
Namun Likuun sudah demikian gusar sehingga ia kembali menubruk ke dalam lingkaran!
Setengah jam kemudian, Likuun hanya bisa terduduk. Bajunya kuyub oleh keringat dan jantungnya berdebar-debar bagaikan tambur kuningan, kakinya bagaikan lilin meleleh sekaligus besi berat.
Anaknya kini duduk di hadapannya sambil tersenyum.
"Saya rasa sudah cukup, Tuan Likuun," Kurt berkata, lalu mengulurkan tangannya membantu Likuun berdiri.
Setelah berdiri dan minum teh dengan penuh rasa terima kasih, Likuun baru tertegun melihat keadaan lingkaran yang telah morat-marit oleh tapak-tapak kakinya. Batas antara kedua lingkaran itu terpotong, terhapus di hampir segala tempat, dan hampir setiap permukaan dalam arena itu dipenuhi jejak kaki dan tepung.
Kurt lalu menyuruh Wander mendekat. Wander melompat ringan dan mendarat di samping gurunya. Kurt lalu berkata, "Duduk, Wuan. Tunjukkan kakimu."
Wander menurut. Betapa kagetnya Likuun ketika melihat telapak kaki anaknya itu begitu bersih. Bagian atas kakinya memang tersentuh tepung, tapi bagian bawahnya begitu bersih! Tidak hanya anaknya bisa menghindarinya dengan memenuhi beban yang ditambahkan kepadanya, tapi juga ia tidak menyentuh jejak kaki Likuun sama sekali!
Ia mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas.
Tapi Kurt mendengarnya, "Ah! Ia tidak sehebat itu. Sebenarnya ia agak tidak seimbang sedikit sampai harus bertolak menggunakan bahumu. Sekalian mengelap sisa kapur di kakinya. Tapi ia sudah lumayan."
Wander tersenyum penuh rasa bersalah.
Likuun segera dikuasai rasa malu yang begitu besar segera setelah ia akhirnya menyimpulkan bahwa Kurt pasti telah mengajarkan putranya sejenis ilmu bela diri. Ia segera berlutut sampai dahinya menyentuh lantai, "Ampun atas kelancangan dan keraguanku, Guru. Maafkan kebodohanku barusan!"