Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 20 - Mehrawti - Kegilaan

Chapter 20 - Mehrawti - Kegilaan

"Tidak ada yang harus dimaafkan. Sudah sepantasnya kamu curiga dan ragu. Lagipula, aku memang tidak mengajarkan Wuan ilmu Rijeen."

Meskipun sangkalan Kurt, Likuun kini malah yakin Kurt hanya merendah.

Likuun terus membungkuk minta maaf, "Setelah begitu kasarnya aku, masihkah mungkin kau mengizinkan Wander berguru denganmu?"

Kurt merasa senang, "Jika aku masih dipercaya olehmu dan Wuan, tentu aku akan menerima."

Setelah bersih-bersih, Likuun akhirnya bertanya pada Kurt dengan kagumnya, "Begitu hebat! Begitu luar biasa! Bagaimana bisa ia bergerak begitu cepat?" Ia mengelus-elus kepala anaknya dengan begitu bangga.

Kurt tidak langsung menjawabnya. Ia malah bertanya pada Wander, "Wuan, bisakah kamu melafalkan mengenai Tiga Taman?"

"Baik, Guru. Ada tiga Taman Langit di dalam tubuh manusia. Taman Jiwa, Taman Semesta, dan Taman Perbuatan. Taman perlu diberi air dan kesuburan. Menyuburkan dan menanami jiwa, seseorang harus melatih tubuh dan pikirannya. Untuk menghargai keindahan alam dan perasaan, kita harus menumbuhkan kasih sayang dan simpati. Menyuburkan dan menanami Semesta, kita membangun energi dan semangat dalam hati. Dari Pusat Khici sampai ke seluruh tubuh, dari simpul jantung, hati, ulu hati, seluruh pembuluh darah dan limpa. Dari ujung kepala sampai kaki. Kembangkan tenaga sampai menjadi satu dengan kekosongan, Semesta, dan Energi bersisi dua: Yin dan Yang. Mengairi adalah berlatih, dan melatih semangat adalah tengan kesabaran dan kerendahan hati. Menanami Taman Perbuatan artinya membangun disiplin dan kebaikan, mencabut akar kemalasan dan niat buruk, memupuk kebenaran dan moralitas. Ketiga Taman, Empat Unsur. Empat unsur jiwa: perasaan, pikiran, tubuh, dan roh. Empat unsur alam: Udara adalah napas, tanah adalah zat gizi dan makanan, Air adalah darah dan aliran, sedangkan Api adalah hawa panas dan dingin, semua membentuk dasar dari Khici. Bangun dan bentuk unsur jiwa dan unsur alam menjadi satu. Ketika jiwamu memiliki semangat, kamu akan menjadi satu dengan napas, napas dengan jiwa, jiwa dengan tubuh. Kamu akan jadi secepat angin dan api, setenang air dan bumi, sekuat Pohon Langit yang menaungi semesta."

Kurt tertawa, "Bagus, Wuan. Nah, itulah sebab kenapa kamu tidak bisa menangkap anak ini. Ia telah memurnikan dirinya terus dalam jalan Khici. Dengan ini, ia bisa secepat angin dan api."

Likuun terperangah. Ia bahkan tidak memahami bahkan dua kalimat saja dari puisi yang menjadi landasan latihan Rijeen misterius itu.

Ketika Likuun sudah pergi, Wander bertanya pada Gurunya, "Guru, kenapa engkau tidak pernah mengajarkanku Rijeen milik Guru?"

Kurt pernah mengatakan kepadanya bahwa apa yang ia ajarkan kepadanya hanyalah dasar-dasar dari ilmu bela diri. Ia tidak mengajarkannya jurus, teknik, langkah-langkah, maupun aplikasi Khici tingkat lanjutan. Untuk dasar-dasar gerakan ia hanya mengajarkan tarian, dan memberdayakan Khici, ia hanya mengajarkan teknik pernapasan.

Kurt terdiam sesaat. Wajahnya mendadak mendung, seakan sedang bergulat dalam kegelapan.

"Rijeen-ku ternoda dengan Kematian. Aku selalu diajarkan sejak kecil bahwa tidak ada kasih sayang atau belas kasihan saat pertarungan dimulai. Hanya ada hidup atau mati. Membunuh atau dibunuh. Ketika aku muda, saat itu sedang berlangsung Perang Pembalasan dan Masa Kemunduran. Untuk bisa bertahan hidup hari ini, artinya aku harus membunuh yang lainnya. Kekeringan, kelaparan, keserakahan, kebencian, semua berhulu pada Merhwa'ti - Kegilaan manusia. Tanganku bernoda darah, dan ilmu bela diriku menjadi ilmu pencabut nyawa. Geraknya menjadi semakin murni tapi keji, indah tapi mematikan. Aku tak akan pernah mengajarkanmu ilmu bela diriku, karena noda kegelapan itu akan meresap ke dalam bahkan dari gerakan terkecil sekalipun."

Merhwa adalah konsep yang berkembang pesat di Telentium Selatan dan awalnya berasal dari Suku Selatan. Meski harfiahnya berarti Kegilaan, namun itu tidak mengacu pada keadaan sakit jiwa atau hilang ingatan, melainkan pada semua manusia.

Konon semua manusia melihat sesuatu berdasarkan kacamata hasrat dan ketakutan, serta pandangan mereka yang tidak memahami hakikat alam semesta. Hasrat, ketakutan, kesalahpahaman, dan ilusi manusia yang menyebabkannya tidak dapat menerima kenyataan dan alam disebut dengan kegilaan atau merhwa'ti atau Kegilaan karena tiga hal tadi.

"T-tapi… Aku ingin belajar Rijeen...."

"Jangan khawatir, Wuan. Kamu akan mempelajari ilmu bela diri. Tapi bukan dariku. Kamu akan mempelajarinya dari Guru Sejatimu."

"Guru sejatiku?"

"Benar. Hanya ia yang mampu mengajarkan Rijeen yang sesuai dengan impianmu. Rijeen yang bukan untuk membunuh, tapi untuk menjaga dan melindungi kehidupan. Bertarung tidak untuk melukai atau membunuh, tapi cukup tangguh untuk bisa melindungi siapa saja. Bukankah itu tujuanmu menjadi kuat?"

Wander terkesima, sebelum mengangguk perlahan. Di umurnya, tidak ada kata 'Mustahil.' Tapi ia memiliki kecermatan setingkat orang dewasa, "Tapi bagaimana Master tahu aku akan bertemu dengan Guru Sejatiku?"

"Itu pertanyaan yang bagus. Ia sudah berjanji kepadaku. Ia pasti akan datang kalau kamu sudah siap. Sampai saat itu, kamu terpaksa harus berlatih siklus napas, fisik, dan berkebun denganku. Sabarlah, dan biarkan nasib mengalir dengan alami, dan kamu akan melihat permadani kehidupan yang indah. Jangan tergesa, karena jika kamu tergesa, segala latihan dan fondasimu yang rapi akan kusut seperti sulaman yang tidak ahli. Membetulkannya akan makan waktu seumur hidup."

Wander percaya penuh dengan Gurunya, "Aku akan menunggu, Master."

"Bagus. Mulai sekarang, menu latihanmu ditambah. Kamu harus berlari keliling kota setiap pagi. Dua puluh kilometer untuk permulaan tidak akan berat bagimu sekarang."

Ia menghiraukan wajah terkejut Wander. Memang sejak para pelayan kembali, porsi pekerjaan rumah Wander menyusut dan ia lebih banyak berlatih atau berkebun. Tapi tak pernah ia keluar rumah, "Hari ini kita akan belajar mengenai bagaimana merawat bunga Bulan Biru. Jadi kita harus..."

Kaget Wander hilang, dan seperti anak ayam mengikuti induknya, Wander mengekori Gurunya sambil berusaha memperhatikan setiap kata-katanya. Wajahnya kembali ceria seperti mentari pagi, sejenak lupa akan keresahannya.