Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 21 - Tembok Putih

Chapter 21 - Tembok Putih

Jika ada hari baik, maka akan ada hari buruk. Wander tahu tentang fakta hidup ini sejak ia bisa mengingat. Bukannya ia seorang pesimis, tetapi kenyataan semata-mata selalu mengingatkannya akan pelajaran hidup ini.

Ia telah berhasil menghindari mereka selama ini. Tapi seperti pelajaran dan latihan hariannya, ia juga tahu bahwa ia pasti harus menghadapi mereka cepat atau lambat: anak-anak yang menyiksanya.

Berita bahwa ia sudah berguru pada Pengejar Mimpi yang diakui secara aklamasi terhebat dan tersakti di kota itu telah menyulut bara api kecemburuan. Empat bulan pertama, Kurt selalu menolak tamu dan tidak pernah keluar, jadi berita mengenai Wander tersimpan rapi. Tapi ketika para pelayan kembali, tamu-tamu juga bermunculan, dan segera gosip dan berita beredar dan seluruh kota terbangun dan menyadari bahwa Kurt sekarang punya murid... dan ia tidak menginginkan murid lainnya lagi.

Para pedagang kaya dan orang berpengaruh, bahkan pejabat pemerintah dan bangsawan-bangsawan datang berbondong-bondong untuk menawarkan anak mereka, hanya untuk ditolak Kurt habis-habisan.

"Siapa yang peduli kalau aku menjilat ludah sendiri? Aku sudah melanggar tekadku sekali. Memangnya kenapa kalau aku mau menyimpan abu kata-kataku? Aku tidak menginginkan murid lagi. Enyah dari rumahku!"

Mungkin itulah bentuk penolakannya yang paling sopan, dan beberapa jauh lebih kasar lagi menanggapi permohonan tiada henti yang telah menghabiskan waktu berkebunnya. Tapi anehnya, tidak seorangpun melakukan apa pun terhadapnya. Kurt tampak tidak mempan dengan segala ancaman (meski tiada seorangpun yang berani mengancamnya), dan segera semua orang harus hidup dengan keputusannya.

Semua orang kecuali musuh Wander. Ketika Wander disuruh latihan lari di luar rumah, ia sudah mulai khawatir akan dihadang. Ternyata bena. Baru satu minggu berlari keliling kota, anak-anak itu sudah berhasil mengetahui rute latihannya (ia selalu memilih jalan yang paling tidak ramai) dan mereka selalu menghadangnya. Tetapi ia selalu menghindar dengan kecepatannya. Anak-anak itu mengejarnya sampai ia bisa meninggalkan mereka dan kembali ke rumah Gurunya. Sejak itu ia selalu mengganti rute larinya. Tapi musuh-musuhnya lebih cerdik.

Mereka menunggu ia keluar setiap pagi dari depan rumah Gurunya dan langsung mengejarnya, tapi ia selalu bisa menghindari mereka, berlari sesuai kewajibannya lalu kembali dengan melompati sebuah atap rumah di dekat sana sampai ke tembok, sebuah gerakan yang membuatnya dimarahi habis-habisan oleh para pelayan.

Tapi anak-anak itu jauh dari menyerah. Seperti kata pepatah: "Jika kamu tidak bisa mengejar tikus, kamu harus memancingnya." Suatu hari mereka mengirimkan surat ke Wander.

Nalia ada di tangan kami. Lebih baik datang segera. Ke Tembok Putih.

Wander tidak memberitahu Gurunya atau siapapun. Ia datang ke tempat di mana ia dahulu begitu sering disiksa hingga berdarah-darah: jalan buntu sepi berdinding putih.

Anak ketiga saudagar Aduyuki: Diorin dan anak kedua saudagar Mondagal: Kisin beserta tujuh anak-anak lainnya dari saudagar-saudagar lainnya telah menunggunya.

Mereka mengepungnya. Ia melihat Nalia di sana, terikat erat dengan tali. Wander melihat gadis itu tidak menangis, dan tampaknya ia baik-baik saja.

Wander merasa lega, "Aku datang. Lepaskan ia."

Sebagian dari anak-anak itu membawa tongkat sebagai senjata. Mereka begitu serius, sudah tahu bagaimana sulitnya menangkap Wander. Jadi mereka mengepungnya dengan rapat, tampaknya tidak ada jalan keluar baginya untuk kabur.

Diorin berkata, "Kamu tahu apa salahmu, anak sampah?"

Wander menatapnya lekat-lekat. Ia merasakan kemarahan dan kebencian naik dari dadanya bagaikan bara.

"Kamu itu hanya bajingan kotor! Pencuri kecil! Tipuan macam apa yang kamu lakukan sampai kau bisa mencairkan hati Master Kurt? Apa kau menjilat sepatunya? Atau menjual ibumu?"

"Kamu bicara seperti ayahmu. Konon pedagang besar, tetapi sebenarnya maling besar dan penipu pajak," Wander membalas.

Wajah Diorin langsung merah, lalu hitam bagaikan anggur busuk. "Habisi dia!"

Wander sudah menghimpun seluruh Chi-nya. Tenaga Chi-nya adalah teman, sekutu, dan bagian dari jiwanya, kata Gurunya. Ia terlatih untuk selalu siap sedia menggunakan dan memahami sensasi Chi-nya.

Aneh, ia tidak merasa takut sama sekali. Segalanya begitu berbeda, ketimbang dengan ia yang dahulu. Kemarahan, kebencian, dan ketakberdayaan itu masih ada di sana, tapi entah mengapa mereka terlihat begitu jauh dan terpisah dari dirinya. Ia terbungkus dalam energi, yang ia kumpulkan ke kedua tungkainya.

Tidak satupun kayu dan tongkat yang mengenainya. Wander terlampau cepat bagi mereka. Ia mengelak, menepis, dan menangkis semua serangan dengan begitu mulus. Ia bahkan bisa menyusup menembus kepungan, sampai mereka saling memukul teman mereka sendiri.

Segera kumpulan anak-anak itu kacau. Wander menerjang ke arah Diorin dan Kisin yang masih belum ikut mengepungnya. Melihat korban mereka sekarang justru malah berbalik mengejar mereka, Kisin melarikan diri sementara Diorin malah terpaku ketika Wander hanya melewatinya dan menyambar Nalia.

Ia berlari balik sambil membebaskan gadis bisu itu, "Cepat lari! Sekarang!"

Nalia berlari dan Wander terus menyuruhnya lari. Ia masih melihat gadis itu sampai ia berhasil lolos, ketika saat lengah itu tiba, dan ia dipukuli setengah lusin tongkat, bahkan batu! Lututnya tertekuk karena rasa sakit yang bertubi-tubi.

"Jatuhkan! Habisi dia!"

Lebih banyak batu dan tongkat menghantam tubuh dan kepalanya. Ia mencoba mengelak ke kiri dengan berguling. Sejenak itu bisa menghindarkannya dari serangan, saat itu amarahnya tersulut begitu hebat. Ia sekarang menerjang ke arah anak-anak itu, terbakar dalam kemurkaan. Setengah dari mereka ia jotos dan tampar dalam waktu kurang dari empat kedipan mata. Ia menampar satu lagi, lalu menghindari serangan yang datang dari sebelah kanan, lalu memukul penyerangnya tadi tepat di belakang lututnya sampai jatuh, lalu ia bertolak di punggung anak tadi untuk menendang penyerang berikutnya.

Ia bertarung bagaikan singa, dan semua anak-anak sekarang melawan balik tapi dengan begitu takut karena jumlah mereka perlahan berkurang satu demi satu. Banyak yang dihantam Wander sampai tidak bisa bangun. Sekarang Wander berpaling menghadap Diorin yang mengkeret sambil menempel di tembok. Ia melompat ke arah bocah yang ketakutan itu dan merenggut leher bajunya.

Ia hanya bisa melihat warna putih bola mata musuhnya. Diorin ketakutan setengah mati pada Wander saat itu.

"Diorin, Lepaskan dia!" Suara Kisin yang marah terdengar mendekat. Wander berbalik dan tepat melihat Kisin menerjangnya dengan kepalan, namun mendadak musuhnya itu terpeleset dan mulai terlempar ke arah dinding dengan kencang sekali. Gerakannya tidak bisa ia kendalikan.

"W-waa…."

Wander menerjang ke kanan, ke arah Kisin yang tengah melaju ke tembok. Ia menempatkan dirinya antara Kisin dan tembok itu. Tepat saat kepala Kisin menghantam dadanya ia menghantam tembok di sampingnya dengan telapaknya.

Suara ledakan besar diikuti bunyi sesuatu yang rengkah menggema di telinga anak-anak itu.

Mereka tidak bisa memercayai apa yang mereka lihat.

Kisin berhenti juga, dan kepalanya tepat menghantam dada Wander. Anak itu tampak pusing sementara Wander merasa dadanya bagaikan baru dihantam godam. Ia hampir tidak bisa bernapas, tapi ia agak lega melihat Kisin tidak apa-apa.

Ia memaksa dirinya berdiri dan bersiap untuk bertarung kembali.

Matanya membentur wajah-wajah pucat dan takluk anak-anak itu. Mereka semua seperti patung hidup, dan sebagian masih bergeletakan di tanah, meski beberapa telah mencoba berdiri, sementara

Diorin terhenyak di dinding, menatapnya dan sesuatu di sampingnya.

Wander menyempatkan dirinya melirik sisinya, dan setelah ia melihatnya, ia melarikan diri dengan begitu cepat. Kali ini tidak ada seorangpun yang menghentikannya.

Kisin yang telah terbebas dari ketakutan dan pusingnya berteriak marah, "K-kejar ia bodoh! Mengapa kalian …" Ia berhenti ketika melihat apa yang anak-anak lain lihat.

Sebuah cap tangan sempurna telah melesak empat senti ke dalam tembok itu. Cap tangan itu lengkap dengan rengkahan yang menyebar di sekitarnya bagaikan akar-akar atau lekukan petir. Debu dan rengkahan-rengkahan mungil perlahan jatuh dari dinding seperti uap salju ke tanah.

Jika ada yang menyatakan bahwa tembok itu bisa runtuh sewaktu-waktu, orang akan percaya.

"Bagaimana… mungkin…."

"Demi Divara! Ia dari tadi bisa membunuh kita semua...."

Kisin hanya terdiam. Menatap tembok itu hanya satu hal yang terekam dalam benaknya: Wander yang melakukannya. Sementara yang lain dengan jelas melihat Wander menyelamatkan Kisin sebelum kepalanya menghantam tembok duluan.

Sejak saat itu tidak ada lagi yang mengganggu Wander.

Umari'l Waya - Cerita Tambahan

Di pangkuan Kurt, Wander gemetar dan menangis.

"Kebencianku… begitu kuat, Guru… Kekuatanku… Aku tidak bisa… Aku hampir ingin membunuh mereka…"

"Tapi kamu tidak melakukannya. Dan itu yang paling penting."

"Tapi… Aku takut… Jika mereka menantangku lagi… Aku…"

Kurt tidak menjawabnya. Ia begitu bangga dengan Wander tapi ia tidak bisa mengatakannya. Terlalu berbahaya jika muridnya jadi besar kepala, dan ia diam-diam berterima kasih pada anak-anak yang telah memberikan muridnya pelajaran yang begitu berharga.

Ia sangat yakin bahwa anak-anak itu tidak akan mengerjai Wander lagi, dalam mimpi mereka sekalipun.

Ketika ia memeriksa tempat kejadian itu bersama Wander, Kurt tidak bisa menahan rasa takjubnya. Ia mengelus retakan dan lesakan berbentuk tapak tangan di dinding yang retak itu.

Wander melihat gambar tapak tangan itu dengan tidak percaya. Ia melihat tangannya yang dibalut dengan perasaan campur baur.

"Kamu tidak akan menggunakan Kekuatanmu lagi di luar Wisma, kecuali di bawah pengawasanku."

"Wuan tidak akan lagi, Guru."

"Bagus. Sekarang marilah kita tuntaskan kerusakan yang kau perbuat."

Perlu seratus keping emas untuk membayar kerusakan pada pemilik dinding dan rumah di baliknya. Tapi Kurt dengan senang hati membayarnya, karena jumlah itu terlalu kecil dibandingkan nilai dari pelajaran itu.

Insiden itu meninggalkan kesan yang dalam di hati Wander. Ia terbebas dari rasa takut dan jerih terhadap anak-anak yang menyiksanya. Ia telah terbebas dari masa lalunya yang gelap, tapi ia jadi tahu bahwa ia belum bisa mengontrol kekuatannya.

Sejak saat itu ia berlatih makin giat dan bersemangat… untuk menguasai dirinya dan kekuatannya.