Satu tahun dan dua bulan sudah berlalu sejak Wander berguru pada Kurt.
Hari itu, Wander baru saja kembali ke rumah Gurunya setelah lari paginya. Wajah anak itu tampak dipenuhi kegembiraan dan penantian. Hari ini, Gurunya tepat berumur 60 tahun. Semua pegawai dan pelayan diam-diam sudah mempersiapkan sebuah pesta ulang tahun yang meriah. Bahkan keluarga Wander pun diundang diam-diam.
Wander melewati gerbang yang segera dibuka Pel, anak Eledia dan Nom, suami-istri pelayan rumah itu. Pel sebenarnya 3 tahun lebih tua dari Wander, tapi ia selalu memperlakukan Wander seperti teman sebayanya. Pel membawa Wander ke dapur, di mana semua orang sedang sibuk.
Orang tua Pel sedang memasak. Sedangkan pelayan kepala, juga yang tertua, Azuna sedang memberikan perintah pada Milta, Neghim, Isku, dan Millin membuat dekorasi hias. Ketika pelayan yang tegas ini melihat Wander, anak itu segera diperbantukan untuk membuat bunga hias dari kertas. Pelayan lainnya yang telah berkeluarga seperti Masel, dan Wikail sedang berbelanja. Sisanya adalah pelayan rumah seperti Ben, Sterik, dan Penpiri yang sedang membersihkan rumah seperti biasa.
Mereka bekerja ekstra keras, berusaha mempersiapkan perayaan itu. Sambil bekerja, untuk menghilangkan kebosanan mereka saling mengobrol.
Para pelayan dan pembantu akan bergantian membicarakan sebuah topik dan semua orang harus memberikan komentar. Jika masalah mulai hangat komentar itu bisa berketerusan. Cara mereka mengobrol ini cukup aneh tapi menyenangkan, dan mereka bisa membahas banyak topik sambil mengetahui pendapat semua orang pada saat yang sama, tidak seorangpun yang tertinggal.
Ada juga banyak debat serius, tapi tak pernah berlangsung lama. Mereka semua mengetahui bahwa kesenangan mengobrol tidak sebanding dengan beradu pendapat sampai menang atau kalah. Hari itu, Wander sekali lagi mendapat gilirannya mengutarakan topik. Ia selalu merasa canggung, karena ia tidak bisa memikirkan topik yang bagus atau seru. Tapi hari ini ia baru mendengar sesuatu yang menarik, "Di jalan tadi aku dengar anak-anak kecil mulai menyanyikan lagu baru."
Semua mendengarkannya dengan serius. Lagu anak-anak dipercaya mengandung sebuah kebenaran misterius langsung dari Divara Agung, Pencipta Dunia, Ibu dari semua kehidupan. Kehendak dari Ibu Agung ini biasanya sampai ke lidah anak-anak yang masih polos melalui nyanyian mereka yang mengandung kekuatan kebijaksanaan, bahkan dan kadang meramalkan kejadian yang akan datang.
Milta segera bertanya, diikuti yang lain, "Ayo nyanyikan."
Wander segera menyanyikannya dengan keras dan bebas. Ia juga masih berjiwa anak kecil.
"Yang pertama kurus tapi seperti semak berduri
Yang kedua sahabat kasur dan obat
Yang ketiga pemalu dan pendiam
Siapa yang akan duduk di atas daun emas?"
Wander lalu bertanya setelah selesai, "Apa artinya?"
Diskusi yang timbul di luar dugaannya sama sekali. Pendapat membanjir deras dengan penuh semangat, membuat Wander kebingungan.
"Keluarga Kerajaan."
"Tepat betul."
"Aku selalu heran bagaimana mereka bisa menyanyikan sesuatu seperti ini…."
"Seseorang pasti mengajarkan lagu ini diam-diam ke anak-anak …."
Para skeptis punya teori mengenai lagu anak-anak ini. Anak-anak yang sering mendengar orang tua mereka berbicara tentang suatu masalah. Biasanya mereka menangkap kata-kata yang paling menarik atau hal yang paling berkesan dan mengubahnya jadi lagu ketika mereka bermain bersama anak-anak lain tanpa menyadari apakah lagu yang mereka nyanyikan itu mengandung sesuatu yang penting atau tidak.
"Sudah lama sejak ada lagu-lagu lagi tentang Keluarga Kerajaan."
"Keluarga Kerajaan? Maksudnya Raja dan Ratu?" Wande bertanya dengan bingung.
"Bukan. Ini mengenai tiga pangeran."
"Benar. Pangeran Pertama begitu mahir berperang, kuat dan ditakuti musuh-musuhnya. Jadi ia seperti semak berduri. Pangeran Kedua sebaliknya seorang pesakitan dan sering berada di atas tempat tidur."
"Jadi kasur dan obat-obatan adalah kawannya."
Wander merasakan simpati mendalam pada Pangeran Kedua. Ia tahu betapa menderitanya penyakit yang harus memaksa seseorang tinggal di atas tempat tidur terus-terusan.
"Pangeran Ketiga terlalu pendiam dan pemalu. Katanya Selir Pertama terlalu memanjakannya."
"Aku dengarnya malah kelihatannya beliau terlalu melindungi Pangeran."
"Lalu bagaimana dengan bagian yang ada daun emasnya?" Wander bertanya kembali.
"Itu artinya Takhta Kerajaan."
"Kenapa daun emas?"
"Karena takhta diukir membentuk sebuah pohon besar dengan tumpukan daun emas di bawahnya sebagai singgasana dan di atasnya seperti layaknya pohon dan rerimbunan daun yang menaunginya."
Wander begitu takjub saat menghayati khayalannya mengenai wujud singgasana. Ia bertanya kemudian dengan polosnya, "Lalu siapa yang akan menduduki takhta daun emas?"
Jauh dari harapannya, mendadak semua pelayan mendadak diam. Keceriaan mereka, kecuali Pel, mendadak raib bagaikan ditelan kegelapan, dan Wander merasa sepertinya ia baru menghancurkan topik itu.
Azuna menatap Wander dan tersenyum, "Tentu saja yang akan menduduki takhta berikutnya adalah Pangeran Pertama, sang Putra Mahkota. Sudah jadi tradisi bahwa putra yang tertua yang akan menduduki takhta sebelum yang lainnya, seperti biasa dan selamanya, semoga Divara selalu memberkahi Raja dan keluarganya."
Yang lainnya dengan cepat setuju dengan pelayan kepala itu. Akan tetapi, Wander merasa bahwa sesuatu sedang disembunyikan darinya. Tapi ia tidak punya waktu lagi untuk menanyakan hal itu karena sudah saatnya berlatih dengan Gurunya.
Latihan itu berjalan seperti biasanya. Karena Wander telah menguasai tarian Fudera, lalu tarian keduanya: Eridu, atau tarian Peri Air, ia telah melanjutkan ke tarian berikutnya: Tupak atau Tarian Badai Mimpi. Setiap berlatih sekarang, ia harus melakukan gerakan tarian dari Fudera, Eridu, sampai Tupak secara beruntun. Semakin ia mempelajari sifat-sifat ketiga tarian yang sangat berbeda itu: dari yang tenang, dinamis, sampai gerakan tiba-tiba dan mengejut, semakin ia mengetahui batas-batas kemampuan fisiknya. Ia belajar bagaimana setiap otot, sendi, dan tulangnya bekerja untuk membuat sebuah gerakan. Ia mempelajari bagaimana cara bergerak yang anggun, yang lambat, yang penuh tenaga, yang berat, ringan, atau penuh keheningan. Dari tarikan napas, ekspresi wajah, mata, sampai ke denyut jantung. Semuanya mendukung latihan tenaga dan batinnya. Tapi kesenangan utama dari latihan itu bukan hanya di sana.
Inti latihan yang Wander sukai adalah penjelasan Kurt mengenai arti dan cerita di balik tarian itu.
Setiap hari, Gurunya akan menyoroti sebuah bagian gerakan tertentu dan memberikan sebuah cerita bagaimana gerakan itu bisa timbul. Tarian dan gerakan Wander semakin berkembang setiap kali ia mencoba menghayati emosi, pikiran, imajinasi, dan cerita legenda tarian itu hingga ia terserap menjadi satu dalam penghayatan dan jiwa tarian itu.
Wander sedang melakukan bagian dari kisah naga dalam Tupak. Ia merangkak dengan dua tangan dan kaki menapak tanah, mencoba terlihat berwibawa. Tapi penghayatannya mengenai sifat naga itu masih belum begitu jelas dan merangkak seperti itu terasa konyol. Ketika ia pertama kali melihat Gurunya melakukan Tarian yang begitu ekstrem ini, ia dipaksa menutup mulutnya takut menertawakan Gurunya, tapi beberapa saat kemudian ia sudah terpukau melihat sosok naga dan keganasan binatang ajaib itu dari wibawa gerakan Gurunya.
Ia meraung dan mencakar, gerakan yang luar biasa lamban dan rumit. Sementara Gurunya menontonnya sesaat sebelum berguncang-guncang. Konsentrasi Wander pecah dan ia tersuruk saat ia mendengar Gurunya ketawa begitu keras, bahkan sampai menepuk-nepuk tanah melihatnya.
"K-kejamnya, Guru," Wander berdiri dengan penuh malu.
"Maaf. Maaf. Tapi kamu betul-betul seperti ular naga yang beringas," Kurt menggodanya, sebelum ia tertawa lagi. Wander juga ikut tertawa menyadari kekonyolan gerakannya.
Wander mengeluh, "Aku masih belum mengerti soal naga ini." Ia lalu mengatakan pendapatnya dengan semangat meluap-luap. Menurutnya naga itu begini dan begitu. Sementara Kurt melihat muridnya dan agak bengong sesaat. Muridnya ini tidak pernah mengeluh, selalu serius sekali dalam latihan. Ia selalu mencintai setiap pelajaran yang diberikan padanya, termasuk gerakan bodoh-bodoh dalam seperti tarian Tupak.
"Apa pendapat, Guru?" Kurt tersentak mendengar pertanyaan muridnya itu. Ia tersenyum dengan tidak enak, "Eh…"
"Guru tidak mendengarkan lagi!" Wander meledeknya.
"Hahahaha…. Maaf. Maaf. Bagaimana kalau hari ini kita cukupkan di sini dulu? Aku merasa lebih tua, hari ini," Ia berkedip nakal.
"Bagaimana persiapan pesta kejutannya?" Kurt yang telah mengetahui segalanya mencoba mengalihkan pembicaraan.