Ring.. Ringg.. Ringgg.. Terdengar suara yang samar-samar saat aku berusaha membuka mataku. Suara yang makin jelas terdengar itu semakin membuatku kesal dan mau tidak mau aku harus segera mematikan suara itu. Tanganku mencoba menelusuri area kasurku untuk mencari darimana suara itu berasal. Saat kulihat itu adalah bunyi panggilan dari Jenifer, dengan malas aku berusaha untuk menjawab panggilannya.
"Mmm.. Kenapa kamu meneleponku sepagi ini." Dengan pikiran yang masi belum sadar sepenuhnya, aku mencoba untuk tetap mendengar apa yang akan dibicarakan Jenifer.
"Oh My God!!.. Kamu baru bangun tidur?? Are you crazy??!! Hari ini kamu akan meeting untuk presentasi hasil karyamu bukan??" Saat kudengar suara jeritan Jenifer, itu membuat aku sadar bahwa diriku benar-benar lupa akan hal ini. Bagaimana aku bisa lupa hal yang sangat penting untuk masa depanku nanti. Saat kulihat jam yang ada di Handphoneku, 7.06 AM, Oh Shit!! Aku telat. Dengan buru-buru, aku benar-benar mandi secepat-cepatnya, memakai bedak ala kadarnya dan dengan cepat mengambil file dan kertas yang akan aku tunjukan untuk presentasi nanti.
Aku berlari menuju Train Station yang tidak jauh dari apartemen yang sedang kutinggali. Biasanya aku pergi ke kantor dengan diantar dan dijemput oleh Jenifer, jika suatu hari Jenifer tidak bisa menjemput, aku akan pergi ke kantor menggunakan taksi. Tapi khusus hari ini, aku tidak akan dijemput oleh Jenifer karena dia sudah duluan berada di kantor dan jika aku menggunakan taksi, tidak akan bisa sampai di kantor dengan tepat waktu. Pada sekitaran jam 7 keatas jalanan kota di Upper East Side sudah sangat macet. Terakhir kali saat menaiki kereta bawah tanah aku mengalami pengalaman yang sangat tidak menyenangkan, saat itu juga aku berusaha untuk tidak menaiki kereta bawah tanah lagi. Untuk hari ini, aku tidak ada pilihan lain jika harus menaiki kereta bawah tanah, jika aku menaiki taksi, aku pasti akan telat sampai ke kantor dan akan membuat rekan-rekan saya kecewa apalagi jika aku telat di hari sangat penting ini.
Dengan cepat aku membeli tiket untuk menuju Lenox Hill. Saat kulihat jam-tanganku, pukul 7.40, ada sedikit rasa lega saat kulihat tepat waktu untuk mengejar jadwal keretanya. Waktu yang dibutuhkan dari Upper East Side ke Lenox Hill hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit jika menaiki kereta bawah tanah. Setelah sampai di Lenox Hill, akupun bergegas untuk jalan menuju kantor yang terletak tak jauh dari Train Station.
"Kay, sudah aku tungguin kamu daritadi. Kamu lama banget. Untung aja kamu tidak telat. Kamu tau kan hari ini penting banget buat kami, buat kita dan tentu saja buat kamu." Saat aku mulai duduk dikursi kerjaku, Jenifer langsung menghampiriku dan langsung ceramah panjang lebar. Tentu saja kadang aku agak kesal dengan sikapnya yang seperti itu, tapi dibalik sikapnya itu, Jenifer benar-benar tipe orang yang sangat menghargai dan menyayangi orang yang ada disekitarnya.
"Okay Okay.. Yang penting aku tidak telat bukan? Masih ada waktu 10 menit sampai meetingnya dimulai. Relax okay?" Aku berusaha menenangkan sahabatku satu-satunya yang sudah kelewat panik daritadi pagi.
"Kamu bawa semua filenya bukan? Tidak ada yang ketinggalan kan? Kamu sudah persiapkan dengan baik kan apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Udah Jeni, don't worry about it, everything's fine." Setelah mendengar kata-kataku, Jenifer sudah mulai diam dan mengangguk sambil tersenyum kecil.
Aku dan Jenifer setelah lulus dari Senior High School, kami berpisah untuk melanjutkan ke University. Jenifer menggambil jurusan yang dapat membuat dia dapat menjadi publik figure kedepannya. Dan aku sendiri, aku mengambil Design Mode sebagai langkah awal untuk memulai impianku. Dan hingga saat ini aku dan Jenifer bekerja sebagai satu tim untuk mewujudkan impian kami masing-masing. Jenifer berkerja sebagai model fashion.
Dengan fisik Jenifer yang sekarang, dia memang tambah cantik dan sexy dibandingkan dengan dirinya yang dulu. Walaupun saat masa sekolah Jenifer memang sudah sangat cantik, Jenifer yang sekarang lebih cantik lagi ketimbang yang dulu. Rambut pirangnya yang bergelombang, tinggi yang mencapai 170cm dan warna kulitnya yang kecoklatan menambah kesan sexy pada dirinya. Jenifer-lah yang menyarankan agar kami berkerja sama menjadi sebuah tim. Dengan dirinya yang menjadi model, aku yang menjadi perancang busananya, dan Sally yang bekerja sebagai makeup artistnya Jenifer dan asisten untuk membantuku saat membuat baju. Dan sampai hari ini sudah ada penghasilan yang sangat amat cukup dari kerja keras yang kami lakukan bersama-sama. Dari penghasilan oderan pakaian dibeberapa kota seperti Los Angeles maupun Miami, tidak semua pendapatannya dibagi rata untuk 3 orang. Melainkan masing-masing dari kami hanya menerima sekitaran 20% dari hasil penjualan.
Kantor kami dipimpin oleh Madam Clark, dialah yang membantu proses pemotretan, periklanan, maupun penjualan. Tentu saja jika dialah yang wajib mendapatkan pendapatan lebih tinggi dibandingkan kami karena dialah yang bertanggung jawab akan semua hal itu. Walaupun karena hal itu, aku sendiri juga tidak pernah merasa kurang akan pendapatkan dari penjualan pakaian-pakaian hasil kerja kami. Jadi, suatu hari aku ingin sekali membuka toko Fashion sendiri tanpa naungan orang maupun perusaahan lain.
Hari ini bukan pertama kali aku presentasi untuk mengshare ide baruku. Tetapi, rasa gugup dan takut bahwa ide yang sudah kami pikirkan akan ditolak oleh Madam Clark. Madam selalu tau apa yang menjadi dayatarik dari sebuah pakaian dan dia juga selalu tau apa yang disukai pembeli maupun tidak. Saat aku sedang menyiapkan berkas-berkas untuk ditampilkan, dapat kulihat di belakang sana Jenifer mengatakan 'You can do it!!' dengan mengangkat kedua tangan dan dikepal. Saat melihat tindakannya yang seperti itu aku terhibur sedikit dan rasa percaya diriku kembali bangkit.
Kuhirup udara sedalam-dalamnya sebelum memulai proses perkenalan. Saat kumulai mempresentasikan hasil karya dari tim kami, semua orang yang berada diruangan termasuk Madam Clark mendengarkan dengan seksama.
"Jadi, bagaimana menurut kalian semua? Apakah ada yang kurang atau tidak cocok dengan selera masyarakat?" Saat kutanya pertanyaanku, tiba-tiba Madam Clark bertepuk tangan.
"Seperti yang aku kira, kamu tidak pernah mengecewakan saya Ms. Renna." Seketika ada rasa bahagia saat Madam Clark memujiku.
Setelah keluar dari ruang meeting, Jenifer mengajakku untuk sarapan.
"Kay, ayo kita pergi ke cafe yang baru dibuka di area sini. Sekalian kita akan sarapan bersama Sally."
Aku menggangguk cepat karena memang daritadi perutku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Kami bertiga berjalan sekitar 3 menit untuk sampai diarea cafe tersebut.
Saat kami memasuki dalam cafe itu, aroma kopi yang sangat harum benar-benar membuatku terbuai. Aroma kopi yang khas yang tidak ada di cafe manapun.
"1 Caffe Latte please dan 1 kue coklat ini." Sambil kutunjukkan kue apa yang kuinginkan, kukatakan pada perempuan yang sedang berdiri didepan mesin kasir.
"1 Caffe Latte." Ucap perempuan itu kepada barista lelaki yang tadi sedang menyiapkan pesanan orang lain.
"Oke." Balas lelaki itu cuek, dan saat dia membalikan badannya. OMG!! Tidak pernah aku melihat lelaki seperti dia seumur hidupku. Dia itu benar-benar maskulin, tingginya yang kira-kira lebih tinggi sedikit dari Jenifer, warna kulit yang putih,bibir yang kemerah-merahan, alis hitam yang tebal, dan yang paling cantik darinya adalah, warna bola matanya yang biru. Biru sebiru warna lautan, indah dan cantik.
Selesai lelaki itu membuat pesananku, aku berniat untuk mengambilnya bersamaan dengan kue coklat yang kuingingkan. Tiba-tiba mata kami bertatapan membuatku terkejut dan mematung sejenak. Gila Gila Gila. Dia benar-benar sempurna. Mata birunya yang bertemu dengan mataku membuatku merasa aku sedang ditarik untuk jatuh lebih dalam kedalam tatapannya.
"..Ay.." Bisik dia samar-samar saat aku mencoba untuk mengalih perhatianku.
"What?" Ucapku tanpa mengeluarkan suara. Hal yang kudengar dia mencoba untuk memanggil namaku.
"1 Cappuccino." Tambah perempuan yang tadi berdiri di depan kasir. Saat mendengar pesanan selanjutnya, lelaki itu langsung beralih kepekerjaannya.
Saat kumulai membawa pesananku ke kursi yang ingin kududuki, tanpa sadar kucoba untuk memandang lelaki itu lagi dan mata kami bertemu lagi untuk kedua kalinya.