Chereads / Spark of Love / Chapter 8 - Chapter 7 [Persiapan]

Chapter 8 - Chapter 7 [Persiapan]

Entah ada angin apa pagi ini, Louis tiba-tiba datang ke kamarku dan mengajakku untuk berangkat bekerja bersama. Karena aku tidak bisa menolaknya, kuterima ajakkannya dan segera beritahu Jenifer agar dia tidak perlu menjemputku.

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin berangkat bersama?" Kulihat jalanan kota New York sudah mulai padat.

"Apakah tidak boleh?" Tanyanya ragu.

"Boleh kok.." Dalam pikiranku ada berbagai macam pertanyaan. Apakah dia mengajakku berangkat bersama karena dia menyukaiku atau hanya karena tempat kerja kita berdekatan. Sebenarnya, aku tidak tau apa yang ada dipikirannya. Tidak mungkin jika akulah yang langsung menanyakan dia tertarik padaku atau tidak.

Kurasa aku wanita yang beruntung yang pernah di antar jemput oleh lelaki ini. Kuyakin wanita manapun ingin mereka berada di posisiku dan pasti mereka merasa iri. Jika dia mengantarku, berarti dia tidak dekat dengan wanita mana pun bukan? Kalau pun dia punya wanita, tidak mungkin wanitanya mengizinkannya mengantarku, bahkan pernah menjemputku pulang. Tidak masuk akal jika lelaki seperti Louis belum ada pacar.

Di dalam perjalanan, kami sedikit bercerita tentang pekerjaan kami. Louis bilang, dia menjadi barista karena dia suka dengan harum aroma dari kopi, dan dia sudah mulai menyukai kopi sejak SMA. Aku juga bercerita tentang impianku yang ingin menjadi perancang busana yang sukses dan dia mendukungku. Aku merasa nyaman jika bercerita-cerita dengannya. Dapat kurasakan rasa familiar yang berasal dari Louis. Rasa ini muncul akhir-akhir ini karena mungkin dia sering bertemu denganku. Entahlah, tidak dapat kuungkapkan rasa familiar yang seperti apa jika aku bersamanya. Hanya saja, sangat nyaman.

Setelah aku sampai di depan kantorku, Louis menyuruhku untuk menunggunya.

"Kenapa aku harus menunggumu? Kamu ingin menjemputku pulang lagi?" Tanyaku usil.

"Tentu saja, kalau aku sedikit telat, tunggu aku ya." Langsung aku melihat mobilnya menghilang dari hadapanku. Aku hanya bercanda, apakah dia menganggap serius perkataanku kemarin saat di apartemen?

***

"Kay, oh ya ampun, ya ampun.. Sudah berapa lama kamu sedekat ini dengan Louis?"

"Ha?? Apaan sih.. Dia hanya mengantarku karena arah kami searah." Kutatap Jenifer, dia terlihat bingung.

"Apakah hanya karena itu? Kukira, dia suka padamu." Kata Jenifer meyakinkan.

"Tidak mungkin.. Awalnya kukira begitu. Tapi kalau dipikir-pikir kembali, hal seperti itu tidak akan terjadi."

"Kenapa tidak, kamu cantik, berpendidikan, berbakat, mandiri lagi."

"Kamu terlalu memujiku.. Jika dia benar menyukaiku, dia pasti sudah mengambil langkah pdkt. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda seperti itu."

Saat kami sudah selesai berbincang tentang hal yang tidak begitu penting, kulihat ada pesan yang masuk.

'Kay, siang ini ada waktu tidak?'. SMS ini dari Ryan. Yaampun, apa yang kuinginkan sih? Ingin kulupakan dia, tapi selalu saja datang di waktu yang tidak tepat. Padahal berapa-berapa hari ini dia sudah tidak mengirim SMS. Hanya dengan pesan seperti ini aja jantungku malah berdegup kencang tak karuan.

"Jeni.. Ryan.. Dia mengirim pesan." Aku berbisik pada Jenifer.

"LAGI??" Kali ini suaranya lebih keras dari biasanya dan sedikit rada marah.

Aku mengangguk. "Apakah mau dibalas?"

Jenifer menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Dia tersenyum dan berkata, "Memangnya apa yang dia bilang?" Kutunjukan HP ku padanya.

"Mungkin dia mau menemuimu? Coba saja membalasnya, aku juga ingin tau apa yang ingin dia katakan. Kamu pasti juga ingin membalasnya bukan?" Aku mengangguk lagi dan segera balas pesan dari Ryan.

'Memangnya kenapa?'

'Kalau kamu ada waktu, aku ingin bertemu. Sudah lama kita tidak bertemu bukan?.'

Aku terdiam sebentar. Apa yang ingin dia lakukan sih? Aku bingung.

"Jeni, gimana ini."

"Kamu ingin menemuinya?"

"Aku tidak tahu." Jawabku pasrah.

"Saranku sih, kamu jangan menemuinya. Kita juga tidak tau apa yang akan terjadi nanti. Yang kutakutkan, akan ada paparazi yang terus mengikuti Ryan karena dia ada rumor dengan Cristie."

"Benar juga. Jika sampai ada berita yang aneh-aneh, aku malas akan berhadapan dengan media."

'Maaf, aku ada urusan.' Setelah kukirim pesan, Ryan tidak membalas lagi. Sepertinya dia kecewa. Sebenarnya aku penasaran kenapa ingin bertemu tiba-tiba. Apa memang karena hanya ingin sekedar bertemu atau, ada maksud lain? Ahh... Pusing.. Sudah seharian ini aku terus memikirkan hal aneh-aneh. Ga dari Louis, ga Ryan, mereka sama aja. Gara-gara mereka berdua aku malah tidak fokus dengan pekerjaanku dan malah memikirkan hal yang tidak masuk akal.

"Kay, kamu sudah tentuin mau pakai baju apa di acara ulangtahun papanya Cristie? Ini undangannya." Jeni memberikan undangan yang dipegangnya kepadaku.

"Dari mana kamu dapatkan ini?"

"Ah, tadi Madam Clark datang sebentar hanya untuk memberikan ini. Jadi, sudah kamu tentuin belum mau pake apa."

"Belum sih, kamu sudah tau mau pake baju yang gimana? Kalau kamu sih pasti cocok untuk pakai baju apapun."

"Kamu harus cepat tentuin deh Kay, soalnya, tamu-tamu dari papanya Cristie pasti orang yang hebat-hebat, mana tau nanti ada yang suka sama penampilanmu dan itu bisa jadi salah satu patokan buat nambah penghasilan lainnya. Pokoknya kamu harus terlihat cantik. Titik."

"Kamu yakin kalau hanya mengandalkan penampilan akan ada yang mau beli hasil rancanganku?"

"Eh, jangan salah, kamu itu sudah cantik, cuman harus terlihat menawan dimata masyarakat yang lain. Coba bayangkan, nanti Cristie kenalin kamu ke orang-orang, terus dia bilang gini. 'Ini Kay Renna, perancangan busana dari sesi pemotretanku kemarin.' Nah, kan jadi lebih percaya diri kan kalau kamu lebih mempercantik diri."

"Hmm, iya juga sih.. Tapi aku ga tau mau pake baju apa."

"Bagaimana dengan gaun yang aku berikan tahun lalu? Itu yang kuberikan waktu ulang tahunmu."

"Oh ya, aku bahkan belum pernah memakainya. Masih muat ga ya?"

"Dasar, masa hadiah yang pernah kuberikan belum pernah dipake sekali pun."

"Hehe, maaf deh. Ini aku bakal pakai kok."

***

Louis sudah menungguku di depan pintu kantor. Kulihat dia sedang berdiri di depan mobilnya. Saat dia melihatku keluar, dia mempersilakanku dan membukakan pintu mobil untukku.

"Kamu tidak ada kerjaan lain? Kenapa mau menjemputku?"

"Tidak apa-apa. Hanya ingin." Balasnya sambil tersenyum.

"Apakah tidak merepotkanmu?"

"Kamu ngomong apa sih, ya ga la, kalo kamu merepotkanku, tidak mungkin aku mau mengantarmu pulang." Salah satu tangannya memegang setir mobil, dan satunya lagi tiba-tiba berada di atas kepalaku.