Chereads / Am I Normal? / Chapter 1 - Rasa Sakit

Am I Normal?

🇦🇶Mao_Yuxuan
  • 45
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 345k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Rasa Sakit

Youichi Haruhiko adalah seorang anak SMA pada salah-satu sekolah ternama di Tokyo. Sekarang ia sudah tahun ketiga di sekolah tersebut. Ia seorang yang tampan, tinggi, dan selalu bersemangat di hari-harinya. Tak heran jika banyak wanita yang mengidolakannya dan ingin mejadi kekasihnya, ditambah lagi ia seorang yang aktif pada club sepak bola di sekolahnya, dan sudah banyak berprestasi dalam hal itu. Itulah sebab ia mendapat julukan "prince". Namun, dibalik semua itu, ada hal yang tak satu pun orang ketahui tentangnya, bahwa ia adalah seorang gay.

Ia menyadarinya sejak ia masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia menyadari bahwa ketertarikannya pada seorang wanita itu benar-benar tidak ada. Menurutnya, menjalin hubungan dengan seorang wanita merupakan suatu hal untuk menutupi jati dirinya sebagai seorang gay.

Saat ini, Haru secara diam-diam menyukai seorang pria bernama Takayashi Daiki, yang berada di kelas berbeda dengannya. Walau demikian, orang yang ia sukai sama sekali tidak mengetahui tentang perasaannya.

Haru sudah cukup lama menyukainya, yaitu sejak mereka masih di tahun pertama di sekolah tersebut. Dimana perjumpaan mereka bukanlah suatu hal yang ia rencanakan. Waktu itu, ia pergi untuk menemui temannya di club memanah, dan tanpa sengaja melihat Daiki yang sedang berlatih di club itu. Saat itulah, Haru merasakan debaran di dadanya, yang sama sekali belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia percaya bahwa cinta pertamanya adalah Daiki.

Mulai sejak itu, ia selalu menyempatkan diri untuk menunggu Daiki sehabis latihan agar dapat memandanginya dari kejauhan, dan sialnya, Haru tak pernah sekali pun berbicara dengannya atau bahkan menyatakan perasaannya hampir tiga tahun ini. Ia tak berani. Ya, seorang yang dingin seperti Daiki bukanlah seorang yang mudah untuk didekati. Di samping itu, Haru mempunyai pemikiran bahwa ia merupakan seorang yang straight. Tapi, itu tak mengahalangi Haru untuk mencari tahu tentangnya. Buktinya, walau tak saling berbicara, Haru banyak tahu tentangnya sebab ia selalu memperhatikannya sejak lama. Seperti seorang penguntit. mungkin memang seperti itu.

*****

Sore hari, sepulang dari berlatih di club-nya, seperti biasa, Haru menyempatkan diri untuk melihat Daiki sehabis berlatih memanah. Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, orang yang ditunggu tak kunjung dilihatnya.

"Youichi!" panggil seseorang dari jauh sambil berlari menghampirinya. Haru pun dibuat terkejut oleh suara yang tiba-tiba bergema di telinganya.

"Ah Shino…" kata Haru sambil tersenyum.

Shino adalah teman sekelas Haru. Mereka sudah saling mengenal sejak masih SMP yang juga bergabung pada club memanah seperti Daiki. Haru dan Shino memanglah tak begitu dekat, namun Shino juga merupakan anak yang baik, serta lagi pula dialah orang yang mempertemukannya dengan Daiki waktu itu secara tak sengaja.

"Kau sedang menunggu siapa? Ayo kita pulang" Ajak Shino.

"Mmm…ah…" Haru hanya bisa menggumam. Dalam hati, ia begitu ingin menanyakan keberadaan Daiki. Namun, ia tahu bahwa jika ia menanyakannya, akan menjadi masalah nantinya; akan membuat Shino curiga. Ia takut pada pertanyaan-pertanyaan yang akan Shino lontarkan. Ia tak ingin ada seorang yang tahu tentang jati dirinya yang sebenarnya dan juga perasaannya terhadap Daiki.

"Ada apa?" Tanya Shino dengan heran.

"A-aku lupa sesuatu di lokerku, kau duluan saja" Kata Haru mengalihkan pembicaraan, lalu bergegas pergi.

"Hmm…" Gumam Shino yang masih terheran-heran.

"Baiklah. Aku duluan!" lanjutnya meneriaki Haru yang sudah agak jauh, lalu pergi.

Beberapa saat kemudian, setelah ia benar-benar yakin bahwa Shino sudah pergi, Haru mulai memelankan langkahnya, lalu menghentikannya. Ia termenung. Pikirannya dipenuhi oleh Daiki. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, seolah ingin memukul sesuatu. Ia kesal sebab ia tak menanyakan Daiki pada Shino, tadi. Ia menganggap bahwa dirinya begitu pengecut, dan menyadari bahwa pemikiran-pemikiran buruknya terhadap Shino tadi hanyalah sebatas asumsi belaka. Sekarang, ia malah menyiksa diri sendiri.

"Kemana dia? Apakah dia baik-baik saja?" bisiknya, menanyai diri sendiri. Ia begitu khawatir.

Haru pun berbalik dan beranjak pergi dengan keadaan kacau. Sementara pikirannya terus saja memikirkan Daiki. Ya, wajar saja untuk orang yang sedang jatuh cinta sejak lama.

Di perjalanan…

Bzzz Bzzz Bzzz

"Ah ibu...ada apa?" Tanya Haru sambil terus melanjutkan langkahnya.

"Jangan lupa mengambil bingkisan ibu di toko kue dekat taman. Ibu sudah membayarnya, kau tinggal mengambilnya saja" Jawab ibunya di telepon.

"Iya, bu. Aku hampir sampai di toko itu. Ak—" Ia terdiam. Apa yang dilihatnya saat ini benar-benar membuatnya mengabaikan perkataan ibunya di telepon.

"Daiki!" Katanya dengan suara tercekik.

"Halo? Haru? Kamu kenapa? Apa kau mendengar ibu?" Tanya ibunya di telepon.

"Haru?" Lanjut ibunya yang geram sebab merasa terabaikan oleh anak sendiri.

Haru masih saja terdiam sebab ia begitu terkejut pada apa yang dilihatnya.

"Haru! Jangan abaikan ibu!" Kali ini ibunya sedikit menaikkan nada suaranya sehingga membuat Haru tersadar.

"Ah maaf, bu. Hmm...aku harus pergi menemui temanku" Kata Haru dengan matanya yang terus memandang pada arah yang sama.

"Bagaimana dengan pesanan ibu?! " Ibunya mulai sedikit kesal.

"Ah! Iya, bu. Aku tidak akan lama" Jawab Haru berusaha untuk menenangkan ibunya.

"Setelah itu, aku akan ke toko itu" Lanjutnya sambil segera menutup teleponnya.

Haru pun mempercepat langkahnya untuk memastikan bahwa yang dilihatnya baru saja adalah Daiki. Orang yang saat ini membuatnya khawatir. Ya, benar saja. Itu adalah Daiki.

Haru melihatnya duduk di taman kota sambil memainkan ponselnya dengan serius. Haru pun bersiap-siap melangkahkan kakinya; memberanikan diri untuk mendekatinya dan mengajaknya berbicara untuk pertama kalinya. Sambil menghela napas panjang untuk mengatur napas dan detak jantungnya, ia pun perlahan melangkah.

"Ini kesempatanku untuk berbicara dengannya" Bisiknya dalam hati.

Dan tiba-tiba…

"Hah!" Napasnya tersentak. Pada waktu yang sama pula kakinya berhenti melangkah.

Seseorang datang menghampiri Daiki. Dilihat dari tingkah mereka, tampaknya mereka berdua sudah lama saling mengenal. Terlihat begitu akrab sebab dapat memudarkan sikap dingin Daiki.

Hal mengejutkan ini benar-benar membuatnya begitu terkejut dan dibungkam oleh rasa terkejutnya sendiri. Mereka berdua tertawa. Tidak aneh. Hanya saja, bagi Haru, ini merupakan pemandangan yang tak biasa sampai ia tak mampu mengolah setiap kata yang ada di kepalanya. Bagaimana tidak? Itu adalah kali pertama Haru melihat Daiki seceria itu; tertawa terbahak, seolah ia adalah Daiki yang baru dikenalnya.

Melihat hal yang tak biasa ini, ia sadar bahwa ternyata tidak hanya rasa terkejut yang ia rasakan, melainkan ada hal lain yang begitu serius dari rasa terkejut.

"Apa ini?" Tanyanya dalam hati sambil memegang dada sebelah kirinya.

"Perasaan apa ini? Sakit…" Lanjutnya dalam hati.

Rupanya ia cemburu sampai ia merasa dadanya sesak; wajahnya pun memerah. Ya, cemburu. Hal lain dari jatuh cinta; risiko untuk mereka yang jatuh cinta. Cemburu. Hal yang baru ia rasakan. Ia sering menertawakan hal ini jika seorang teman menceritakan kecemburuannya; mengabaikan kecemburuan dari para wanita yang menjadi tempat pelarian jati dirinya. Ia pun sadar. Tak seharusnya hal seperti ini diperlakukan sebagai gurauan semata. Rasanya benar-benar menyesakkan dada.

Ia menggerutu pada dirinya sendiri; kesal sebab tak mampu berada di posisi orang itu. Semakin kesal jikalau mengandaikan hal itu. Muak melihat kecerian mereka berdua, ia pun beranjak pergi. Berlama-lama akan hanya membuatnya semakin patah hati saja.

Di perjalanan, ia masih memikirkannya dan berteriak "siaaaaaal!!!" berharap bisa melonggarkan dadanya, dan mengurangi rasa kesalnya. akan tetapi, itu hanyalah hal bodoh yang ia lakukan; bukanlah sebuah mantra untuk melenyapkan perasaannya saat ini.

Kecemburuan ini hampir saja membuatnya lupa atas amanah ibunya, yang juga merupakan suatu hal yang penting baginya sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya. Untungnya, rasa cemburu belum sepenuhnya menggerogoti kepalanya.

"tokoh...mampir...itu...oh iya... " Katanya dengan pelan sambil menghentikan langkanya sejenak, lalu kembali melanjutkannya. Mungkin kepalanya sedikit terjangkit oleh perasaannya sampai ia lupa bagaimana menyusun kata per katanya.

Tak butuh waktu lama untuk Haru tiba di rumah. Ia segera membuka pintu, lalu melepas sepatunya. Dengan perasaannya saat ini membuat perjalanannya serasa begitu lama, beberapa menit saja sudah serasa seharian; membuatnya begitu kelelahan.

"Ah Haru, selamat datang" Kata ibunya, menghampiri.

"Ada apa? Kamu baik-baik saja, sayang?" Lanjut ibunya, menanyai dengan cemas.

Melihat Haru yang tak begitu bersemangat di sore ini, dan dengan wajah yang tak seperti hari-hari sebelumnya, tentu membuat ibunya begitu khawatir dan tak sanggup hati jika ia terus saja melihat anaknya dalam keadaan kacau seperti ini.

"Ah iya bu. Aku baik-baik saja" Kata Haru dengan nada suara pelan.

"Ini pesanan ibu..." Lanjutnya sambil menyodorkan sebuah bingkisan, lalu pergi menuju kamarnya.

Ibunya hanya bisa memandanginya hingga menghilang dibalik dinding menaiki tangga. Ia begitu ingin tahu masalah apa yang baru saja telah dialami oleh anak satu-satunya tersebut. Namun, sebagai seorang ibu yang mempunyai insting yang kuat terhadap perasaan anaknya sendiri, tahu bahwa saat ini Haru sedang ingin sendiri.

Haru bergegas mambuka pintu kamarnya, kemudian menutupnya dengan keras. Ia membuang tasnya begitu saja, lalu merebahkan dirinya di tempat tidur. Pikirannya sungguh kacau, lebih kacau dari sebelumnya. Ia masih membayangkan apa yang disaksikannya baru saja, dan semakin ia memikirkannya, semakin pula rasa sakit, kesal, jengkel itu berapi-api.

Ia sadar bahwa Daiki bebas berteman dengan siapa saja; tertawa dengan siapa saja. Toh ia bukanlah orang yang berarti bagi Daiki--mengenalnya pun, tidak. Namun, walau ia tahu akan keadaanya, ia masih saja memikirkannya; masih belum dapat menerima. Bahkan menganggap bahwa dirinya adalah seorang yang begitu naif dalam urusan asmara--mungkin karena kurang pengalaman. Ia memikirkannya terus-menerus hingga malam tiba, dan sampai ia putuskan suatu hal, yaitu berhenti untuk memperhatikannya walau ia tahu keputusan itu adalah ambigu; hal itu belum ia temukan jawabannya sama sekali, tepat atau tidak? Dan mengapa ia putuskan hal itu?.

*****