Sampai di kamar, aku segera mengecek ponselku dan menemukan beberapa panggilan tak terjawab dari Harsya, aku sudah merasa sangat mengantuk karena itu aku mengabaikannya.
Paginya aku terbangun oleh suara adzan subuh yang bergema dari mushola kecil yang tak jauh dari rumahku. Selesai sholat subuh, aku mendengar ponselku berdering. Aku segera mengambilnya dari atas nakas dan mengangkatnya.
"Halo.. "
"Halo sayangku.... Semalam sudah tidur ya? Aku coba telpon kamu kok ga diangkat?" suara Harsya yang merdu membuat mataku membuka lebih lebar.
"Iya, semalam rasanya capek banget?"
"Maaf kemarin gak jadi jemput kamu dari RS karena setelah cito yang pertama kemarin masih ada dua operasi lagi yang meski kami tangani." suara Harsya dipenuhi dengan permintaan maaf tulusnya, "tadi malam pulang jam berapa?"
"Entahlah, aku sudah terlalu ngantuk jadi gak memperhatikan jam berapa sampai rumah," aku menjawab sekenanya, entahlah tiba-tiba saja muncul rasa kurang nyaman seandainya Harsya tahu kalau Ali mengantarku pulang.
"Nanti sore aku jemput, ya, " kata Harsya kemudian.
Aku terdiam cukup lama, kalau Harsya menjemputku pasti dia akan tahu kalau Ali mengantarku, ibu pasti akan cerita kepada Harsya tentang hal itu. Selama ini yang Harsya tahu Ali adalah musuh utamaku jadi akan aneh ceritanya kemudian ketika tiba-tiba Ali mengantarku pulang.
"Tidak usah, aku tahu kamu sibuk jadi nanti aku naik bis saja." jawabku kemudian.
"Beneran? Kamu gak lagi ngambek sama aku kan?"
"Hehe, enggak,"
"Suer, Yang?"
"Sumpah!" Aku tertawa saat mendengar desahan lega darinya.
Aku tersenyum mengingat betapa menggemaskannya cowok itu saat dia merasa aku ngambek padanya, Harsya akan melakukan berbagai hal untuk membuatku kembali memperhatikannya.
"Oke, kalau gitu aku mau mandi dulu, nanti malam aku akan datang ke tempat kost mu." suara Harsya terdengar riang.
"Oke, bye," sahutku sambil bersiap untuk mandi juga.
***
Seharian ini aku hanya di rumah orang tuaku, tiduran di sofa sambil mendengarkan televisi, iya mendengarkan karena mataku lebih fokus pada ponselku dan berbincang dengan ayah dan ibu.
Jam sepuluh siang ayah dan ibu bersiap untuk ke rumah teman mereka yang lagi punya hajat menikahkan anaknya, untungnya sahabatku yang rumahnya tak jauh dari rumahku datang beberapa saat setelah kedua orang tuaku pergi. Tadi pagi Elsie memang menanyakan aku pulang atau tidak dan aku menjawab iya.
Seperti biasa kalau bertemu kami akan bernostalgia tentang suka duka waktu sma dulu dan bercerita tentang apa saja. Kami tak pernah bosan mendengarnya meski kami sering mengulang-ngulang cerita yang sama saat bertemu.
"Kamu beruntung punya calon suami yang sangat sayang sama kamu, Zie."
"Iya, alhamdulillah. Aku memang beruntung bertemu dengannya, dia sangat baik dan sayang sama aku," aku tersenyum sembari memandangi kuntum-kuntum mawar yang tengah bermekaran, Elsie sangat tahu bagaimana aku mencintai Harsya dan betapa inginnya aku menjadi istri Harsya dan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
"Sebenarnya aku iri sama kamu, Zie. Sayangnya hanya ada satu Harsya di dunia ini,"
"Lagian kamu sudah punya Gibran, dia juga baik," aku tertawa sambil menutupi mulut dengan kedua tanganku, tiba-tiba tawa Elsie terhenti.
"Cincin kamu bagus, Zie! Seingatku cincin tunanganmu bukan seperti ini," kata Elsie sambil meraih tangan kiriku. jemarinya mengusap cincin itu dengan lembut. Dia pasti mengira kalau Harsya yang membelikan cincin ini, Harya memang suka membelikan aku barang-barang yang menurutnya aku suka.
"Memang bukan, cincin tunangannya yang ini," aku menunjuk sebuah cincin yang berada di bawah cincin yang ditunjuk Elsie. Cincin itu bentuknya cukup sederhana dan aku sendiri yang memilihnya karena aku menyukai sesuatu yang simpel sangat berbeda dengan cincin yang kuterima dari perempuan setengah baya pada malam itu yang terlihat mewah dan elegan.
"Iya, bagus banget, tapi sebenarnya aku ga terlalu suka dengan modelnya, terlalu mewah." aku memandangi cincin di jari manisku, cincin ini terlihat begitu indah dan mewah, siapapun yang melihatnya pasti akan tertarik. Aku tak suka cincin ini bukan karena terlalu mewah tapi karena sejak memakai cincin ini, aku jadi merasa terikat dengan Ali.
"Ih, bagus banget gini, kok. Ini cincin couple kan? yang kalau disatukan akan jadi cincin ya lebih cantik lagi," kata Elsie penuh semangat.
Aku cuma bengong mendengarnya. Aku ingat saat perempuan setengah baya itu memberikan cincin ini kepadaku, ia juga memberikan cincin pada Ali tapi aku tak pernah melihat cowok itu mengenakannya.
Aku menghela nafas panjang, aku merasa ada sesuatu yang bergolak di dadaku yang membuatku merasa sesak. Sesaat aku ragu...