Pagi harinya, aku, Ria dan Airin telah bersiap menuju rumah sakit Anyelir. Ada sepuluh orang yang praktek di tempat ini selain kami bertiga, kami berkumpul di Aula tak lama kemudian Tiga orang dari rumah sakit dan seorang dosen masuk untuk melakukan serah terima kami yang praktek di sini. Dari Aula kami segera melakukan orientasi ruangan yang dipimpin kak Aulia, selesai orientasi, kemudian Kak Aulia membagi kami dalam dua kelompok di ruang IGD dan bangsal penyakit dalam dan meminta kepala ruang untuk membuat jadwal shift kami.
Tak ada yang istimewa saat aku bertugas di bangsal IGD maupun di bangsal penyakit dalam, kami bertugas menyesuaikan para perawat yang berjaga di ruangan itu, hanya saja ketika sedang jaga malam kadang aku teringat kejadian malam itu bersama Ali yang membuatku merinding.
Sampai saat ini, aku masih ingat saat tubuh perempuan itu perlahan menghilang seperti terbuat dari hologram, ada kesakitan yang sangat di wajahnya tapi aku tak menghiraukannya saat itu dan itu membuatku merasa bersalah.
Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa sudah dua minggu aku praktek di Rumah Sakit Anyelir. Hari ini setelah jaga malam di IGD, aku pulang ke tempat kos ku, Aku merasa lelah dan setelah semalaman tidak tidur karena banyak pasien yang datanng ke IGD.
Setelah mandi, memcuci baju dan menjemur pakaian, aku berjalan ke teras dan duduk di sana Aku suka duduk di sini karena suasananya yang sangat nyaman, angin yang bertiup semilir dari sela-sela pepohonan dan tanaman yang ada di halaman ini membuatku merasa damai. Aku berniat menelpon Harsya saat tatapanku beradu dengan seseorang di rumah sebelah yang merupakan tempat kos cowok. Ada tanah sepanjang tiga meter yang memisahkan rumah itu dengan rumah yang aku tempati, tanah itu biasa dipakai untuk parkir kendaraan penghuni kost sebelah
Aku cukup terkejut saat melihat cowok itu berdiri di sana, tengah berbincang dengan Arif. Rumah sakit tempat Ali praktek cukup jauh dari tempat ini, butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai di sana. Ali tersenyum dingin saat tatapan kami bertemu dan aku segera membuang muka. Ini adalah pertama kalinya aku melihat dia selama dua minggu terakhir ini, aku merasa darahku berdesir saat mengingat pertemuan terakhir kami hari itu saat dia menyemangatiku.
Aku menoleh pada Airin yang baru saja keluar dari dalam rumah dan duduk di sebelahku. Seperti aku, hari ini Airin juga baru turun dari jaga malam. Airin melayangkan tatapannya ke rumah sebelah dan bibirnya segera tersenyum lebar saat menemukan sosok Ali di rumah sebelah. Airin adalah salah satu penggemar Ali, dia sudah menyukai cowok itu sejak dulu.
"Hai, Al. sini, dong!" teriakan Airin membuat aku menoleh kembali ke arah cowok itu. Airin melambaikan tangannya meminta Ali datang ke tempat kami.
Aku tak menyangka akan melihat melangkahkan kakinya ke teras tempat ini, sebelumnya dia selalu menghindari keberadaanku. Ali tersenyum lebar pada Airin kemudian dan duduk dengan santai di salah satu sofa yang ada di depanku. Aku bisa merasa jantungku berdebar lebih kencang dan nafasku terasa sesak saat tatapannya yang dingin memerangkapku. Aku pura-pura sibuk dengan ponselku dan mengacuhkan kehadirannya sementara Airin segera duduk di samping Ali.
"Kapan datang?" tanya Airin dengan nada manja.
"Baru saja sampai belum ada setengah jam," jawab Ali ramah.
Sebenarnya rumah sakit tempat Ali praktek masih ada satu jam perjalanan lagi dari Rumah sakit Anyelir.
"Angin apa yang membawa kamu ke sini, kangen ya?"
"Angin rindu," Ali tertawa.
Aku mendongak menatapnya tanpa senyum, mata kami bertemu dan aku segera mengalihkan pandanganku dari matanya. Tatapan itu membuat darahku berdesir. Airin dan Ali segera terlibat dalam pembicaraan yang akrab, aku hanya sesekali menimpali ketika Airin melibatkanku dalam perbincangan.
Aku mengeluh dalam hati, saat aku tak bisa mencegah tatapanku yang selalu jatuh pada Ali meski berulang kali aku mengalihkannya. Aku merasa wajah Ali seperti magnet yang menarikku untuk selalu menatapnya lagi dan lagi. Ali terlihat seperti sosok yang sempurna, pantas saja banyak gadis di kampus kami mengejarnya. Aku berdiri untuk menghentikan pesonanya dan berpamitan pada keduanya.
"Mau apa, Zie? Sini aja dulu ngobrol sama Ali, mumpung dia di sini." kata Airin.
"Mau tidur, ngantuk tadi malam pasien IGD banyak, nanti malam masih jaga lagi," jawabku, pura-pura menguap.
Melihatku berdiri, Ali juga segera berdiri dan berpamitan pada Airin dan mengacuhkanku.
"Kebetulan aku juga masih ada urusan dengan Arif, kalau begitu aku juga pamit dulu, ya. Sorry sudah mengganggu istirahat kalian.'
" Nggak ganggu, kok! Aku justru senang kamu ke sini!" Airin menjawab dengan manja dan terlihat kecewa dengan kepergian Ali dari sisinya.
Aku hanya diam tapi tak bisa mencegah mataku untuk menatapnya, menatap punggungnya yang perlahan menjauh dari kami.
***