Kedua orang tuaku sudah menunggu di ruang tamu saat kami datang, mereka segera menuju ke pintu saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ibu tampak mengerutkan keningnya saat melihat Ali dan Arif keluar mobil, mungkin ibu berharap ada Harsya di antara kami. Aku mengatakan pada kedua orang tuaku kalau Harsya tak bisa menjemputku dari rumah sakit dan mengantarku pulang karena ada operasi mendadak yang harus dilakukan jadi mereka mengantarku pulang.
"Ini nak Arif, kan? Sudah lama kamu gak main ke sini?" ibu segera mengenali Arif, cowok itu memang sudah beberapa kali datang ke rumah bersama beberapa temanku yang lain.
"Iya, bu," jawab Arif sambil tersenyum dan menyalami kedua orang tuaku.
Ali yang berdiri di sebelah Arif juga tersenyum dan menyalami ayah dan ibu, kedua orang itu tampak mengamati Ali untuk beberapa saat. Ini kali pertama Ali datang ke rumahku jadi ayah dan ibu tak begitu mengenalinya.
"Kalau si ganteng ini namanya siapa, ya?" Ibu tersenyum kepada Ali sementara Ayah hanya menatapnya.
"Ali, Bu," jawab Ali dengan sopan.
"Teman Zie juga? Satu angkatan?"
Ali mengangguk mengiyakan,
"Kok ibu belum pernah ketemu nak Ali, ya? Biasanya ibu tahu siapa saja teman Zie, mereka sering main ke sini," ibu menatap cowok yang berdiri tepat di depannya.
"Ali ini musuh bebuyutannya Zie, bu. Tumben saja hari ini mereka akur. Biasanya mereka selalu berantem," Arif terkekeh.
Ali dan aku terse6 kecut mendengar perkataan Arif sedang ibu dan ayah hanya menatap aku dan Ali bergantian dengan wajah penasaran.
"Ayah dan ibu mengucapkan terimakasih karena kalian sudah mengantar Zie pulang," ibu mengucap terima kasih kepada kedua cowok yang berdiri di belakangku.
"Sama-sama, bu. Kebetulan saja kami searah, kok," aku terkejut mendengar jawaban Ali. Searah apanya? jelas-jelas rumahnya ada di kota tempatku kuliah
Arif juga terlihat kaget mendengar jawaban Ali tapi dia tak mengatakan apapun. Dia hanya senyumnya jahil menatapku. Ali dan Arif kemudian segera berpamitan tapi ibu segera menahan mereka dan menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.
"Ayo, masuk dulu, " suara ayah terdengar berat dan tegas.
"Masuklah dulu, ibu buatkan kalian minuman,"
"Terimakasih, Pak, Bu. Sudah malam, kapan-kapan saja kita mampir ke sini." tolak Ali sopan, sedang hanya Arif mengangguk mengiyakan perkataan Ali.
Kedua cowok itu akhirnya memasuki ruang tamu setelah ayah dan ibu memaksa mereka untuk masuk ke dalam rumah. Kedua orang tuaku tak ingin dianggap sebagai orang yang tak tahu balas budi karena sudah menerima kebaikan Ali dan Arif yang telah mengantarku sampai rumah. Keduanya duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu jati di temani ayah dan ibu. Mereka kemudian berbincang akrab, entah apa saja yang mereka bicarakan.
Aku berjalan ke kamarku membawa barang-barang milikku, setelah itu aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku mengenakan setelan piyama ungu favoritku, aku mengenakan jaket untuk menutupi piyamaku dan berjalan menuju ruang tamu. Ali dan Arif tampak sedang berbincang akrab dengan ayah dan ibu. Ali menatap kehadiranku sekilas dan kembali pada perbincangan mereka setelah mengabaikanku.
Aku duduk di samping ibu, bersamaan dengan itu, bi Ijah datang membawa beberapa gelas teh manis untuk Ali dan Arif juga ayah, ibu dan aku tentunya.
"Ayo, diminum dulu teh nya, nak," kata ayah kepada kedua cowok itu.
Arif segera mengambil gelas itu dan mendekatkan ke mulutnya dan menyesapnya. Ia segera meletakkan kembali gelas itu karena merasa lidahnya terbakar oleh air teh yang masih panas. Semua orang terkekeh melihatnya sedang Arif hanya tersenyum malu. Aku merasa baik ayah maupun ibuku lebih banyak melontarkan pertanyaan pada Ali, mungkin karena mereka baru melihatnya jadi mereka penasaran pada cowok itu. Setelah menghabiskan teh manis, kedua cowok itu kemudian pamit. Ayah, ibu dan aku mengantar mereka sampai di teras. Sebenarnya aku ingin segera masuk ke kamar begitu mereka pamit tapi aku merasa tak enak hati pada Arif dan kedua orang tuaku karena itu aku terpaksa mengikuti mereka.
"Hati-hati di jalan, nak," kata ayah saat keduanya memasuki mobil.
"Terimakasih, pak. Assalamu'alaikum," balas Ali sambil menaikan kaca mobilnya. Tak lama kemudian mobil itu meninggalkan halaman rumahku dan menghilang di kegelapan malam.
Aku segera berjalan menuju kamar untuk istirahat, hari ini terasa sangat melelahkan, sepanjang perjalanan bahkan setelah sampai di rumah dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya setiap kali bersitatap dengan mata dingin Ali. Aku mengutuk diriku sendiri karena hari ini aku bersikap lunak pada Ali. Aku tak tahu kemana hilangnya rasa benci yang selama ini bertahta di hatiku. Kebencian yang begitu dalam padanya yang membuatku tak larut dalam pesonanya.
"Zie, kok tumben bukan Harsya yang ngantar kamu?" tanya ibu saat aku melintas di ruang keluarga.
"Tadi dia mendadak ada operasi, bu. Kebetulan Ali dan Arif masih ada di sana jadi Zie bisa nebeng, gak tahunya malah diantar sampai rumah" jawabku, dengan malas aku duduk di samping ibu yang sedang menonton sinetron.
"Baik sekali teman-teman kamu, Zie, mereka mau mengantar kamu sampai rumah,"
"Itu karena Arif yang minta, bu. Dia gak tega kalo Zie nunggu bis malam- malam, untungnya Ali mau," aku sengaja berbohong pada ibu dengan menunjukkan keperdulian Arif kepadaku.
"Syukurlah, untungnya Ali mau mengantar, kalo gak kamu pasti baru saja sampai.'
Aku tersenyum kemudian berpamitan pada ibu untuk istirahat. Sebenarnya ibu terlihat masih ingin ngobrol tapi melihat mataku yang sudah lima watt dan berkali-kali menguap akhirnya ibu membiarkan aku pergi ke kamar
***