"Api, air, udara dan tanah. Kami mengikat satu sumpah dalam jalinan benang kehidupan. Sumpah kami adalah sumpahmu, nyawa kami adalah nyawamu. Darah, tulang, dan daging kami adalah milikmu. Kutukan dan kematian adalah pinalti bagi yang mengingkarinya. Katrina dan Milena, kami menyegel sumpah ini atas nama benang kehidupan." Ucap mereka serentak dan khidmat.
Milena melirik pergelangan tangan kiri Katrina, perlahan benang hijau berkilau itu melilitkan dirinya sendiri dan berangsur-angsur lenyap.
"Nah, sudah! Katakan apa permintaan terakhirmu!" omelnya tak sabar.
"Bantu aku menegakkan badanku dulu." Ucapnya lemas. "Aku ingin menikmati menit-menit terakhirku tanpa merasakan pengaruh besi di sekitarku."
"Kau sungguh menjengkelkan!" gerutunya.
Katrina menegakkan badan Milena, sehingga sang peri bersandar pada sebuah botol ramuan di belakangnya. Berikutnya, Katrina meraih kain putih dari bawah meja, dan menutup kandang besi tersebut.
"Puas?"
"Yeah. Bersikaplah baik pada orang yang akan mati." Ucapnya setengah bercanda.
"Terserah!" Katrina memutar bola mata, mengerang kesal.
"Baiklah. Aku minta, agar kau mengambilkan ranselku yang ada di dalam lemari hitam milikmu, dan syaratnya adalah jangan membuka atau mengintip isinya, hanya aku yang boleh memeriksanya selama perjanjian yang telah dibuat tadi. Berikan saja padaku. Ok?" Ia menaikkan sebelah keningnya.
Mata Katrina memicing tajam. "Apa yang begitu berharga di dalam ranselmu itu?"
"Lakukan saja permintaan terakhirku itu atau kau akan menerima akibatnya. Berhenti bertanya mengenai ranselku."
Suara Milena terdengar sedikit mengintimidasi. Katrina terlihat tak senang dengan permintaan aneh Milena tersebut.
Mau tak mau, ia melakukan apa yang diperintahkan Milena. Ia mengutak-atik isi lemari tersebut dan menenteng ransel kecil menggunakan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Sebaiknya kau tak mengacau!" ancamnya.
"Hanya membaca sebuah buku kesukaan. Itu saja!" Milena mengedikkan bahu.
Kegembiraan tak terkira bertalu-talu dalam hatinya. Berbanding terbalik dengan ekspresinya yang harus berpura-pura meratapi menit-menit terakhir hidupnya. Tangannya meraih ransel, kini ia harus memikirkan sesuatu sebelum batas perjanjiannya habis. Ia tak bisa melakukan tindakan ceroboh melawan penyihir kegelapan secara membabi buta. Itu namanya menandatangani kematiannya sendiri.
Sang peri merogoh isi ransel. Di tangannya tergenggam buku kecil bersampul kulit coklat gelap, sebuah lambang terpatrit di depannya, terbuat dari emas bersimbol ular ganda menjerat tongkat bersayap patah.
Katrina terbelalak. "Bukankah itu buku sihir? Bagaimana bisa seorang peri memiliki buku sihir? Jadi itu sebabnya kau bisa berubah menjadi tikus jelek?" kata-kata itu meluncur bagaikan rentetan meriam yang dilontarkan secara bergantian. Ia mulai tampak gelisah.
"Oh, diamlah! biarkan aku menikmati waktu-waktu terakhirku!" sergah Milena cepat, setengah membentak. Ia meletakkan buku itu di hadapannya. Tangannya mulai membuka beberapa halaman, tak bisa menipu si penyihir itu terus menerus. Pasti ada suatu mantra atau sesuatu yang bisa digunakan di buku panduan itu.
"Kau sedang menipuku, peri licik!" wajah Katrina memerah. Kedua tangannya mengepalnya kuat di udara, lalu membuka dengan cepat, kuku-kuku setajam silet sepanjang lima sentimeter keluar dari jari-jarinya. Dengan tangan kanannya yang semakin berkeriput, ia berusaha menusuk Milena menggunakan kuku-kuku tajamnya itu. Namun gagal, sebuah perisai tak terlihat melindunginya dari terjangan tangan Katrina. Perisai itu membuat tangan Katrina membara seperti sedang terbakar api. Ia menjerit kesakitan.
"Kau hendak melanggar sumpahmu?" pekik Milena, panik. Dilihatnya amarah Katrina memuncak setiap detiknya, hal itu motivasi yang baik untuk melatih matanya membaca cepat dalam keadaan darurat. Jantungnya berdegup kencang, tangannya terasa kebas dan mulai terasa dingin.