Happy Reading
*****
Sepanjang perjalanan menuju Apartment Amanda, Nana memilih mengunci bibirnya rapat-rapat. Wanita itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Amanda juga memilih untuk menunggu Nana bercerita sendiri tentang pria yang ditemuinya tadi.
Sudah lebih dari dua jam, Amanda menunggu Nana membuka bibirnya untuk menceritakan latar belakang sikapnya yang mendadak aneh ini. Mau tak mau, Amanda harus mendesak Nana menceritakannya, ia tidak tahan melihat sikap Nana yang seperti sekarang.
"Sampai kapan kau mau menjadi patung begitu?"
"Kau tidak mau memberitahu siapa pria Hot yang tadi mengecup sudut bibirmu?" Amanda menanyakan pertanyaan itu sambil memakan kentang goreng yang berada dihadapannya.
Nana masih diam dan kepalanya masih belum bisa berfungsi dengan baik. Pikirannya kembali berputar pada ciuman singkat yang diberikan Fabi di sudut bibirnya.Ciuman singkat namun memberikan efek besar pada fungsi otak dan jantung Nana.
"Na... are u okay?"
"Nana...Hei, Belina Carmella Rose! Kau mendengarku, tidak? Nana, please say something! Apa kita perlu ke dokter sekarang?" Amanda terlihat panik saat Nana tidak bergeming menanggapi setiap ucapannya
Nana menatap Amanda dengan tatapan yang sulit diartikan. Amanda diam, menunggu Nana mengucapkan sesuatu padanya.
"Dia pria yang membuatku patah hati," lirih Nana
Amanda menatap Nana dengan tatapan tak percaya. Ia baru tahu, jika sahabatnya ini pernah merasakan patah hati. Amanda pikir, Nana satu-satunya wanita yang mati rasa terhadap hal patah hati.
"Kau patah hati karena pria itu? Kau jatuh cinta padanya?" Nana menjawab pertanyaan Amanda dengan anggukan pelan
Amanda menarik tubuh Nana ke dalam pelukannya. Ia tidak menyangka jika sahabatnya yang ia juluki wanita sperma ini, pernah merasakan jatuh cinta pada seorang pria.
"Bagaimana bisa Fabi mematahkan hatimu? Apa yang telah ia lakukan?" Tanya Amanda penasaran
Nana menggeleng. "Dia tidak melakukan apapun. Aku yang salah paham akan sikapnya. Bukankah tidak seharusnya kita mengharapkan seseorang yang sudah milik orang lain?"
"Lagi pula, aku rasa, aku juga tidak cukup pantas bersanding dengannya. Aku hanya wanita jalang yang berganti pria setiap malam. Dia terlalu suci untukku,"
Air mata menetes begitu saja dari rongga mata Nana saat dia mengucapkan suatu kenyataan pahit mengenai kisah cinta tak sampainya dan jatuh cinta pada orang salah.
"Gabi, kekasihnya adalah salah satu juniorku di agensiku yang lama. Dia wanita yang baik dan terbilang jauh dari kesan bitch! Wajar saja jika Fabi tergila-gila padanya. Mereka berdua terlihat begitu serasi. Aku akan menjadi wanita yang sangat jahat jika hadir ditengah-tengah mereka. Aku lebih memilih membunuh perasaanku ketimbang menjadi orang ketiga diantara mereka."
Selama ini, Nana selalu menutupi kekecewaan yang tengah ia rasakan dari Amanda. Ia selalu terlihat tegar dan baik-baik saja. Nana begitu pandai merahasiakan kerapuhannya. Amanda menarik tubuh Nana kembali lagi dalam pelukannya dan mengelus rambutnya. Nana menangis tersedu, Amanda tentu bisa merasakan apa yang tengah Nana rasakan, karena kisah cinta yang dilaluinya ternyata tidak begitu jauh berbeda dengan kisah Nana.
"Aku memilih untuk pindah agensi dan berusaha keras untuk mengenyahkan perasaan untuk Fabi. Aku menghindarinya, aku bahkan berharap tidak bertemu lagi dengannya karena aku yakin luka itu akan terbuka lagi,"
"Tapi sepertinya Tuhan tidak mendengar doaku. Aku bertemu dengannya dan dia dengan beraninya menciumku. Demi Tuhan, dia menciumku dengan santai. Aku rasanya, ingin mati saja," Nana kembali lagi tersedu
"Manda, bantu aku untuk menghindarinya. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin merubah jadwal kepulanganku," rengek Nana pada Amanda
"Aku akan mengurus tiketmu. Aku juga akan menemanimu pulang. Berhenti menangis. Nana yang ku kenal adalah Nana yang tegar dan kuat. Bukankah kau sendiri yang sering mengingatkanku untuk tidak menyalahkan perasaan yang ada. Aku yakin, suatu saat nanti, kau akan bertemu dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat pula," Amanda berusaha menenangkan Nana
****
Dua hari, Nana tinggal ditemani oleh Amanda. Keberadaan Amanda di New York sedikit banyak membawa perubahan pada Nana. Nana sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Amanda rela mengabaikan deadline pekerjaannya yang telah menumpuk di Indonesia demi mengawasi dan menenangkan Nana. Namun, Amanda tentu tidak mungkin berlama-lama tinggal di New York.
Hari ini, Nana akan mengantarkan Amanda untuk pulang ke Indonesia. Nana tidak bisa membiarkan sahabatnya itu berlama-lama menemaninya disini, meskipun ia senang. Namun mengingat, Amanda adalah wanita karir yang memiliki banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya tentu Nana membiarkan Amanda pulang dan kembali bekerja.
Pesawat telah membawa Amanda untuk pulang ke Indonesia. Lantas Nana bergegas pulang ke apartmentnya, ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Nana memarkirkan mobilnya di pelataran depan apartmentnya. Ia memilih lewat depan bukan lewat basement seperti biasanya karena Nana akan pergi ke kedai kopi di samping apartmentnya.
Nana berjalan santai dengan segelas kopi hitam ditangannya. Namun, jalannya terhenti begitu saja. Kopi yang tadinya hangat kini mendadak dingin. Pria yang dihindarinya tiga hari yang lalu, tiba-tiba muncul di hadapannya.
Fabino Orlando, pria itu sebelumnya sudah berdiri menyandar di depan mobilnya sambil memainkan ponsel. Tapi ketika melihat Nana hendak masuk ke dalam lobby apartment, Fabino lantas bergegas menyimpan ponselnya dan berjalan mendekati Nana. Kini Fabino tengah berdiri di depan Nana. Menatap lurus ke mata Nana, Nana meneguk ludahnya susah payah. Tubuhnya menegang dengan sendirinya. Apa yang diinginkan Fabino sebenarnya?
*****