"Aaaa!!!", teriak Max
"Panas!! Panas!!", teriaknya lagi dengan mata yang masih tertutup.
"Max bangun, Max!", ucap Andre yang sudah ada di samping Max lagi beberapa menit yang lalu.
"Max!!", ucapnya lagi sambil mengguncangkan badan Max perlahan.
Guncangan itu membuat mata Max terbuka. Segera ia terbangun dari bantalnya. Menatap ketakutan sekelilingnya. Napasnya tak beraturan. Seperti selepas dikejar zombie. Dahinya dipenuhi keringat bercucuran. Pandangannya masih mengitari sekitar ruangan sebelum akhirnya terkunci pada mata Andre yang ada disampingnya.
"Andre?", sapanya yang masih setengah ketakutan.
Alis Andre terangkat sebelah sambil menatap Max keheranan. 'Kenapa anak itu? Habis mimpi?', tanya dalam pikirnya.
"Aku mimpi, aku takut. Semua meninggalkanku. Tak ada yang menolongku. Api. Api dimana-mana. Bunkerku habis. Mereka pergi...", ucapan Max terhenti kala Andre menodongkan segelas air untuk Max.
Gleekk.. Glekk... Glekk..
Sudah kubilang tadi, keadaan Max seakan telah dikejar oleh zombie. Dihabiskanlah segelas penuh air putih yang disodorkan Andre.
"Tenang dulu. Atur napasmu. Coba ceritakan apa yang kamu mimpikan barusan", pinta Andre.
Max menarik napas lewat hidungnya. Menahannya sekejap. Lalu menghembuskannya. Diulanginya sampai 3 kali tindakannya itu. Sampai ia bisa bernapas santai seperti biasa lagi.
"Aku bermimpi, bunkerku habis terbakar. Semuanya tak bersisa. Kobaran api dimana-mana. Kala itu Aku lemah tak berdaya. Tak ada yang menolongku, satu pun tak ada. Sedangkan api terus menjalar kemana-mana. Itu semua membunuhku perlahan. Tubuhku masih tak bisa digerakkan. Api itu mendekat,,, semakin mendekat,,, makin dekat,,, makin panas terasa di tubuh lemahku. Aku mulai pasrah, api itu sudah tinggal sejengkal. Suaraku hilang. Tenggorokan ini mengering. Dan... Seperti itu mimpiku", jelas Max tanpa henti.
Asal kalian tahu, Max itu punya kemampuan precognitive dream. Mimpi-mimpi yang ia impikan selalu jadi kenyataan. Meski Mimpi yang ia impikan tak semua akan mirip kejadiannya. Namun juga ada beberapa mimpinya yang hanya mengandung makna tersirat di dalamnya. Max menyadari kemampuannya itu sejak kecil. Andre juga tahu kemampuan Max itu. Dulu mereka suka berbagi cerita satu sama lain. Karena mereka tak punya siapa-siapa lagi di bumi ini. Max hanya punya Andre, dan begitu juga Andre yang hanya punya Max.
Nah, ketakutan Max kali ini, ia takut mimpinya jadi kenyataan, Bunkernya akan hancur tak bersisa. Max tak mau bunker yang sudah ia bangun sejak berusia 17 tahun itu rata dengan tanah.
Andre bisa merasakan ketakutan yang bisa dirasakan Max kali ini. Baru kali ini ia merasa simpati lagi pada Max semenjak sifatnya berubah.
'Kenapa aku jadi kasihan gini?', batin Andre. Ia menenangkan Max dengan mengelus-elus punggungnya.
'Sebenarnya mimpimu itu akan jadi nyata akan terjadi, Max. Maafkan aku', batinnya berbincang lagi.
Berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam batinnya, Andre berkata, "Aku yakin itu cuma mimpi. Tenang saja. Itu tidak akan terjadi".
"Aku mau pindah saja ke kamarku", pinta Max sambil menurunkan kakinya ke lantai.
Andre hanya bisa menuruti permintaan Adiknya itu. Ia membopongnya sampai ke kamar Max di lantai dasar.
Mereka masuk ke dalam kamar Max. Lalu Max berbaring sambil menahan rasa sakit di bahunya.
"Kamu istirahat lagi ya?", ucap Andre. Seketika itu juga Andre hendak berdiri untuk meninggalkan Max istirahat.
"Andre tunggu!!", lantang Max sambil memegang lengan Andre yang hampir pergi dari sampingnya.
"Temani aku", manja Max.
'Kenapa dia tiba-tiba berubah jadi manja begini?', gerutu Andre yang dengan terpaksa kemudian duduk kembali di samping Max.
"Ya sudah aku disini. Tidurlah. Besok hari istimewa mu", ucap Andre yang menyandarkan punggungnya di dinding belakang tempat tidur Max.
Max kembali tertidur. Lebih nyaman kelihatannya ketimbang di atas ranjang ruangan Prof. Wizly. Matanya kembali terpejam dan terlelap.
Sedangkan Andre hanya menunggu, menahan bosan di samping Max.
Tiga jam berlalu, mata Andre mulai terkantuk-kantuk menunggu Max. Kesadarannya mulai berkurang karena kantuk itu.
Tapi tiba-tiba...
Kesadarannya kembali pulih 100%, teringat kalau ia harus memberitahukan tentang kejadian tadi pada Beno dan Dr. Ben.
Ia meraih ponselnya di saku samping celananya. Mengetuk pelan 2 kali layar hitam ponsel itu dengan jarinya hingga layar itu menerangi wajahnya dalam gelap kamar Max. Terlihat pukul 21:34 di layarnya saat pertama kali nyala. Segera ia ketik dalam menu kontak di ponselnya nama "BENO". Langsung saja ia ketikkan sebuah pesan padanya.
"Beno. Mengapa manusia yang sudah kalian beri penawar berubah jadi ganas lagi? Apa ada yang salah dengan penawarnya", ketik Andre dalam pesannya.
Menunggu sekitar setengah jam, tapi Beno tak kunjung membuka apalagi membalas pesannya.
"Kemana sih Beno ini?", tanya geramnya dalam hati.
___
"Aduhhh ponselku dimana ya?", tanya Beno yang sedang mencari-cari ponsel dalam ransel yang hanya berisi laptop milik Andre.
"Kamu taruh dimana tadi? Kamu masukan tidak ke dalam tasmu?", tanya Dr. Ben yang mendengar dengusan Beno sambil terus melangkah dalam keheningan lorong bawah tanah.
"Aku balik lagi aja ya", ucapnya yang menghentikan langkah Dr. Ben dan Leah didepannya.
Lalu mereka menghadapkan wajah mereka ke arah Beno.
"Bahaya Beno", ujar Leah.
"Tapi aku gak bisa kehilangan ponsel itu. Gimana kalo mereka sampai tahu percakapan aku dengan Andre atau tentang rencana kita? Itu bisa lebih bahaya", jelas Beno yang terus meyakinkan mereka untuk kembali ke lab Dr. Ben.
"Kalian duluan ke kamar Dr. Ben, nanti aku ke sana", lanjutnya yang kemudian berbalik arah kembali lagi menuju Lab Dr. Ben.
Tapi Leah menghentikannya, "Beno!". Mendengar suara itu membuat langkah Beno terhenti lalu berbalik dan menatap Leah.
"Hati-hati", lanjutnya dari jarak 3 meter dengan Beno.
Lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka, Beno yang akan kembali ke Lab Dr. Ben, dan Leah juga Dr. Ben menuju ke kamar Dr. Ben yang ada di gudang penyimpanan.
Lorong bundar berdiameter 2 meter membuat Beno cukup leluasa berjalan. Cukup becek dalam pijakannya. Tak membuat Beno menghentikan langkahnya. Penerangan sekitarnya yang hanya bermodalkan cahaya dari senter kepala sudah mulai meredup. Baterainya hampir habis.
Suara cipratan air dari sepatu dan genangan air tak henti-hentinya terdengar. Langkah Beno tak pernah terhenti. Jaraknya ke lab Dr. Ben tinggal beberapa meter lagi.
___
Pesannya tak kunjung dibalas, Andre memutuskan mencari mereka.
Ia beranjak dari tempat tidur Max. Dan berjalan menuju pintu untuk keluar.
Trap..
Trap..
Trap..
Matanya membulat seketika saat ia tak melihat gagang pintu disana.
Oh iya kan pintunya dibuka pakai botol di samping pintu itu. Dulu ia pernah mencoba membuka pintu itu, namun ia tak berhasil. Kini ia kembali memutar botol itu 90°. Tapi hal sama terjadi seperti dahulu. Lagi-lagi dia gagal membukanya.
"Sial!!", geramnya yang tak sengaja keluar keras dari mulutnya. Segera ia menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Tapi itu sia-sia saja. Max terbangun setelah mendengar teriakan geram Andre yang cukup keras.
"Kenapa Ndre?",tanya Max yang menatap Andre dengan tatapan lemas baru bangun tidur.
"Aku lapar, tapi aku tak bisa keluar", jawab Andre yang dengan spontan menjawabnya. Entah dari mana jawaban itu dia dapat, tapi kebetulan juga saat itu perutnya keroncongan.
Max terbangun dari tempat tidurnya, dan dengan mudahnya ia membuka pintu itu dengan memutar botol. Langkah itu sama halnya dengan yang dilakukan Andre tadi. Tapi kenapa Andre tak berhasil membuka pintunya?
Setelah pintunya terbuka, Andre segera melangkah melewati pintu itu. Tapi sebelum pintu itu tertutup lagi, ia berbalik dan berkata, "Tak apa kan aku tinggal?".
Max hanya tersenyum, lalu menutup pintu itu lagi.
Tanpa membuang waktu lagi, Andre segera pergi mencari Beno dan Dr. Ben. Tujuan pertamanya ialah Lab Dr. Ben. Siapa tahu mereka masih bersembunyi disana, pikirnya.