Beno masuk ke dalam ventilasi itu. Semakin dalam, semakin besar ukuran lubangnya. Yang tadinya seukuran lubang ventilasi menjadi gorong-gorong becek di dasarnya. Setelah sejauh 500 meter ia berjalan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Kenapa?
Ia melihat dari kejauhan, tak ada jalan lagi di ujung lubang itu. Jalannya buntu. Senter dan penglihatannya terus difokuskan ke arah ujung jalan itu. Tak ada jalan lahi di ujung sana, pikirnya.
"Apa aku salah jalan?",tanyanya pada diri sendiri. 'Tapi tak ada persimpangan sebelum ini', tambah batinnya. Langkahnya masih melaju, mendekat ke ujung gorong-gorong itu. 'Oh, ya. Mungkin ada persimpangan disana. Kenapa aku terlalu penakut?',senang pikirnya.
Langkahnya terhenti, saat matanya menangkap tak ada persimpangan sama sekali disana. Itu buntu. Benar-benar buntu. Lantas kemanakah ia harus melanjutkan perjalanannya? Apa iya dia harus kembali ke dalam bunker? Tidak, tadi Dr. Ben sudah berpesan, kalau ia hanya tinggal mengikuti alur jalannya saja. Tak ada persimpangan.
Beno tak berputus asa, dia terus mencari jalan keluarnya. Dan tanpa sengaja senter yang digenggamnya ia arahkan ke bagian atas gorong-gorong tempatnya berdiri. Yups,, ada jalan ke atas sana. Ada lubang seukuran gorong-gorong itu namun dipasang vertikal dengan tangga di bagian kirinya. Tangga itu juga terpasang vertikal menempel pada dinding lubang itu. Tapi,,
Tak ada tangga atau benda semacamnya yang bisa ia pakai untuk meriah tangga pada dinding itu.
Haapp.. Beno melompat dengan kedua tangannya di angkat ke atas. Saat lompatannya cukup tinggi, kedua tangannya meraih pijakan tangga paling bawah.
Kedua tangannya sekuat tenaga mengangkat tubuhnya. Setelah pijakan pertama ia raih dengan kedua tangannya, pijakan kedua ia raih lagi dengan tangan kanan Beno, pijakan ketiga dengan tangan kirinya, begitu seterusnya sampai kakinya bisa berpijak di atas pijakan tangga yang terbuat dari besi itu.
Saat kakinya dan tangannya sudah siap menapaki ratusan anak tangga di dalam tanah itu, ada suara tak asing yang memanggil namanya.
"Beno!! Ben! Beno!!!", teriaknya.
Suara teriakan Andre itu menghentikan gerakan Beno di tangga. Matanya ia lirikkan ke bawah. Menunggu Andre tiba tepat dibawahnya.
"Beno!", teriak Andre lagi.
Kepala Andre tampak meliak liuk mencari jalan lagi saat ia sudah berada tepat di bawah lubang bertangga. Beno yang menunggu dan memperhatikannya, ia tiba-tiba saja loncat dari tangga menuju ke gorong-gorong lagi.
Happ...
Tepat dihadapan Andre ia mendarat. Dan hal itu tentu saja membuat Andre terkejut dan memundurkan langkahnya beberapa langkah.
"Aaaa!!! Siapa kamu?", sontak Andre berteriak dan bertanya hal itu pada orang yang baru saja melompat turun dari atas gorong-gorong.
"Aku Beno! Ksatria tampan dari dunia luar, Ha! Ha! Ha!", jawab Beno dengan suara yang agak dibesar-besarkan.
Andre hanya terkekeh kecil mendengar candaan yang Beno lontarkan padanya.
"Ada apa kamu cari-cari aku? Pake nyusul segala lagi", tanya Beno dengan nada sinis tapi bercanda.
"Aku bosan disana, dengan Max. Aku mau ikut kamu saja", timpal Andre.
"Jangan! Nanti kalau Max curiga, gimana?", tanya lagi Beno sambil melompat ke tangga diatasnya seperti yang ia lakukan tadi.
"Dia sedang tertidur", jawab Andre yang terus memaksa ingin ikut bersama Beno.
Beno terus berusaha naik, memijakkan kakinya di atas pijakan sebelum menjawab permintaan Andre. Barulah setelah kakinya sudah menapak di atas pijakan, dia menjawab permintaan Andre.
Tangannya ia jadikan sebagai isyarat mengajak Andre untuk ikut dengannya. "Ayo!!", ajaknya sambil melanjutkan pijakannya.
Dengan perasaan senang, Andre segera melompat dengan kedua tangannya di angkat keatas seperti yang Beno lakukan. Ia mengikuti gerakan Beno. Dan segera menyusulnya yang sudah menaiki anak tangga yang ke-20
Beno dan Andre berjuang menapaki anak tangga vertikal itu. Mereka harus hati-hati menaikinya, ceroboh sedikit saja, mereka bisa tergelincir ke bawah.
Tiba-tiba...
"Aaaa!!! Beno!!", teriak Andre yang ada bawah Beno.
Andre tergelincir dengan lengan kanan masih memegang erat pijakan tangga. Pijakan yang jadi tempat kakinya menapak cukup licin, hingga membuatnya tergelincir. Tapi kakinya segera ia tapakkan kembali pada pijakan tangga yang bisa diraihnya. Dan tangan kirinya juga kembali meraih pijakan tangga terdekat.
Beno segera menuruni beberapa anak tangga, mendekat kepada Andre. Siapa tahu Andre butuh bantuannya.
Uluran tangan Beno diraih oleh Andre untuk memulihkan keseimbangannya kembali di atas tangga. Hingga mereka pun berhasil kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tinggal 10 meteran lagi.
Trap.. Trap.. Trap...
Pijakan kaki Beno terhenti, tepat diatas kepalanya ada sebuah penutup dengan pegangan berbentuk stir mobil . Lantas Beno memutarnya hingga penutup itu longgar lalu mendorongnya ke atas.
Dugh...
Pintu penutup itu terbuka. Beno masuk melalui pintu kecil itu. Diikuti oleh Andre di belakangnya. Setelah mereka keluar dari deretan tangga, lorong memanjang kembali terlihat disana namun lebih kecil, hanya bisa dilewati dengan merangkak. Pintu penutup ditutupkan seperti semula sebelum mereka melanjutkan perjalanan. Bila dilihat dari lorong, pintu itu tak terlihat karena tak ada pegangan di bagian luarnya, hanya ada celah kecil berukuran 5 mm di sekelilingnya. Jadi untuk bisa membukanya hanya dengan dicungkil benda tajam seukuran celah itu.
Merangkaklah mereka menyusuri lorong kecil itu. Lorong itu tampak lurus-lurus saja. Tanpa ada persimpangan.
"Pegal sekali tubuhku, dimana sih kamar Dr. Ben?", gerutu Beno yang mulai kelelahan dan berhenti merangkak. Ia terduduk dulu disana, bersandar pada dinding lorong berbentuk persegi itu. Andre pun ikut bersandar karena ia juga merasa hal yang sama dengan Beno.
Andre mengoyangkan lehernya ke kanan hingga mengeluarkan bunyi 'krek', bunyi dari tulang lehernya. Ia gerakkan agak keras ke arah kirinya hingga bunyi itu terdengar lagi dari tulang lehernya, tapi...
"Aaawwww!!", teriaknya dengan keras membuat Beno melihat ke arahnya.
"Kamu kenapa Dre? Leher kamu kok...?", tanya Beno terkejut saat melirik Andre dan mendapati kepalanya kaku ke arahnya, ke arah kiri.
"Tolongin!! Ini gimana? Gak bisa dibelokin ini!", gerutunya pada Beno sambil menepuk-nepuk bahu Beno dengan tangan kirinya.
"Beneran gak bisa digerakin?", tanya Beno meyakinkan.
Andre mencoba menggerakkannya ke arah depan, tapi itu terasa sakit bila dipaksakan. "Aww!! Sakit Ben!!", teriak Andre saat mencoba menggerakkan lehernya.
"Tenang, tenang, gak usah panik", ucap Beno menenangkan Andre. "Pegang ini!", pintanya sambil menyodorkan senter pada Andre, ia meminta Andre untuk memegangnya.
Beno mencoba searching menggunakan google dengan ponselnya. "Bentar ya? Aku coba searching dulu", katanya sambil scroll atas-scroll bawah mencari apa yang dia cari.
Sementara Andre, ia mencoba tenang seperti apa yang dikatakan Beno. Matanya tak bisa melirik kemanapun selain ke arah kiri lorong itu. Senter juga ia arahkan kemana matanya melirik.
"Beno! Ben! Itu pintunya!", teriak Andre sembari menepuk-nepuk lagi bahu Beno dan mengarahkan senter ke arah kiri lorong itu.
"Pintu apaan sih?", tanya Beno tanpa melirik Andre, ia masih fokus dengan ponsel di tangannya.
"Itu Beno! Pintu kamar Dr. Ben!!", jawab Andre sambil menyorot ke arah kiri lagi dengan senter di tangannya.
Beno mengarahkan matanya ke arah sorotan senter di tangan Andre, lalu ia menyipitkan matanya untuk mempertajam penglihatan. Ia melihat pegangan berbentuk kemudi mobil lagi kira-kira setinggi 40 cm dari lantai. Dan pasti itu adalah pintunya.
"Ya sudah ayo!!", ajak Beno sambil merebut senter dari tangan Andre. Kemudian ia merangkak lagi ke arah kemudi itu berada.
Ia merangkak kegirangan ke arahnya. Kemudi itu ada di sebelah kanan dari tempat ia merangkak. Setelah jaraknya dengan kemudi itu hanya 45 cm, kepalanya berbalik. Dan mendapati tak ada Andre di belakangnya. Setelah senter di sorotkan jauh ke belakangnya, barulah ia bisa melihat Andre yang masih duduk dengan leher yang kaku menghadap ke arahnya.
"Dre!! Ayo!!!!", serunya sambil mengayunkan lengannya.
'Tapi, Kok dia diem aja?', batinnya. Dia mencoba mengajaknya lagi, " Dre!! Hei!! Ayo!!!".