Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 57 - Terluka (2)

Chapter 57 - Terluka (2)

"Aku hanya sedang melihat-lihat ke dalam lab itu, aku kira manusia di dalam ruang kaca itu tidak ganas, ia terlihat kesakitan dengan tangan kanan terikat. Ia tak tampak ganas sekali, ia seperti memelas. Tapi ternyata, saat aku masuk dan melepaskan ikatan di tangannya, ia malah menyerangku. Untung saja, ada penjaga yang menolongku", cerita Max.

"Kamu diserang makhluk ganas di lab Dr. Ben? ", tanya Andre memastikan.

Max menatap Andre dan menganggukkan kepalanya pelan. Matanya masih terlihat sayu lemas karena kejadian itu.

Andre hanya menjawab anggukan Max dengan senyum manis di wajahnya. Tiba-tiba Prof. Wizly datang membawakan sup untuk makan siang Max.

"Kamu makan dulu, ya. Aku masih ada kerjaan", ujar Andre sambil meninggalkan Prof. Wizly dan Max berdua.

Prof. Wizly mendekat ke arah Max yang tengah terbaring dan tangannya terbalut perban. Max melirik ke arah sup hangat di atas nampan yang dibawa Prof. Wizly, sup itu masih mengepulkan asap berbau sedap di atas mangkuknya. Baunya sedap, bisik nafsu makan Max.

"Apa ini Prof?",tanya Max.

"Sup yang bisa membuatmu pulih",jawab Prof. Wizly sambil tersenyum.

"Benarkah?"

"Iya, coba saja", ucap Prof. Wizly sambil menyuapkan sesendok sup ke arah mulut Max.

Max membuka mulutnya perlahan, lalu memasukkan sesendok sup kental itu ke dalam mulutnya. Perlahan ia cicipi, melewati lidahnya, unik rasanya, hingga akhirnya ia telan.

"Rasanya unik, sup apa ini?", tanya Max yang penasaran akan keunikan sup itu.

"Sudah kubilang, itu sup untuk membuatmu pulih", jawab Prof. Wizly. Jawaban itu dikira Max hanya sebuah candaan belaka sampai-sampai Max terkekeh kecil mendengar jawaban itu.

Karena memang rasanya unik, membuat Max kembali melahapnya sendiri tanpa disuapi Prof. Wizly.

Rasanya itu memang lezat nan unik menurut Max. Sup itu berisi jamur, kubis muda, sorrel, salmon dan.. buntut sapi, seharusnya bukan buntut sapi tapi iga babi asap. Prof. Wizly tahu Max suka sop buntut, tapi dia tak bisa membuatnya, makanya ia lebih memilih mengganti iga babi asap dengan buntut sapi di dalam masakannya. Prof. Wizly membuatnya khusus untuk Max. Yups.. Prof. Wizly yang membuatnya.

"Ini Shchi, makanan khas Rusia, lezat kan?", jelas Prof. Wizly.

Prof. Wizly keturunan Indonesia-Rusia. Ayahnya dari Rusia dan Ibunya berasal dari Indonesia, tepatnya dari Bali. Keluarga mereka lebih lama tinggal di Rusia. Makanya Prof. Wizly lebih pandai membuat masakan Rusia ketimbang masakan Indonesia.

Max tak henti-hentinya melahap sup itu. Terlebih ia merasa didalamnya terdapat bagian dari sop favoritnya, buntut sapi.

"Mmmm.. ", gumamnya sambil melahapnya tanpa jeda.

Mangkuk yang tadinya berisi penuh kini bersih tak bersisa. Max yang menghabiskannya. Setelah habis, ia menaruhnya kembali diatas nampan yang sedari tadi dipegang Prof. Wizly.

"Ya ampun, kau yang menghabiskannya?", tanya Prof. Wizly memastikan sup itu benar-benar dilahap Max sampai benar-benar habis.

Max malah menjawabnya dengan suara sendawa yang keluar dari mulutnya.

"Lantas siapa lagi?", tanya balik Max setelah mengeluarkan semua gas dari dalam lambungnya yang kemudian bertranformasi jadi suara sendawanya itu.

Prof. Wizly hanya membalas pertanyaan Max dengan senyuman kecil di bibirnya.

"Ini sedap kan?", tanyanya lagi.

"Tentu saja, kalau tidak, tak akan aku habiskan sup semangkuk itu", jawab Max yang tak suka basa-basi dari Prof. Wizly. Lepas itu, Max meneguk segelas air yang tersimpan di atas nakas di samping ranjang tempatnya diam kini.

"Istirahatlah, kau pasti akan segera pulih", ucapan terakhir dari Prof. Wizly sebelum meninggalkan Max di ruangannya.

Setelah Prof. Wizly pergi, Max menarik selimut hingga menutupi bahunya.

Dalam hatinya ia bergumam, "Memang aku akan tidur, aku hanya menunggumu pergi saja". Ia seperti tak suka pada sikap basa-basi Prof. Wizly tadi. Max tak terlalu suka basa-basi.

Disisi lain, hatinya kembali bergumam dengan senang, "Aku harus sembuh, besok aku akan menikah dengan Elia!!". Setelah bergumam seperti itu, ia menyamankan dirinya dalam sandaran kasur dan bantal. Hingga akhirnya terlelap.

~~~

Duuarrrr.....

Suara Ledakan yang cukup keras terdengar, ditambah bumbungan api yang cukup tinggi terlihat jelas di depan mata Max.

Tubuhnya lemah tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terbaring di bawah terik matahari dan bersandar pada sebuah batu besar. Panasnya suhu kali itu ditambah lagi dengan api ganas yang membakar bunker milik Max.

"Kenapa bunkerku?", tanyanya pada orang-orang yang berlalu lalang menyelamatkan diri.

Tapi tak ada satupun yang menggubrisnya. Mereka hanya sibuk menyelamatkan diri menjauh dari Max dan bunker.

Jarak Max dengan bunker yang tengah dilahap api itu cukup jauh, kira-kira 500 meter. Tapi panasnya cukup terasa oleh tubuh Max yang tak berdaya. Tubuhnya bukan hanya lemas tapi juga tak bisa digerakkan sama sekali.

"Kenapa ini? Ada apa ini?", tanyanya lagi yang masih bingung akan keadaan saat itu.

"Tolong aku!!", pintanya.

Tapi tetap tak ada satupun yang meliriknya.

"Tolong!!", teriaknya lebih keras.

'Apakah semua orang tuli?', gubris hatinya kesal.

Hingga ia melihat postur tubuh orang yang dikenalnya, itu Kepala para penjaga. Max melihat pria berbadan tegap itu berlari ke arahnya. Max yakin, dia pasti akan menolongnya. Max segera berteriak kepada Kepala penjaga itu, "Hei!! Kamu!! Kepala penjaga!!Tolong aku!!!".

Kepala penjaga itu mencari-cari asal suara itu. Itu suara Max. Tapi tak bisa ia lihat dimana asalnya, suara ledakan ditambah kepulan asap tebal dimana-mana membuatnya sulit menemukan pria yang meminta tolong itu.

Max melihatnya semakin dekat. Tapi,,,,

Dia malah berjalan begitu saja melewatinya sambil membopong teman sesama penjaganya.

"Hei!! Aku disini!!", teriak Max lagi.

Dan lagi-lagi, penjaga itu hanya melirik kesana-kemari, dan yang ia lihat hanya kepulan asap bukanlah Max. Lantas ia pergi begitu saja meninggalkan Max.

Hingga akhirnya Max tak melihat siapapun lagi yang berlalu lalang disana .

Api membara semakin menjadi. Semakin mendekat ke arah Max pula. Keringat semakin bercucuran mengalir di tubuh Max akibat suhu yang semakin meningkat . Max yang tak berdaya bingung entah apa yang harus dia lakukan. Ia belum mau mati. Tapi harus bagaimana lagi.

Dia sesekali memejamkan matanya. Pasrah. Menunggu kematiannya datang. Air mata terus mengalir menyatu dengan keringat di wajahnya.

Jarak kobaran api dengan dirinya tinggal beberapa puluh meter lagi. Panasnya semakin terasa. Semakin dekat. Gerak mulutnya semakin berusaha meneriakkan kata minta tolong. Tapi suaranya semakin hilang, tenggorokannya semakin lama semakin kekeringan. Napasnya juga mulai sesak.

Matanya mulai berkunang, pandangannya memburam, remang-remang terlihat kobaran api yang merah menyala di depannya. Panas, sudah tak ia hiraukan lagi. Banjir keringat di tubuhnya semakin deras. Basah kuyup sudah jas mewah yang ia kenakan. Jarak api darinya menjalar semakin dekat. Tinggal beberapa puluh centimeter lagi.

Ia mulai pasrah, doa-doa yang sudah lama ia tinggalkan, ia panjatkan kini.

'Tuhan, selamatkan aku, aku mohon Tuhan. Tapi kalau memang ini akhir hidupku, ampuni aku Tuhan. Aku mohon ampun sudah melupakan-Mu', bisik hati kecilnya.

Dan...

Buuarrr.....

~~~

"Aaaa!!!", teriak Max.