Mereka pun berjalan melewati jalanan aspal. Beno mendorong troli, Leah disampingnya dan Andre ada di depan mereka.
"Oh ya, ini yang namanya Leah?", tanya Andre sambil memalingkan wajahnya ke arah Leah.
"Iya", singkat Beno.
Lalu Andre memperlambat langkahnya agar ia berjalan sejajar dengan Leah dan Beno.
"Kenapa kamu mau membantu kami?", tanya Andre pelan tapi cukup terdengar oleh Leah.
"Sebenarnya tadinya aku hanya dibantu Beno membebaskan diri dari sini. Tapi.. Karena keterlambatan aku tidak jadi pulang", jelas Leah.
"Mm... Bukan itu maksudku. Maksudku, mengapa kamu membenci Max hingga membuat grup whatsapp itu?", tanya Andre lagi.
"Oh.. Itu.. Yaa...karena aku merasa disini ada yang tidak beres. Awalnya aku tak tahu akan dipekerjakan untuk menjajah desa. Tapi,, ya.. Karena sudah terlanjur, aku terpaksa bekerja disini. Dan ternyata yang merasa seperti itu bukan hanya aku, melainkan orang-orang lain juga. Makanya kita buat grup whatsapp itu", jelas Leah lagi.
Tanpa terasa, jalanan aspal telah mereka lalui, dan kini mereka telah berada di gudang penyimpanan. Yang mana disana juga ada kamar Dr. Ben.
Banyak tumpukan barang yang dibungkus dus-dus kecil hingga besar disana. Barang yang Beno bawa di trolinya harus dimasukkan ke sebuah mesin berjalan lalu masuk ke mesin pendeteksi dan kemudian disegel dan berakhir ke tempat penyortiran barang. Setiap dus sudah diberi nama tempat dimana dus itu harus disimpan.
Jika barang berisi penawar yang dibawa Beno dimasukkan ke mesin itu... Bisa-bisa.... Penawar itu dicurigai.
Tapi,, sebenarnya Andre sudah meminta Beno untuk menyegelnya dengan lakban khusus berlogokan huruf 'M' yang dibawa Leah saat membawa troli dan pakaian penyamaran. Sehingga Andre bisa langsung melewatkan penawar itu langsung ke tempat penyortiran tanpa melewati mesin pendeteksi.
Dan langsung saja, Andre membawa dus berukuran 40 cm x 40 cm x 20 cm itu ke tempat penyortiran. Sedangkan Beno dan Leah memasukkan dus-dus lain dari troli ke atas mesin berjalan itu.
Di tempat penyortiran ada dua petugas yang bertugas menyortir pastinya.
"Dimana benda-benda yang akan dibawa Kepala desa nantinya disimpan?",tanya Andre pada petugas itu.
Salah satu petugas pria menunjuk ke arah troli besar di sebelah kirinya. "Disini Pak",ucapnya.
Langsung saja Andre menyimpannya di atas susunan dus yang sudah tertumpuk disana. Tanpa rasa curiga pula, petugas itu tak terlalu banyak bicara, ia kelihatan sibuk dengan tugasnya. Jadi, ia tak terlalu peduli pada Andre.
Beno dan Leah sudah selesai dengan tugasnya, begitu juga dengan Andre, ia sudah menyimpan dus berisi penawaran itu di dalam troli berisi susunan dus yang akan dibawa pulang saat Kepala desa jika kemari.
Jadi, saat Kepala desa kemari untuk mengantar putrinya, Elia menikah dengan Max, Max berniat untuk memberi bingkisan pada Kepala desa saat ia pulang nantinya. Dan Max meminta Andre mengurus bingkisan itu. Nah, Andre juga menggunakan jasa petugas penyimpanan barang untuk bingkisan itu. Pantas saja petugas itu percaya begitu saja pada Andre. Karena mereka memang ditugaskan oleh Andre.
Selepas menyimpan penawar itu, Andre mendekat ke arah Beno dan Leah.
Sembari mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Beno dan Leah, Andre berkata, " Beres!!".
Beno dan Leah melihat ke arah Andre pula seraya tersenyum bersama ke arahnya. Selepas itu, mereka pun kembali ke tempat semula. Beno dan Leah ke tempat persembunyiannya. Sedangkan Andre ke ruangannya.
Saat mereka kembali masuk ke dalam bunker. Mereka melewati ruang pengendali dimana tadi Max ada disana. Tapi kini tak mereka dapati Max disana.
Ngomong-ngomong tentang ruang pengendali Max, seharusnya Beno juga bekerja disana. Tapi karena kejadian beberapa hari lalu dan itu menjadikan Beno buronan. Itu membuat Beno tak berani menginjakkan kakinya disana dengan wajah aslinya.
Untungnya, akses di ruang pengendali masih bisa dikendalikan Beno dari laptop milik Andre. Jadi, Max tak akan curiga padanya tentang ruang pengendali itu untuk sementara ini.
"Kemana Max?", tanya Andre kala ia melewati ruang pengendali.
"Kalian duluan saja. Aku akan mencari Max dulu", sambung Andre sambil naik ke ruangan Max. Sedangkan Beno dan Leah melanjutkan perjalanan mereka menuju Lab Dr. Ben.
Saat Andre naik ke ruangan Max, benar saja Max tak ada disana. "Kemana anak itu?", gumamnya.
Setelah mendapati Max tak ada di ruangannya, Andre segera turun ke ruang pengendali lagi. Kemudian masuk lift dan menuju ruangannya.
Tapi saat lift telah terhenti, dan pintunya telah terbuka, pikirannya berubah, dia memutuskan untuk istirahat saja di kamarnya, toh tugasnya saja sudah beres.
Kembali ia tekan tombol di dalam lift yang ditumpanginya menuju lantai paling bawah, dimana kamarnya itu berada.
Lelah melanda tubuh kekarnya. Kurang tidur yang menjadi penyebabnya. Kemarin ia habis-habisan bekerja untuk resepsi adiknya.
Lift berjalan ke bawah menuju lantai paling dasar di bunker itu. Tapi...
Tunggu...
Saat lift melewati lantai dimana lab Dr. Ben berada, Andre melihat ada banyak penjaga disana. 'Sedang apa mereka?', geretak hatinya.
Jangan-jangan...
Pikiran dalam otaknya terus berputar menerka-nerka apa yang sedang terjadi disana, sejalan dengan lift yang terus berjalan ke lantai paling dasar yang dituju Andre.
Tring..
Suara dari dalam lift saat pintunya terbuka. Membuat Andre tersadar dari lamunannya. Segera ia putuskan untuk kembali ke lantai dimana ia lihat banyak penjaga tengah berkumpul disana.
Tombol di dinding lift ia tekan kembali, menuju laboratorium para ilmuwan berada. Termasuk Lab Dr. Ben.
Hanya hitungan detik, lift itu kembali terhenti dan mengeluarkan bunyi 'tring' lalu diikuti dengan terbukanya pintu lift secara otomatis.
Andre melangkahkan kakinya keluar dari lift menuju kerumunan para penjaga. Tapi bukan hanya penjaga saja yang berkerumun disana, melainkan para pekerja juga.
'Ada apa ini?', Batin Andre semakin menjadi.
Andre segera menerobos kerumunan itu, sempat juga ia mendengar dari beberapa pekerja bahwa mereka mendengar bunyi tembakan dari lorong itu, mungkin itulah yang membuat mereka berkerumun.
Saat Andre berhasil menerobosnya, garis pembatas semacam garis kuning polisi terpasang diantara dinding jalan masuk lorong menuju lab Dr. Ben. Hanya orang-orang tertentu yang dibolehkan masuk. Dan tentu saja Andre diperbolehkan masuk, toh ia tangan kanan Max sekaligus kakaknya. Tapi sebelumnya, ia sempat bertanya pada penjaga yang berdiri di depan garis kuning itu.
"Apa yang terjadi?", tanya Andre.
"Tuan Max diserang oleh salah satu makhluk ganas disana. Tapi tenang saja, makhluk itu telah mati ditembak tadi", singkat penjaga itu.
Setelah mendengar itu dari penjaga, Andre segera masuk melewati garis kuning itu. Dan berjalan masuk ke dalam tempat kejadian yang merupakan lab Dr. Ben itu.
Dalam hatinya, ia juga khawatir akan Dr. Ben, Beno dan juga Leah. Mau apa Max kesana?, mungkinkah Max hendak memergoki mereka? Pikir Andre.
Untuk menjawab pertanyaan dalam pikirannya, ia pun kembali bertanya pada penjaga lain yang berjaga di dalam lab.
"Apa yang terjadi?", tanya Andre.
"Tadi Tuan Max diserang makhluk dibalik dinding kaca itu", jawab Penjaga berbadan tegap dihadapan Andre sambil menunjuk ke arah makhluk menyeramkan bergigi tajam yang terbaring tak berdaya di lantai.
"Kenapa? Lalu sekarang Max kemana?", tanya Andre lagi yang semakin penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.
"Saya kurang tahu pasti mengapa bisa terjadi seperti itu, tuan Max masih tak sadarkan diri setelah diserang makhluk itu. Tuan Max dibawa ke ruangan Prof. Wizly", jelas penjaga.
Andre berniat menemui Max di ruangan Prof. Wizly yang masih satu lantai dengan tempatnya berdiri kini. Tapi sebelum itu, ia berjalan semakin masuk ke lab itu. Tak ia temui tanda-tanda keberadaan Dr. Ben, Beno ataupun Leah. Jika mereka dipergoki Max, mungkin ada barang-barang mereka yang tertinggal. Tapi.. Tidak ada satupun barang milik mereka disini. Atau penjaga sudah mengamankannya? Apa Beno, Dr. Ben dan Leah telah diamankan penjaga juga?
Huh.. Masalah apa lagi ini?
Segera ia keluar dari lab itu, lalu menemui Max di ruangan Prof. Wizly.
Ckit...
Pintu ruangan Prof. Wizly dibuka Andre. Max terbaring lemas di atas ranjang. Luka bekas cakaran jari di pipi kanannya terlihat jelas dan sepertinya itu sakit meskipun nampak tipis. Wajah Max ternodai oleh luka itu.
Andre mendekat ke tempat Max berbaring. Menatap wajah Max dengan luka itu lebih jelas dan dekat. Matanya masih terpejam. Kulitnya nampak sedikit pucat. Luka itu sudah diobati dan mengering.
Andre menyentuh luka di pipi itu perlahan dan memandangnya tulus. "Max?", panggilnya dengan rasa kasihan yang masih tersisa di hatinya.
Tanpa ia sadari, air mata menetes melintasi pipi Andre. Ia berusaha menutupi tangisnya itu, ia menghapus air matanya.
Tapi air mata itu malah makin deras mengalir. Hingga tanpa disengaja air mata itu jatuh tepat di atas pipi Max yang terluka.
Seketika itu juga mata Max terbuka, seperti orang yang terlelap lalu dikejutkan hingga akhirnya terbangun atau semacam orang yang terbangun tiba-tiba dari mimpi buruknya.
"Max?", panggil Andre dengan raut wajah senang.
"A.. Andre?", jawabnya sambil menatap Andre. "Kenapa ada air di pipimu? Kau menangis?", lanjutnya.
Andre menyeka air mata itu dari pipinya. "Tidak.. ", ucap Andre yang berusaha menutupi rasa sedihnya tadi. Lalu ia tersenyum seusai menyekanya.
Max itu paling benci melihat orang yang disayangnya menangis. Sejak kecil ia tidak suka itu, dulu saat ia melihat Andre menangis, bukannya mencoba menghentikan Andre dari tangisnya, ia malah memarahinya. "Kak Andre! janganlah menangis! Aku benci itu! ", ucap Max kecil sambil menyeka air matanya yang malah ikutan keluar.
Memori itu terlintas seketika dalam benak Andre saat ia menyeka air matanya.
"Kau menangis?", tanya Max lagi.
Andre malah tersenyum dan terkekeh kecil sebelum berkata, "Tidak Max, kamu kenapa bisa seperti ini?".