" Leah!! Leah!", serunya pada wanita bermata sipit itu yang hendak masuk ke dalam lift.
Langkah Leah terhenti, kemudian berbalik ke arah suara yang memanggil namanya. Ia melihat Beno tengah berlari ke arahnya.
" Kalian mau kemana?", tanya Beno saat jaraknya dengan Leah kira-kira 50 cm.
" Kami mengikuti instruksimu", singkatnya.
" Kau kan yang memintaku untuk mengajak semua orang yang benci pada Max untuk pergi dari sini sebelum minggu ini", lanjutnya lagi.
"Hmm... Iya. Terima kasih telah membantuku", jawab Beno sambil memegang lengan Leah.
Leah menjawabnya dengan senyuman. Dan berjalan menuju lift meninggalkan Beno disana.
"Em... Leah!! Tunggu!!", seru Beno yang lagi-lagi menghentikan langkah Leah.
Beno kemudian semakin mendekat ke arah Leah.
"Em.. Hati-hati", ucap Beno agak gugup.
Ya! Beno menyukai Leah. Dia wanita pertama yang ia sukai setelah ibunya. Tapi Beno belum bisa mengungkapkan perasaannya itu. Ia pikir itu terlalu cepat.
Leah kembali menjawabnya dengan senyuman. Tapi setelah itu, dia berlari mendekap erat Beno. Sontak saja Beno terkejut. Leah tiba-tiba memeluk tubuhnya erat. Wanita yang ia sukai memeluknya? Ya, senang dan detak dag-dig-dug jantungnya tak karuan.
" Terima kasih telah membantuku keluar dari sini", ucap Leah saat memeluk Beno. "Kenapa jantungmu berdetak begitu cepat?", lanjut Leah yang merasakan detakan jantung Beno berdetak.
"Apa Max mengijinkan kalian pulang?", tanya Beno sambil melepas pelukan Leah dan mengalihkan pertanyaannya.
"Ya", jawab Leah sambil menganggukkan pelan kepalanya.
" Bagaimana?", tanya Beno penasaran.
" Yaa.. Aku bilang saja kami ingin pulang sejenak, lalu kembali lagi kemari. Dan acara pernikahan itu rencanamu?"
"Hmm.. Ya, itu rencanaku dan temanku juga. Harusnya kan kalian sibuk dengan acara itu", tegas Beno.
" Aduh Beno, aku dan teman-temanku itu hanya seperempat dari semua pekerja disini. Jadi jika kami pulang pun, disini masih banyak orang untuk membantunya", jelas Leah.
"Ya sudah, aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik ya", lanjutnya.
Beno melemparkan senyuman termanisnya pada wanita itu. Leah pun menjauh darinya, dan berjalan menuju lift.
"Leah!! Aku suka padamu", tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari mulut Beno. Lagi-lagi dan lagi, itu membuat langkah Leah terhenti dan berbalik ke arah Beno.
"Apa maksudmu?", tanya Leah.
" Hm... Aku hanya mengungkapkan perasaanku padamu. Aku takut, jika seandainya saat aku mengakhiri ini, aku mati, dan belum menyatakan perasaanku ini", jelas Beno.
" Beno, kamu itu pria hebat, kamu kuat, dan aku yakin, kamu pasti bisa mengakhiri ini", ucap Leah sambil memegang bahu Beno dan menatapnya.
"Terima kasih", jawab Beno sambil tersenyum.
Lalu Leah berkata, " Sudah! Jangan panggil-panggil aku lagi, aku mau...", tiba-tiba...
" Leah!! Ayo!!", teriak salah satu temannya membuat ucapan Leah terhenti.
Leah pun pergi dengan koper di kamarnya, lambaian tangan dan senyum manisnya akan selalu diingat Beno. Mungkin saja itu pertemuan terakhirnya dengan Leah.
" Selamat tinggal, Leah", gumam Beno. Lalu ia kembali ke lab Dr. Ben. Kembali memikirkan apa yang harus dijadikan sampel lagi saat ini sedangkan manusia abnormal satu-satunya itu sudah mati.
Beno kembali masuk ke lab itu. Berjalan menyusuri lorong selebar 1 meter. Dalam langkahnya, otaknya kembali mencerna apa yang telah dikatakan Leah.
'Aku dan teman-temanku itu hanya seperempat dari semua pekerja disini', gabungan kata-kata itu yang ada di dalam otak Beno.
'Jika mereka hanya seperempat, berarti masih banyak yang mendukung Max?', ucap Beno dalam hatinya.
Tapi ya sudahlah setidaknya Beno dan teman-temannya sudah berusaha membantu mereka keluar, dan mereka telah membantu menjalankan rencana Beno. Kini Beno kembali menemui Dr. Ben yang kini tengah memeriksa kembali penawar itu, barang kali ada sesuatu yang salah didalamnya.
Cklek...
Gagang Pintu diputar Beno sehingga membuatnya terbuka.
Sindiran Dr. Ben menyambut kedatangan Beno ke ruangan itu, "Bau-baunya ada yang jatuh cinta ini".
Mendengar sindiran itu, Beno agak sedikit malu, ini pertama kalinya ia jatuh cinta, "Apaan sih?", jawabnya.
"Gimana rasanya dipeluk wanita keturunan korea?", tanya sindiran lagi Dr. Ben.
Beno tak menjawab pertanyaan itu, ia pergi begitu saja menuju ruangan penyimpanan makhluk. Entah kenapa ruangan itu sedikit membuatnya tenang. Entah karena disitu hanya dihuni makhluk yang dikurung dan tak bergerak. Atau entahlah dia tak tahu. Yang pasti dia nyaman disana.
Dia masuk dan terduduk bersandar di tembok dekat salah satu lemari kaca. Matanya terpejam kelelahan. Memorinya dipenuhi oleh Leah. Saat dia memeluk Beno, saat dia menatapnya, dan saat Beno menyatakan perasaannya. Semoga saja ia bisa bertemu lagi dengan wanita itu.
Grasak... Grusuk.. Trukk.. Trukk..
" Suara apa itu?", tanya Beno yang saat itu terkejut seketika sambil melirik ke arah suara itu berasal.
Suara itu ada di sebelah kirinya, tepat di pojokan. Ada lemari kaca tapi terkurung kain hitam. Beno mendekat ke arahnya. Dan segera disingkapnya kain itu.
"Siapa kamu?", tanya Beno saat melihat ada manusia terkurung disana sedang mengetuk-ngetuk lemari itu. Sepertinya dia ingin keluar.
Segera Beno memanggil Dr. Ben, ia pikir Dr. Ben lebih tahu kejadian itu.
Tak lama kemudian, Dr. Ben datang, dan melihat ke arah pria yang terkurung itu. "Itu manusia abnormal!", serunya.
"Tapi.. Sejak kapan dia ada disini? Kemarin aku kemari tapi dia tak ada disini, bahkan kain penutup ini juga tak menutupi lemari ini", lanjutnya.
Dr. Ben segera mengeluarkan manusia abnormal itu dari lemari karena disana tak ada oksigen yang masuk, sepertinya dia hampir kehabisan napas.
Ia segera memasukkan manusia itu ke dalam ruangan kaca. Dan barulah disana manusia itu hanya duduk di kursi dan menundukkan kepalanya.
Dr. Ben dan Beno segera menyusul ke bagian luar ruangan itu. Dr. Ben mencoba lagi menyemprotkan gas penawar lewat lubang ventilasi.
Pyushh....
Asap tebal menutupi semua ruangan berdinding kaca.
Uhuk.. Uhuk..
Tiba-tiba suara batuk terdengar dari dalam ruangan kaca itu. Pasti dari manusia abnormal itu.
Dan saat asap tebal yang menyelimuti telah hilang, sesosok manusia abnormal itu mulai terlihat oleh Dr. Ben dan Beno. Dia terlihat sedang menutup hidungnya. Kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya saat asap itu hilang.
"Dimana aku?", teriak manusia itu dari dalam ruangan kaca.
"Dok.. Dokter... Kita berhasil!!", seru Beno.
Dr. Ben segera mendekat ke dalam ruangan kaca itu. "Kamu tenang saja, aku akan membantumu pulih", ucapnya.
Lalu, Dr. Ben segera masuk ke dalam ruangan kaca itu, diikuti oleh Beno.
Dr. Ben segera memeriksa keadaannya, detak jantungnya, nadinya, pernapasannya, tekanan darahnya, semua anggota tubuhnya, untuk memastikan manusia itu telah baik-baik saja.
"Dia sehat, Beno", ucap Dr. Ben senang.
Dr. Ben segera memeluk Beno, ia senang akhirnya mereka bisa berhasil menemukan penawarnya.
Kini, Dr. Ben tengah membuat penawar itu lebih banyak lagi untuk para manusia abnormal di desa.
"Aku harus memberitahu Andre!", ujar Beno.
Ia segera meraih ponsel yang tengah dicharger. Mencari nama Andre dalam kontak ponselnya. Ditekannya simbol telepon berwarna hijau diatas layar handphonennya.
Tutt... Tut...
"Kok gak diangkat sih?", ucapnya saat nada tutt..tutt..itu dari ponselnya.
Hingga ia pun memutuskan untuk menuju ke ruangannya Andre. Pasti ia ada disana, karena ini masih jam kerjanya.
Saat ia masuk ke dalam lift, Beno melihat Leah tengah kembali ke lantai bawah dengan lift lain, tapi dia tak membawa kopernya, ia hanya membawa selembar kertas di tangannya.
Lift itu transparan sehingga Beno bisa melihat Leah lewat dinding lift yang terbuat dari kaca.
"Leah? Dia mau kemana?", tanya Beno pada dirinya sendiri.
Matanya tak pernah berhenti memandang lift dimana Leah berada yang menuju ke lantai bawah. Sampai akhirnya lift yang ia pijak terhenti.
Tring..
Ia pun keluar dari sana, dan berjalan menuju ruangan Andre yang hanya tersekat oleh setengah dinding bata dan setengahnya lagi dinding kaca. Beno melihatnya tengah sibuk memasukkan data ke dalam komputer di hadapannya.
Beno semakin mendekat,, dan kemudian menyapanya.
"Hai, Dre!", sapa Beno.
Mata Andre yang tadi fokus pada layar dan kertas-kertas di tangannya, kini teralih pada wajah Beno yang tengah berdiri di ambang pintu ruangannya.
"Beno? Ngapain kamu disini? Kamu kan... Diincar Max", jawab Andre yang setengah terkejut melihat kedatangan Beno.
"Iya. Iya aku tahu, tapi dia sekarang lagi sibuk merencanakan pernikahan itu kan? Jadi, kamu gak usah khawatir", jelas Beno sambil berjalan masuk ke ruangan Andre, dan berdiri tepat di belakang kursi Andre.
"Kamu gak liat itu Ben?", tanya Andre sambil menunjuk salah satu tiang kolom di dekat lift.