Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 40 - Pembebasan Dr. Ben

Chapter 40 - Pembebasan Dr. Ben

Beno berjalan mencari Andre yang hilang dari ruangan itu. 'Kemana, ya, Andre?', tanya batin Beno.

Ia melangkah ke arah cermin. Terakhir kali ia melihat Andre, saat Andre melihat-lihat bagian dalam cermin yang merupakan ventilasi.

Sembari melangkah, ia terus memanggil-manggil nama Andre, " Dre? Andre? Kamu dimana?".

Suasana hening seketika kala itu. Hanya terdengar suara aliran deras sungai di samping bunker. Beno merasakan hal berbeda dari ruangan itu. Terkesan dingin. "Kok kayak angker gini ya?", tanya Beno pada dirinya sambil memegang tengkuknya.

Langkahnya terhenti di depan cermin yang masih terbuka. Nampak jelas besi melintang horizontal sepanjang 30 cm, berjarak 30 cm juga dengan besi diatasnya. Gelap sepertinya di dalam sana. Hanya cahaya bulan menembus yang ada disana.

" Dre?", panggil Beno yang kemudian mengelukan kepalanya masuk ke balik cermin itu hendak melihat Andre. Saat ia mendongakkan kepalanya ke atas.

"Aaaaa.!!!", teriak Beno saat ia terkejut melihat wajah Andre dengan bola matanya yang melotot.

Andre hanya tertawa sembari menuruni tangga di ventilasi itu. Kemudian menutup ruang ventilasi itu dengan cermin dan kembali masuk ke kamarnya lagi.

"Kamu kenapa, Ben?", ejeknya.

" Kenapa, kenapa..kaget tau! ", jawab Beno yang kemudian duduk di kasur nyaman. " Aku nyari kamu tadi. Aku mau tunjukin kalo burung ini udah gak bisa ngejar kita lagi, hebat kan?", jelasnya.

Burung itu masih tergeletak lemah. Tapi Andre percaya apa yang dikatakan Beno. Ia beruntung bisa bertemu dan bersahabat dengan Beno. "Woww!! Bagus!", pujinya.

Saat Beno masih menatap burung robot itu, dan Andre masih terkagum-kagum dengan hasil modifikasi Beno, tiba-tiba burung itu mengepakkan sayapnya lemah. Ia mulai terbangun. Burung itu terlihat menatap Beno yang juga menatapnya. Seketika itu juga burung itu terbang menjauh dari sana. Ia mencoba mencari jalan keluar. Berputar-putar di langit-langit kamar itu.

Andre membuka pintu agar burung itu bisa keluar dari kamarnya. Andre keheranan tentang apa yang sudah Beno lakukan pada burung itu. " Ben, kok bisa gitu ya?", tanyanya.

" Ya iyalah. Kan udah aku bilang, dia gak akan ngikutin kita lagi. Dia bakal ngejauh kalau ada kita, kira-kira radius 500 meter, baru dia gak bakal kabur kalo liat kita", jelas Beno.

" Tapi kan merpati itu bukan cuma satu? Gimana yang lainnya? Gimana kalau yang lainnya masih tetap mengikuti kita?", tanya Andre kahawatir.

Beno tersenyum tenang kemudian menjawab, "Gak bakal Dre. Merpati satu dengan lainnya saling terhubung". "Saat aku menghapus memori tentang wajahku dan kau di otaknya, saat itu pula otaknya tak akan merespon bila disuruh untuk mendekati kita. Awalnya ingatannya di setting dengan menyimpan data-data kita. Jadi saat Max memintanya ' ikuti mereka!', kata 'mereka' yang dimaksud adalah kita. Merpati itu akan mengikuti kita", jelasnya lagi.

Andre mengangguk pelan. Ia percaya pada Beno. Kalau begitu, karena situasi sudah mulai aman. Mereka hendak melangsungkan rencana yang telah mereka siapkan. Mulai malam ini akan mereka laksanakan. Semoga saja bisa lancar dan terselesaikan.

Keesokan harinya. Andre dan Beno bekerja kembali. Berjalan santai tanpa beban. Raut wajah yang ceria terlukis. Menuju ruangnya masing-masing. Tak nampak sama sekali merpati itu. Yang biasanya bertengger di atas rak buku Andre, kini tak ada.

Mereka sengaja datang lebih awal dari biasanya. Beno akan mencabut lebih dahulu alatnya yang dipasang di rak milik Max saat ia pura-pura hendak terjatuh. Saat itu pula ia menempelkan semacam kamera kecil sekali ukurannya di rak itu.

Trap..trap..trap..pijakan kaki Beno terdengar, memang tidak terlalu keras. Namun di ruangan yang masih hening itu cukup terdengar. Ditambah Tangga yang terbuat dari besi juga mempengaruhi bunyi itu.

Dengan hati-hati ia memijaknya. Sampai akhirnya ia pun tiba di tempatnya Max bekerja. Dengan segera ia mencabut alat miliknya itu, kalau tidak dicabut, takut-takut Max curiga. Krak..alat itu tercabut dari rak buku di belakang kursi Max. Ia pun lekas berbalik sebelum ada orang melihatnya.

Ia berjalan menuruni tangga, dan ia melihat Max hendak masuk ke ruangan itu, karena pintu yang terbuat dari kaca. Beno tetap berjalan pelan. Karena jika ia berlari, bisa-bisa ia dicurigai.

Max masuk ke ruangan itu lewat pintu kaca tadi. Beno masih berjalan perlahan sambil menunduk. Tiba-tiba saja Max disapa oleh salah satu karyawan yang tengah berjalan di belakangnya. Max pun berbalik. Dan menghentikan langkahnya. Sedangkan Beno, ia berjalan cepat menuju mejanya kembali.

'Ahh..syukurlah . Semoga dia tak curiga', cakap batinnya.

Tapi baru saja Beno duduk, Max datang secara tiba-tiba ke mejanya. " Kamu dari mejaku tadi? Mau apa?", gelagat Max mulai curiga.

Beno bingung, jawaban apa yang harus ia berikan pada Max kala itu. Hingga akhirnya, ia pun menjawab pertanyaan Max, " Aku tadi mau menemuimu. Aku pikir kamu ada di mejamu. Tapi karena tidak ada, yaa aku balik lagi".

" Ya udah, sekarang aku ada. Kamu mau apa?", tanya Max lagi yang semakin memojokkan Beno.

" Aku mau memberikan sebuah usulan padamu", singkat Beno.

Max mengernyitkan dahinya tanda ia penasaran apa yang hendak Beno usulkan.

" Aku ingin membantumu menghancurkan desa itu. Tapi aku butuh bantuan Dr. Ben", ucap Beno.

Mendengar nama Dr. Ben, Max langsung nyahut dengan nada tinggi, " Untuk apa?".

" Tenang dulu, Max. Kau ingin menghancurkan desa itu kan?. Aku pernah mendengar alasan kamu mengubah warga-warga desa itu dari Andre", tangkas Beno.

" Apa katanya?", tanya Max yang mulai terpancing emosinya pada Beno.

Beno dengan tenang menjawab, " Karena kamu ingin menjadi kepala desa itu kan? Tapi karena kamu kalah, kamu menghancurkan desa itu".

Max tersenyum dan mengangkat sebelah bibirnya sebelum kemudian berkata, " Bukan itu alasan aslinya. Aku tak pernah tahu apapun tentang desa itu sebelumnya. Mereka meninggalkanku waktu aku kecil. Aku hanya balas dendam pada mereka". Max menghela napasnya kemudian bercerita kembali pada Beno,

"Dan setelah aku sudah besar, aku mendengar kalau mereka tinggal di desa itu".

" Mereka? Siapa?", tanya Beno penasaran.

" Andre dan kedua orang tua angkatku", jawab Max.

" Ah..sudahlah . Kenapa aku malah cerita ini? Oke. Jadi apa rencanamu? Kenapa kamu mau menghancurkan desa itu juga?", tanya Max.

Beno terdiam seketika, mencari-cari jawaban apa yang ia akan lontarkan pada Max supaya dia percaya padanya. " Hmm..Desa itu membuatku terpisah dari orang tuaku. Memang sebelumnya aku kesal pada orang tuaku, tapi tetap saja mereka itu orang yang sayang padaku dengan tulus, aku tak mau terpisah dengan mereka". " Manusia pembunuh bergigi tajam di hutan bubu itu buatanmu dan Dr. Ben kan? Aku butuh bantuan Dr. Ben untuk membuat kembali makhluk itu dari para warga desa, yang mana makhluk itu bisa kau gunakan jadi pasukanmu", lanjutnya.

Max hanya diam, dalam diamnya ia berpikir, ' Boleh juga nih, tapi...'. Kemudian ia berkata," Akan kucoba pertimbangkan idemu". Setelah itu ia pergi meninggalkan meja Beno.

Dalam langkah menuju mejanya, Max mengeluarkan ponsel dari saku kanan celananya. Menelpon seseorang dalam kontak ponselnya.

Tutt..

Berdering..

00:01

" Halo! Dan! Bebaskan Ben malam nanti, suruh dia bersiap sebelum jam 7 malam", tegas Max pada seseorang yang tadi ditelponnya.