Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 38 - Tempat Bising

Chapter 38 - Tempat Bising

Ckitt...

Bunyi rem di pijakan Andre terdengar begitu melengking. Hampir saja mereka tergelincir ke jurang yang ada di hadapan mereka.

"Uh..hampir saja", ucap Beno sambil mengatur napasnya, jantungnya dibuat berdebar kencang oleh Andre.

"Tadi kan kamu nyuruh buat ngebut", timpal Andre yang kelihatannya tenang-tenang saja.

Mobil pun kembali dilajukan. Menuju tempat dengan kebisingan mesin-mesin besar yang dimaksud. Setelah beberapa menit kemudian, mobil terhenti di area parker khusus yang cukup jauh dari bangunan itu. Mereka pun telah sampai. Tempat itu benar-benar bising.

Masuklah mereka ke area pekerjaan konstruksi bangunan yang akan jadi bunker kedua milik Max. Ramai sekali keadaan disana. Bukan seperti di pasar yang ramai dengan tawar-menawar, disini bising oelh mesin-mesin besar, seperti mesin bor yang ukurannya raksasa, hantaman-hantaman benda keras yang saling berbentur, semua suara mesin lainnya yang saling bertimpal.

Mereka disambut hangat oleh para pekerja disana setelah tahu Andre itu kakak dari seorang Max.

"Ada yang bisa kami bantu Pak?", tanya pengawas disana.

"Hmmm kami hanya sedang melihat-lihat, jenuh rasanya berada di dalam ruangan terus", ujar Beno.

Lantas mereka pun diberi helm pengaman dan earplug untuk mengurangi kebisingan yang menusuk telinga mereka. Alat penlindung itu diberikan oleh pengawas yang sepertinya masih banyak pekerjaan yang dikejar waktu disana.

"Jika saya tinggal bukan suatu masalah kan, Pak?", izin pengawas itu saat ia harus benar-benar meninggalkan Andre dan Beno di tempat itu.

"Oh.. Tentu , tak apa, lanjutkan saja pekerjaanmu".

Pengawas itupun pergi menjauh dari Andre dan Beno yang sudah mulai berjalan meliak-liuk layaknya pengawas pekerjaan konstruksi disana lengkap dengan helm pelindung berwarna orange.

"Kenapa kamu ngajak aku kesini?", tanya Andre pada Beno.

Beno sepertinya tak mendengar apa yang diucapkan Andre, hingga Beno tak berkutik. Andre mencoba mengulangi pertanyaannya namun dengan suara yang lebih keras dan menghadapkan wajahnya pada Beno. Beno yang tadinya melirik kesana kemari, menjadi mengalihkan pandangannya ke arah Andre setelah Andre berbuat demikian.

" Hm? Apa?", tanya Beno.

Andre pun mengulangi apa yang tadi ia ucapkan pada Beno agak keras, "Kenapa kamu ngajak aku kesini?". Diikuti dengan dan bahasa tangan.

Beno mengerti apa yang diucapkan Andre lewat gerak bibirnya yang sangat mudah dimengerti. Tapi sebelum Beno berbicara untuk menjawab pertanyaan Andre, ia mengajaknya ke tempat yang lebih teduh namun masih bising, mengingat matahari sudah benar-benar terik dan burung itu masih saja mengikuti mereka. Mata Beno selalu awas pada burung menyebalkan itu.

Beno memberi Andre earphone kecil untuk menggantikan sebelah earplug yang tadi dipakai. Earphone itu tampak mirip dengan earplugnya. Earphone itu tersambung pada Bluetooth di handphone mereka masing-masing. Yang kemudian handphone mereka saling tersambung lewat telepon dari Beno.

" Oh iya, jadi gini, aku mau cerita" , lanjut Beno saat kembali teringat apa tujuannya mengajak Andre kemari.

" Cerita apa?", tanya Andre penasaran.

Beno melirik ke segala arah. Memastikan tak ada orang lain yang mendengar, ataupun merpati pengintai itu disini.

"Dre! Merpati itu harus kita bedah, tapi sepertinya Max benar-benar tak mengetahuinya. Jadi itu sepertinya bukan milik Max", jelas Beno.

" Terus? Apa merpati itu dilatih kah? Atau bagaimana?", tanya Andre.

" Aku menemukan angka ' 3204' itu lagi dibalik sayapnya. Dan kau bilang Max lah pemilik angka itu", terang Beno lagi.

Andre semakin terpancing hingga mencurahkan banyak pertanyaan pada Beno. " Jadi maksudmu, Max yang sengaja mengirimnya untuk kita?"

"Bukan, bukan seperti itu. Kau pernah bilang kan padaku, kalau angka itu kau juga temukan pada earphone milik Max yang tersambung dengan kalungmu kurasa", timpal Beno menjelaskan.

"Lalu? Siapa pemilik merpati itu?", tanya Andre yang sudah benar-benar ingin mendengar jawaban Beno.

"Aku kurang tahu siapa pemilik merpati itu, tapi sepertinya bukan Max, karena dia tidak tahu, benar-benar tidak tahu tentang merpati itu", jelas Beno.

Mereka terdiam beberapa saat, mencoba menerka lagi apa yang sebenarnya terjadi, Beno mengalihkan pandangannya ke arah pembangunan konstruksi di sekitar.

"Apa Max membeli benda-benda canggih semacam itu dari sebuah perusahaan lain atau siapapun yang berkaitan dengan angka itu?", tanya Beno menyela kebisingan disana.

Andre terdiam mendengar jawaban dari Beno. " Bisa jadi juga", ucapnya. " Tapi kalau begitu, Max juga tahu dan otomatis dia yang merencanakan itu, kalau misalkan seperti itu sih ", lanjut Andre lagi sambil menatap Beno.

" Sepertinya begitu. Dia yang merencanakan itu, tapi dilihat dari raut wajahnya, dia itu sepertinya tidak sedang berbohong", ucap Beno.

" Jadi apa yang harus kita lakukan selanjutnya?", tanya Andre pada Beno yang mulai nampak sedang berpikir.

Beno masih berpikir tentang rencana apa yang akan dibuat. Ia kembali menatap mesin-mesin besar dan juga bising. Ia juga mencoba mencari burung menyebalkan itu yang sudah hilang dari pandangannya sejak ia berbincang dengan Andre.

Dan..

" Dre! Burung itu ada disini!", ucap Beno dengan nada berbisik yang kemudian menghadapkan wajahnya ke arah Andre.

Lalu Andre menatap Beno dengan penuh kekhawatiran dan menjawab dengan nada lirih pula, "Mana?".

Beno hanya memberikan isyarat menggunakan bola matanya yang diarahkan ke atas. Saat itu juga Andre melirik ke arah yang dimaksud Beno. Dan benar saja burung itu ada disana. Tepat di belakang mereka berdiri. Bertengger pada rangka atap canopy tempat mereka berteduh dari terik matahari.

" Tetap tenang, minum dulu, pura-pura tak membicarakan hal serius, tertawalah", perintah Andre.

Andre mengambil botol air mineral pemberian pengawas tadi sebelum ia pergi. Ia berpura-pura berbicara pada Beno, tertawa, menunjuk kesana-kemari seolah-olah sedang mengawasi bangunan itu. Beno pun melakukan hal yang sama. Mereka tampak santai kali ini. Di saat santainya mereka berbincang. Mereka juga menyempatkan untuk membicarakan rencananya.

Di sisi lain, Max terus mengawasi mereka lewat merpati itu. Tapi sayangnya, Max tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Suara musik bising yang hanya bisa ia dengar dari merpati itu.

" Sial!! Mereka sepertinya sengaja pergi kesana!", gerutu Max.

Lalu ia memerintahkan merpati itu agar lebih dekat pada Beno atau Andre. Lantas merpati itu tiba-tiba datang bertengger di tangan Andre.

Sontak saja, Andre terkejut," Aaaa!! Kenapa burung ini? Membuatku terkejut saja". " Ternyata kamu merpati", lanjutnya lagi setelah tahu kalau itu hanya seekor merpati menyebalkan itu.

" Ayo, Dre kita pulang", ajak Beno saat ia rasa burung itu benar-benar kiriman Max yang sengaja bertengger manja di jari Andre.

Beno segera berdiri. Andre menghabiskan minumannya terlebih dahulu sebelum beranjak. Beno berjalan terlebih dahulu kemudian meremas kemasan air mineral yang tadi diminumnya sebelum dibuang ke tempat sampah berwarna hijau besar disekitar pembangunan bunker kedua itu. Diikuti Andre di belakangnya menenteng merpati pengawas di jarinya.

" Burung siapa sih ini? Kayaknya gak mau jauh dari aku", ucap Andre yang pura-pura mengajak bermain Merpati itu sambil terus berjalan menuju mobil.

"Kamu bisa bawa mobil gak, Ben?", tanya Andre.

Beno menganggukkan kepalanya. Ia memang pandai mengendarai mobil. Namun, karena ia tak punya mobil, jadi mungkin ia akan canggung, baru mengendarai mobil lagi.

Kunci mobil dilempar Andre ke arah Beno. Beno menangkapnya. Dan segera masuk ke dalam mobil yang terparkir.

Mereka sudah siap di dalam mobil sport mewah itu. Beno pengemudi dan Andre disampingnya. Perlahan Beno nyalakan mesin mobil. Dan..broomm..gas dipijaknya. Lihai sekali ia mengoper gigi. Menginjak rem, gas dan kopling. Mengemudikan kemudi. Uuhh..lihai sekali bagai pembalap.

Dan akhirnya, ckit...kembali mobil sport itu terparkir rapi kembali bersama deretan mobil mewah lain di garasi bunker. Lalu mereka keluar dari mobil. Dan kemudian mereka berjalan masuk ke bunker kembali.

Saat mereka asyik berjalan melangkahkan kakinya menuju bunker, merpati di tangan Andre tiba-tiba terbang meninggalkan mereka berdua. Andre kaget. Tapi yaa...tak apalah, mereka bisa bebas kembali berbicara perihal rencana meski sekejap.

" Syukurlah dia pergi. Dre kamu tahu dimana kita bisa aman membicarakan rencana kita?", tanya Beno.

" Hmm..dimana ya? Sepertinya kita butuh bantuan Dr. Ben. Dia yang tahu seluk beluk tempat ini. Aku akan coba rayu Max untuk bebaskan Dr. Ben", usul Andre.

Pintu besar yang terbuat dari kaca telah terpampang di depan mata. Pintu besar itu adalah pintu masuk utama bunker. Banyak penjaga berderet disana. Andre dan Beno melangkah santai melewati para penjaga itu.

Saat mereka masuk, Wajah Max menyambut mereka. Tepat di depan mereka kini. " Kalian darimana?", tanya Max. Sepertinya ia akan menginterogasi Andre dan Beno.

Beno dan Andre berusaha tetap tenang. "Kami bosan didalam sini. Kami habis pergi dari proyek bunker keduamu di sana", jawab Andre dengan santainya sambil menunjuk ke arah proyek itu.

"Proyek itu sungguh-sungguh luar biasa, Max. Aku bangga jadi kakakmu, puji Andre sambil merangkul pundaknya".

" Kenapa kalian tak bicara dulu padaku?", tanya Max kembali.

" Ya elah Max, aku ini kakakmu. Masa aku harus lapor sama kamu kemana pun aku pergi. Lagian tugas kami sudah selesai", jelas Andre.

Max mencoba menjelaskan alasannya menginterogasi mereka, " Bukan seperti itu..".

Tapi Andre segera memotongnya, " Terus apa? Karena ini bunker milikmu? Karena kamu berkuasa disini?".

" Bukan.. Kenapa kalian gak bilang kalau mau ke proyek itu, kan aku mau ikut!! ", cetus Max yang diikuti suara lagak tawa yang cukup keras namun elegan.

Andre dan Beno pun ikut tertawa. "Ya ampun, Max", kata Andre. Mereka pun melangkah masuk ke dalam bersama dengan rangkulan Andre masih di atas bahu Max.