Maya duduk di balkon kamarnya sambil memikirkan bagaimana nasibnya mulai besok.
"Astaga... Aku bahkan tidak berani membayangkan wajahnya." Ucap Maya ketika ingatannya muncul akan wanita yang ditemuinya siang tadi.
"Memangnya apa yang salah dengan diriku?" Tanya Maya pada dirinya sendiri. Ia merasa dirinya sudah cukup baik selama ini.
Ia kemudian kembali memasuki kamarnya dan berjalan menuju cermin besar disudut kamarnya.
Maya kemudian memutar tubuhnya yang memakai gaun tidur dibawah lutut berwarna coklat susu.
Ada beberapa noda bekas jerawat diwajahnya dan pori-porinya memang terlihat besar jika diperhatikan dari dekat. Kulitnya juga sedikit gelap dan belang karena ia sering berjemur ketika berjualan. Jika dilihat dari keseluruhan dia memang seorang upik abu yang memakai baju bagus.
Tapi, jika saja...
Maya membuang pikiran yang baru saja menghinggapinya. Pikiran jika saja kedua orang tuanya masih hidup akankah penampilannya sama seperti ini?
Bahkan Kania yang dulu terlihat biasa saja kini terlihat bagai bangsawan.
Tapi meskipun Maya mencoba berhenti memikirkannya pertanyaan besar selalu saja mengusiknya.
Mungkinkah jika ibunya menggelapkan uang perusahaan? perusahaan yang bahkan miliknya. Pertanyaan itu muncul setelah Maya perlahan tumbuh dewasa dan itulah yang akhirnya membawanya kembali ke Jakarta untuk menemukan jawaban yang sebenarnya.
"Maya.."
"Maya.." Marve memanggil-manggil Maya tapi Maya tidak menghiraukannya, membuat Marve mengira jika Maya marah padanya.
"Kamu marah padaku?" Marve bertanya setelah berada dihadapan Maya membuat Maya tersadar akan lamunanya.
"Ada apa?" Tanya Maya bingung.
"Ada yang mengusik pikiranmu?" Tanya Marve.
Maya kemudian tersenyum dan mengalungkan tangannya dipinggang kekar Marve. "Aku hanya merindukan adik dan bibiku.." Jawab Maya, ia tidak sepenuhnya berbohong karena ia memang merindukan keluarganya saat ini.
"Kamu ingin aku membawa mereka tinggal disini?"
"Tidak perlu.. kita tidak akan menikah selamanya Marve. Aku tidak ingin keluargaku nanti menjadi kecewa saat kita berpisah."
Marve mengerti akan hal itu, gadis dihadapannya ini begitu memikirkan keluarganya sedangkan dirinya selalu bertentangan dengan keluarganya.
Mereka berdua bertolak belakang.
"Kita akan mengunjunginya nanti.. Setiap kali kamu mendapat nilai yang bagus maka setiap itulah aku akan membawamu pulang menemui keluargamu. Bagaimana?"
"Wah.. Kamu kejam sekali." Protes Maya, kini ia melepaskan tangangnya dari pinggang Marve dan merebahkan tubuhnya diatas kasur. "Aku diajarkan menjadi seseorang yang pamrih. Aku tidak bisa memberikan kebaikan begitu saja tanpa sebuah imbalan yang menguntungkanku." ucap Marve, ia kini berbaring disebelah Maya dan menatapnya.
Maya kemudian berbalik menghadap Marve dan memperhatikan garis sempurna wajah Marve. "Jadi kamu tidak mengenal kata beramal?"
"Aku memberi tunjangan anak panti asuhan apa itu disebut amal? sebenarnya aku hanya membalas panti asuhan itu karena telah merawat ibuku sejak kecil hingga dewasa. Aku menyebutnya selama ini dengan balas budi." Jelas Marve.
"Begitu rupanya.. terkadang kamu harus memberi tanpa mengharapkan imbalan. menjadi ikhlas dan berbagi kepada yang membutuhkan itu tidak akan membuatmu jatuh miskin Marve." Ucap Maya menasehati suaminya, ia bermain-main dengan baju tidur Marve sambil tersenyum menggoda "Terutama pada gadis yatim piyatu sepertiku... Kamu harus lebih bermurah hati padaku." Lanjut Maya menggoda.
Marve baru saja terharu dengan kalimat bijaksana yang diucapkan Maya tapi diakhir kalimat itu Maya membuatnya jengkel karena ia memiliki maksud tersendiri.
"Astaga.. aku hampir termakan omonganmu, kamu ingin memerasku heuh?" Marve mengelitiki perut Maya kini membuatnya menggelinjang karena rasa geli.
"Hentikan Marve.. itu geli." pekik Maya yang tidak berhenti tertawa begitupun dengan Marve yang tertawa girang karena berhasil menyiksa Maya.
Dibalik ruangan Dewi menguping dan tersenyum bahagia karena Marve kini telah kembali menghangat meskipun hanya dengan istrinya.
Maya mengatur nafasnya yang terengah saat Marve berhenti menggelitikinya dan meraih sesuatu dilaci tempat tidurnya.
"Anggap saja aku memberi santunan untukmu..." Marve memberikan sebuah buku tabungan dengan kartu berwarna hitam dan kuning emas.
"Pakailah sesukamu.. kamu dapat membeli apapun dengan ini." Jelas Marve.
"Wah aku sangat beruntung.. suamiku memang yang terbaik." Ucap Maya senang meski ia hanya pura-pura karena Marve sudah memberi padanya terlalu banyak. Diberi makan dan pakaian bagus saja ia sudah sangat bersyukur.
"Aku menyebutnya sebagai nafkah yang diberikan suamiku padaku." lanjut Maya, ia menerima kartu pemberian Marve dan menyimpannya disisi tempat tidurnya.
"PINnya dua digit terakhir angka pernikahan kita." Jelas Marve, Maya kemudian merasa sedih saat mengingat pernikahaan ini memiliki batas waktu. Ia takut terbuai dan mungkin akan jatuh cinta dengan Marve jadi Maya memutuskan untuk menyimpannya saja dan tidak mempergunakannya.
"Terima kasih Marve.." Ucap Maya dengan tulus tersenyum.
"Sudah kewajibanku sebagai suamimu." Sahut Marve ia mengusap lembut rambut Maya sambil tersenyum.
"Tapi jangan menggunakan kartu-kartu itu saat bersama dengan Vero karena aku telah memberikannya sebuah kartu untuk mengurus semua kebutuhanmu yang diperlukan nanti."
"Baik yang mulia.." Goda Maya.
"Tidurlah, atau kamu ingin tidur disini sambil memelukku seperti semalam?" Ucap Marve menggoda karena tadi pagi Marve mendapati dirinya terbangun sambil memeluk Maya yang masih terlelap.
"Tidak terima kasih.." Jawab Maya cepat, ia kemudian mengeluarkan tempat tidur dibawah tempat tidur Marve menggunakan remot dan segera masuk keadalam selimut sambil memejamkan matanya agar Marve tidak mengganggunya lagi.
Entah mengapa tidak seperti semalam kali ini Marve dan Maya merasa gugup terlebih saat lampu telah dimatikan.
Rasa canggung kini menghinggapi mereka berdua. Meskipun mereka berada diatas kasur yang berbeda tapi mereka menatap langit-langit yang sama didalam kamar yang sama.
Dua orang dewasa berada disatu kamar dengan perasaan berdebar. "Kamu sudah tidur?" Tanya Marve penasaran.
"Sudah.." Jawab Maya ketus. Marve melirik kesal kini, ia hanya bertanya dan ia menjawab dengan sangat ketus. Begitukah sikap seorang istri setelah diberi uang jajan tanpa batas?
"Mengapa menjawab jika sudah tidur?"
"Agar kamu tidak bertanya lagi.."
"Tapi kamu menjawab lagi.."
"Karena kamu bertanya bodoh!"
"Siapa suruh menjawab, lebih bodoh!"
"Hei.. jangan mengolokku.." ancam Maya geram.
"Kamu yang mulai." Ucap Marve kesal.
Maya kemudian beranjak bangun dan melempar bantalnya tepat mengenai wajah Marve, membuat Marve tidak terima dan akhirnya turun ketempat tidur Maya.
Ia menggendongnya dan kemudian meletakannya diluar balkon.
"Marve turunkan aku.."
"Tidurlah yang tenang disini.." Ucap Marve setelah meninggalkan Maya diatas balkon dan menutup pintunya rapat.
"Marve gilaa.." Teriak Maya saat berlari mengejar Marve yang telah meninggalkannya di atas balkon.
...
Pagi yang tidak dinanti akhirnya tiba, Maya tiba-tiba saja menjadi sulit tersenyum saat ia harus mengikuti Veronica memasuki mobil yang telah disiapkan.
Dari balik kaca mobil yang terbuka Maya memasang wajah cemberut tapi Marve nampak kegirangan sambil melambaikan tangannya.
"Bersenang-senanglah sayang.. Aku akan merindukanmu." Ucap Marve sedikit berteriak, Maya tidak membalas dan hanya tersenyum kecut saat mobil mulai berjalan keluar dari halaman rumah Marve.
"Mau kemana kita mba?" Tanya Maya hati-hati Veronica lantas menoleh dan berkata "Jangan memanggil saya dengan sebutan mba. panggil saja Vero."
"Baiklah.."
Maya tidak berani lagi bertanya, karena Veronica memiliki aura yang memuatnya merasa tertindas meskipun Veronica tidak bermaksud begitu. Ia merasa bersalah karena mungkin sikapnya terlalu dingin pada Maya "Kita akan ketempat dimana semua wanita memimpikannya." Ucapnya.
"Tempan impian wanita?" Maya bertanya-tanya tapi ia tidak berani bertanya secara langsung dan hanya memenďamnya dalam hati.
...
Kini Maya dan Veronika telah tiba disebuah salon kecantikan yang mewah dimana ada beberapa wanita kelas atas sedang melakukan perawatan kecantikan.
Setelah bertemu dengan resepsionis, Veronica segera membawa Maya kelantai atas dimana ia akan melakukan perwatan tubuh lebih dahulu.
"Silahkan ganti pakaiannya."
Maya mengikuti setiap arahan karena ia masih merasa sangat asing dengan semua ini.
***
"Apa kamu ingin membunuhku?" Maya berteriak pada Marve setelah pulang dari salon kecantikan, ia segera mencari dimana Marve berada yaitu dikamarnya, ini sudah jam setengah tujuh malam dan Maya baru kembali dari salon kecantikan itu.
Marve tidak lantas menjawab pertanyaan Maya, ia memperhatikan dibalik kaca mata bacanya. Benarkah ini Maya istrinya?
Dengan rasa penasaran ia melihat Maya dari ujung kaki hingga kepala. Rambutnya telah dipotong hingga sebahu, wajahnya menjadi cerah, alisnyapun menjadi rapih dan kulitnya lebih mulus layaknya seorang wanita bangsawan.
"Marven.. aku sedang bicara padamu." Protes Maya geram, Marve akhirnya tersadar jika ia baru saja terpesona oleh Maya.
"Uang memang bisa melakukan segalanya." Ucap Marve tersenyum. Maya tidak terima dengan ucapan Marve kali ini. "Uangmu membunuhku Marve." Pekik Maya geram.
Ia kemudian duduk di tepi ranjang tanpa mau menoleh pada Marve.
"Ada apa?" Tanya Marve, ia berjongkok dan menatap wajah cantik Maya.
"Kamu tahu apa yang uangmu lakukan padaku? mereka menyiksaku."
Maya menceritakan semua yang dialaminya saat ia pergi kesalon kecantikan dengan Veronica.
Ia harus melakukan wexing di hampir seluruh tubuhnya, dan harus menggunakan perawatan laser diwajahnya yang membuatnya sangat tersiksa dengan rasa terbakar meskipun hasilnya kini Maya terlihat seperti seorang bidadari.
"Mereka mencabutnya, seakan bulu dikakiku ini bulu ayam, dan mereka bahkan membakar wajahku." cerita Maya, ia sangat kesal atas apa yang baru saja dialaminya saat melakukan perawatan kecantikan.
"Tapi lihatlah dirimu sekarang, kamu sangat cantik." Ucap Marve menenangkan. Maya sedikit tersipu saat Marve mengatakan jika dirinya cantik.
"Tapi kecantikanku palsu.." Marve tidak mengerti dengan ucapan Maya, "Maksudku, jika bukan karena perawatan menyiksa itu, aku tidak akan secantik yang kamu katakan." Ucap Maya.
Marve tersenyum, ia kemudian meraih setangkai mawar yang ada didalam Vas bunga dan memberikannya pada Maya.
"Manusia itu seperti bunga mawar, jika ia tidak dirawat dan disiram maka akan menjadi layu atau bahkan menjadi kering begitu juga dengan manusia jika dibiarkan begitu saja maka kulitnya akan menjadi berminyak dan kotor itu akan menutupi kecantikan alami manusia, durinya seperti sifat buruk manusia. Jika tidak dibuang maka akan menyakiti orang lain. Jadi jangan merasa malu tapi kamu harus bersyukur karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melakukan perawatan kecantikan yang tentunya mahal." Jelas Marve menasehati, Maya mendengarkannya dengan seksama dan yang dibicaran Marve memang benar adanya meskipun Marve masih sempat menyombongkan diri.
"Kamu bijaksana juga, sedikit..." Puji Maya malu-malu, Marve berusaha menutupi rasa tersipunya karena Maya memujinya ia kemudian bicara dengan lantang dan bangga "Tentu saja, aku adalah pewaris takhta grup Cakra."
"Ya..ya baiklah yang mulia pangeran putra mahkota." Balas Maya menggoda membuat Marve tertawa.
...