Chereads / Main Love / Chapter 14 - Rasa sakit dan tidak ingin berjauhan

Chapter 14 - Rasa sakit dan tidak ingin berjauhan

Andre memperhatikan langkah Maya yang perlahan menjauh dan menghilang dari pandangannya.

Banyak orang mengatakan jika di dunia ini kita memiliki tujuh orang yang memiliki wajah yang sama dengan kita tapi mungkinkah gadis itu hanya kebetulan mirip?

Bahkan nama merekapun sama yaitu Maya, sebuah pertanyaan mengusiknya dan bahkan membangkitkan luka lamanya. Kenangan akan Maya sahabat kecilnya yang meninggal sehari setelah kepergiannya ke Amerika untuk ikut bersama ibunya karena kedua orangtuanya bercerai membuat Andre terluka begitu dalam karena ia tidak dapat melihat Maya sebelum dikebumikan.

Hati kecilnya masih belum dapat menerima jika cinta pertamanya telah meninggal dunia dan menjadikannya selalu merasa bersalah setiap waktu mengingatnya.

"Apa yang kamu lamunkan pagi-pagi begini?" Seorang pria tua berambut putih datang menghampiri Andre yang terhanyut dalam lamunannya.

"Ayah ingat aku pernah bercerita padamu jika ada seorang gadis yang sangat mirip dengan Maya ku?" Andre bertanya dengan pandangan kosong lurus kedepan tanpa menoleh kearah ayahnya yang kini berdiri disampingnya.

"Andre, berhentilah memikirkan Maya. Dia sudah tenang di surga sana berkumpul bersama keluarganya." Pria itu menepuk punggung anaknya dengan lembut dan menasehati, ia tahu jika sampai detik ini Maya masih mendiami hati putranya yang selalu hanyut dalam kesedihan yang tidak terbatas.

"Bahkan namanyapun sama ayah. Maya... Kebetulan tidak mungkin sesama ini kan?"

Pria bernama Agung itu membetulkan kaca matanya, dan berpikir sejenak. Jika Agung tidak melihat langsung jasad Maya dan adiknya maka ia mungkin akan terpengaruh ucapan putranya ini.

"Dia tidak memakai cincin pemberianku. Aku memakaikannya sebelum aku pergi." Andre memandang sedih foto kebersamaanya dengan Maya yang diambil sebelum ia pergi keluar negeri.

Saat itu ia memakaikan cincin di jari manis Maya tapi jasad Maya saat ditemukan terbakar tidak menggunakan cincin pemberiannya dan lagi tantenya yaitu Kania tidak mengijinkan polisi mengautopsi jasad Maya dan Arya yang selalu menimbulkan kecurigaan dalam benak Andre namun saat itu ia masih terlalu muda untuk menentang sedangkan ayahnya langsung diberhentikan dari pekerjaannya sebagai penasehat hukum keluarga Maya setelah kematian orang tua Maya sehingga ia tidak memiliki kewenangan terhadap Maya dan Arya.

"Harusnya kita membawa Maya dan Arya tinggal bersama dengan kita." Andre menundukan kepalanya menyesal, ia dan ayahnya dulu berencana mengasuh Maya dan Arya tapi Kania melarangnya.

"Ya, harusnya ayah bersikeras saat itu." ucapnya yang juga menyesal karena bagaimanapun orang tua Maya sudah sangat baik padanya semasa mereka hidup.

Hati Andre sangat hancur hingga ia juga seolah telah mati, sampai Andre tidak sengaja berjumpa dengan gadis yang tengah mengenyelinap menjual kue-kue tradisional di perumahan tempat tinggalnya, gadis itu memang lusuh dan tidak terlihat seperti Maya yang dulu ia kenal tapi senyumnya sangat mirip hingga membuka luka lama di hati Andre yang tidak percaya jika cinta pertamanya telah meninggal dunia.

"Berhenti memikirkan Maya dan pergilah bekerja. Bukankah kamu ada kasus yang harus ditangani?" Agung menepuk bahu Andre mengingatkan sebelum meninggalkan pitranya yang masih termenung.

Andre menyeka butiran air mata yang menetes perlahan karena hatinya masih belum menerima kenyataan pahit hidupnya.

***

Wangi manis gula tercium saat Marve baru saja turun dari tangga, ia mencari dimana Maya karena tadi ia kembali tertidur dan saat terbangun Maya tidak bersama dengannya.

"Kamu sudah bangun?" Maya tersenyum saat membuka tutup pengukus dan memastikan bolu-bolu kukus buatannya sudah cukup matang untuk disajikan.

"Kamu membuat apa?" Marve menghampiri dan melihat bingung sedangakan para pelayan dan chef hanya menunggu disudut dapur dengan gelisah karena mereka membiarkan Maya memasuki dapur. "cupcake? mengapa tidak di oven?" Tanyanya lagi.

Maya tidak menjawab dan hanya menyipitkan matanya, bagaimana ia tidak bisa membedakan cupcake dan bolu kukus? Dari bentuknya saja jelas terlihat berbeda.

"Kamu tidak memberikan toping diatasnya?" Marve berceloteh lagi saat Maya meletakan bolu buatannya diatas piring dan kemudian membawanya keatas meja makan.

"Mengapa kamu begitu cerewet?" Maya mengomel, Marve hanya mengerucutkan bibirnya dan duduk di meja makan saat Maya meletakan satu buah bolu kukus yang masih menguap karena panas.

"Cantik bukan, warnanya seperti mawar dikebunmu." Ucap Maya tersenyum membanggakan diri.

"Mawarku jauh lebih cantik." Ucap Marve, ia mengatakannya dengan wajah datar membuat Maya sungguh jengkel dibuatnya.

"Apa ini layak dimakan?" Marve mengangkat piringnya, dan melihat ada kertas menempel menutupi bolu kukus putih dengan kelopak berwarna biru itu, sebenarnya kue buatan Maya terlihat indah hanya saja Marve gengsi untuk memujinya.

Marve sungguh luar biasa menyebalkan, mengapa sifat menyebalkannya tiba-tiba saja muncul? Marve selalu bersikap sok manis padanya di depan pelayan sebelumnya lantas mengapa pagi ini ia sangat menjengkelkan.

"Aku hanya memasukan satu sendok racun kedalamnya." Jawab Maya santai saat baru saja para pelayan dan chef hendak mencicipi bolu kukus buatan Maya yang kini membuat mereka menjadi risau.

Dewi hanya tersenyum, sepertinya Maya dan Marve sedang bertengkar saat ini. Pasangan suami istri memang tidak selalu akur.

"Kamu ingin membunuhku?" Tanya Marve, Maya tersenyum dan mengangguk.

"Baiklah.. Aku harap kamu cukup banyak memasukan racun di cupcakes buatanmu agar aku benar-benar mati."

"Bukan cupcake tapi bolu kukus Marve." Intrupsi Maya, eh tapi tunggu dulu..

"Memangnya mengapa jika kamu tidak mati?" Tanya Maya bingung, Marve kemudian menunjukan senyum penuh maknanya dan memakan bolu kukus buatan Maya tanpa menjawab lebih dulu pertanyaan Maya.

Semua orang memuji jika bolu kukus buatan Maya sangat enak tapi Marve hanya berkata "Lumayan." Saat selesai memakannya membuat Maya menyipitkan matanya dan menatap Marve sinis.

"Bagaimana ini, racunmu tidak bekerja sepertinya." Marve menunjang dagunya dengan telapak tangannya dan menatap Maya lekat.

Maya kini tersenyum risih karena tatapan Marve sedikit menggodanya, tangan kanannya kemudian mulai terulur ke atas punggung tangan Maya dan memainkan jari-jarinya diatas tangan Maya yang membuatnya cukup berdebar.

"Pria mesum, mau apa lagi dia sekarang?" Maya mendumal dalam hati.

"Bagaimana jika aku buatkan minuman? Aku rasa aku terlalu sedikit memberikanmu racunnya." Maya beranjak bangun untuk menghindari kegugupannya dan berjalan menuju dapur tapi saat Maya melewati Marve, Marve tiba-tiba saja menariknya hingga Maya terjatuh di pangkuan Marve.

"Sayang.. banyak yang melihat kita, jangan menggodaku?" Marve bergumam memutar balikan fakta membuat Maya membulatkan matanya tidak percaya.

"Apa kamu gegar otak Marve? Haruskah aku membenturkan kepala kita lagi?" Tanya Maya sedikit berbisik. Maya ingat jika tadi pagi ia membenturkan kepalanya cukup keras ke kepala Marve saat Marve menggodanya.

"Ini masih jam setengah tujuh pagi. Veronica akan datang sekitar satu jam setengah lagi jadi kalian masih memiliki waktu. Kami tidak akan mengganggu nikmati saja waktu kalian tuan, nyonya.." Dewi menyadari jika mungkin Maya canggung karena banyak pelayan saat ini di meja makan jadi ia menyuruh semua pelayan meninggalkan meja makan termasuk para chef dan kini hanya tersisa Maya dan Marve.

"Wah.. apa mereka semua berkonspirasi mendukungmu." Maya memekik kesal.

"Kamu sepertinya senang berada di pangkuanku seperti ini." Marve menyindir sambil menggoda Maya.

"Pria mesum.." Maya lantas beranjak bangun dan membuat Marve tersenyum, menggoda Maya sangat menyenangkan terlebih karena ekspresi jengkelnya sangat menggemaskan.

"Aku akan mulai bekerja hari ini."

"Benarkah?"

" Kenapa? Kamu ingin aku terus menemanimu?"

Dia mulai lagi, sejujurnya Maya merasa sedikit sedih karena kehadiran Marve membuatnya betah berada di rumah yang sangat luas ini dan sepertinya ia akan merasa mulai kesepian karena Marve akan kembali bekerja.

"Sudah merasa sedih?" Marve mendekatkan wajahnya, kesenangan menggoda Maya tidak akan ditemukannya saat dikantor nanti.

"Tentu saja tidak.. Aku sangat senang sekali." Elak Maya.

Marve melipat kedua tangannya di dadanya dan bersandar pada kursi, ia berharap Maya merasa sedih setidaknya meski hanya sedikit. Marve menyadari karena kebersamaanya yang dua puluh empat jam bersama Maya membuatnya perlahan tertarik pada gadis dihadapannya ini jadi Marve memutuskan untuk mulai kembali bekerja lebih cepat jika tidak, mungkin ia akan jatuh cinta pada Maya.

"Kamu akan kerja menggunakan pakaian ini?" Tanya Maya, ia melihat Marve masih menggunakan baju santai saat ini.

"Jadi istriku ingin mencarikan baju kerja untuk ku? Atau kamu ingin memakaikanku baju juga?" Goda Marve kembali, ia menarik tangan Maya sehingga tubuh Maya ikut tertarik dan mendekat.

"Tidak terima kasih. Cepatlah sana pergi bekerja dan carikan aku uang yang banyak." Jawab Maya tersenyum.

Marve hanya tertawa pelan mendengar candaan Maya dan mengusap rambut Maya dengan lembut, setelah itu berjalan menuju kamarnya.

Maya menarik nafas berat kini, entah mengapa ia tidak ingin berjauhan dengan Marve.

Kini Marve telah memakai setelan jasnya dan tinggal mengenakkan dasi saat Maya memasuki ruang gantinya karena Marve cukup lama berada disana membuatnya sangat bosan.

"Woah.. siapa pria tampan di hadapanku ini?" Maya berjalan menghampiri sambil menggoda Marve membuat senyuman kembali terukir diwajah Marve.

"Sudah merindukanku?" Balas Marve dengan tatapannya yang membuat Maya menjadi gugup, ia lantas berjalan mendekat kearah Maya dan menghimpit Maya disudut lemari kacanya.

"Sepertinya begitu." Jawab Maya dengan tatapan tidak kalah menggoda.

...