Maya telah tertidur saat Marve baru saja selesai memakan kue lapis legit buatan Maya.
Tanpa membuang waktu Marve menggendong tubuh Maya yang masih terlelap, wajahnya begitu tenang saat tertidur ketika Marve meletakan tubuh Maya diatas tempat tidurnya.
Beberapa helai rambut menutupi wajah cantik Maya dan dengan hati-hati Marve merapihkannya, ia menarik selimut untuk menutupi tubuh Maya yang mulai menggeliat nyaman.
Dilihatnya beberapa saat wajah Maya yang sangat cantik saat tertidur seperti ini, diwajahnya masih tersisa riasan wajah karena Maya tertidur tanpa membersihkan wajahnya terlebih dahulu. Marve tidak ingin wajah Maya menjadi kotor yang akan menimbulkan jerawat yang membuatnya harus merasa tersiksa karena harus kembali ke salon kecantikan yang menurut Maya adalah sebuah lobi neraka.
"Aku akan mengirimu kembali ke salon jika kamu tidak membersihkan wajah seperti ini." Marve berbicara sendiri sambil tersenyum ia menyeka lembut wajah Maya dengan kapas yang sudah dibasahinya dengan cairan pembersih wajah.
Kini wajah Maya telah benar-benar bersih dan wajahnya terlihat polos seperti bayi.
"Cantik sekali." Puji Marve tanpa sadar, dan matanya yang tidak dapat diajak bekerja sama terus saja melihat ke arah bibir Maya yang terkatup rapat membuatnya membulat membentuk pola hati, Marve segera menjauh saat perasaan itu kembali menghinggapinya.
Ia tidak boleh hilang kendali, ia tidak boleh bertindak tanpa sepengetahuan Maya lagi karena itu ia segera beranjak bangun dan untuk bergegas mandi. Mandi adalah jalan utama untuk meredam hasrat yang kembali muncul dalam benak Marve untuk menyentuh Maya.
Saat Marve baru akan memasuki kamar mandi terdengar suara rintihan Maya, Ia menagis memanggil-manggil orang tuanya dan dengan cepat Marve berlari menghampiri Maya dan menggenggam tangannya erat.
"Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku dan Arya.. mama..papa.. Aku mohon jangan pergi, jangan tinggalkan kami berdua. Ku mohon.."
Rintihan itu terdengar menyakitkan bahkan air mata Maya kini mengalir membasahi pipinya. Ini pertama kalinya Marve mendengar Maya mengigau seperti ini karena ia biasanya mendengkur dengan keras tapi kali ini sepertinya Maya mengalami mimpi buruk.
"Maya.. Maya.. tenanglah, itu hanya mimpi..." Marve mengusap lembut kepala Maya saat sebelah tangannya menggengam erat tangan Maya.
"Tenanglah.. aku bersamamu." Marve akhirnya tidak kuasa memeluk Maya saat Maya terlihat sangat gelisah dalam rancauan yang membuatnya menangis sambil memanggil kedua orang tuanya.
Perlahan Marve mengeratkan pelukannya hingga Maya perlahan menjadi tenang dan akhirnya berhenti mengigau.
Marve menyeka sisa air mata Maya, dalam hati bertanya sebenarnya luka apa yang disimpan oleh istrinya rapat-rapat.
Ya, Marve memang menyelidiki Maya saat kaca mobilnya pecah akibat ulah Maya, tapi Marve tidak pernah mencari tahu masa lalu Maya.
Dan betapa bodohnya Marve baru menyadari jika Maya hanya tinggal dengan bibi dan adiknya sebelum mereka menikah mungkin itu artinya kedua orang tua Maya telah tiada?
Rasa penasaran kini muncul dibenaknya, Maya selalu ceria seperti tidak memiliki rasa sakit di dalam dirinya, tapi melihat mimpinya begitu buruk pasti Maya memiliki luka yang selama ini ditutupinya.
Marve yang selalu menunjukan jika dirinya terluka selama ini dengan sikap dinginnya pada semua orang dan saat Maya menjadi bagian dari kehidupannya ia mulai tersenyum dan sedikit menghangat karena Maya memiliki sesuatu yang selalu membuatnya tersenyum tapi ia tidak pernah menyangka jika Maya mungkin memiliki luka yang sama dengannya.
Maya perlahan membuka matanya, bulu matanya masih basah saat ia mengerjapkan matanya dan perlahan bayangan wajah Marve yang kini mendekapnya mulai terlihat.
Samar-samar ia melihat Marve tidak berhenti menatapnya, rasa sakit mimpi buruknya perlahan menghilang saat melihat Marve.
Bahkan hangatnya tangan Marve yang menggengamnya erat membuat ketakutan dibdalam hatinya perlahan memudar.
"Marve.." Maya memanggil pelan, suaranya serak saat Marve menyadarinya dan dengan cepat melepaskan tangan Maya dan bergingsut menjauh.
"Kamu berteriak tadi, aku hanya menenangkan. Aku tidak bermaksud kurang ajar, aku.. Aku hanya tidak ingin Dewi mendengar teriakanmu." Jelas Marve terbata, Maya hanya tersenyum tipis sejujurnya Maya merasa kecewa karena Marve ternyata hanya tidak ingin mendapat masalah karena mimpi buruknya.
Jika saja Marve mengatakan jika ia tidak ingin aku bermimpi buruk maka aku akan jatuh cinta pada saat ini juga padanya. Cinta dari Marve itu sama halnya meminta pinguin bunyuk terbang. Maya berhentilah menjadi bodoh.
"Maaf sudah mengganggumu." Ucap Maya pelan, ia beranjak turun dari atas tempat tidur Marve dan kemudian memasuki kamar mandi.
Marve menatap punggung Maya yang perlahan menghilang dari pandangannya, ia menyesal tidak berkata jujur pada Maya dan malah berbohong.
Ini pertama kalinya ia melihat Maya terlihat sedih membuat rasa khawatirnya bertambah dan diapun berjalan mendekati kamar mandi untuk menghampiri Maya, tapi pintu kamar mandi terkunci sehingga Marve tidak dapat masuk.
Marve Kem menekan telinganya di pintu kamar mandi, tidak ada suara gemercik air yang terdengar hanya suara isak tangis yang pelan dan tertahan.
Mimpi buruk itu sepertinya sangat mempengaruhi Maya hinga membuatnya menangis seperti ini.
Marve seharusnya menenangkanya dan bukan melontarkan alasan bodoh yang membuat Maya menangis sendirian kini. Sekarang Marve benar-benar menyesal.
"Maya.." Marve mengetuk pintu dan memanggil pelan.
Di dalam kamar mandi Maya dengan cepat menyeka air matanya dan membasuh wajahnya agar sisa air matanya tidak terlihat.
Mimpi itu kembali lagi, mimpi yang sebenarnya hanya bayangan masa lalu saat Maya harus kehilangan kedua orang tuanya. Rasa sakit karena kebahagiannya telah sirna saat orang tuanya meninggalkanya untuk selamanya terasa menembus jantungnya.
Maya menarik nafas dalam dan saat ia merasa sedikit tenang ia membuka pintu kamar mandi dengan senyum terukir.
"Kenapa? Sakit perut? siapa suruh makan kue buatanku sendirian." Ucap Maya, suaranya terdengar ceria kembali seperti kesedihanya mendadak lenyap begitu saja.
"Masuklah.. aku tidak akan mengganggumu." Lanjut Maya, ia tersenyum dan berjalan melewati Marve yang hanya berdiri terdiam.
Tapi kemudian tangan Marve menarik pergelangan tangan Maya dan menahan langkah Maya dan perlahan ia memeluknya dari belakang dengan erat.
"Marve apa yang kamu lakukan, lepaskan aku!" Ucap Maya, ia mencoba melepaskan tangan kekar Marve yang melingkat diperut dan di dadanya tapi tidak bisa karena Marve begitu kuat atau hangat, Marve terasa hangat.
Saat perlahan Marve melepaskan tangannya dan membalikan tubuh Maya, Marve segera mendekap Maya erat tanpa berucap mencoba merasakan luka yang dimiliki Maya.
Hati Maya terasa sesak, ia berusaha terlihat tegar agar Marve tidak banyak bertanya tapi saat Marve memeluknya seperti ini ia menjadi ingin mencurahkan semuanya hinga akhirnya ia membalas pelukan Marve dan menangis dalam dekapan Marve.
"Tidak apa.. Aku bersamamu Maya." Bisik Marve mengeratkan pelukannya.
Ia kehilangan kedua orang tuanya tapi ia masih memiliki segalanya tapi Maya kehilangan orang tuanya dan harus menanggung keluarganya jelas luka mereka sama tapi berbeda, Maya jauh lebih terluka dan ia menutupinya dengan senyumannya selama ini.
"Aku bersamamu."
...