Chereads / Main Love / Chapter 22 - Take My Hand

Chapter 22 - Take My Hand

Maya merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya dan mengibaskan setiap helai rambutnya, ia menutup matanya dan tersenyum lembut menghadap kearah laut.

Deburan ombak yang menggulung menimbulkan suara yang seirama begitu menenangkan.

Setelah pulang dari makam orang tua Maya, Marve sengaja membawa Maya ke pantai yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal Maya yang dulu, karena sepanjang perjalanan Maya hanya diam dan menatap sedih seakan ia menutupi luka dihatinya membuat Marve seolah dapat ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Maya karena ia juga selalu menjadi murung setelah mendatangi makam kedua orangtuanya. Luka mereka memang sama mungkin karena itulah mereka dapat menjadi dekat dalam waktu yang singkat.

"Sudah setahun aku kembali ke Jakarta tapi ini kali pertamanya aku ke pantai ini." Ucap Maya bercerita.

"Memangnya dulu kamu tinggal dimana?"

"Aku menetap di Kalimantan."

"Jauh sekali? Apakah menyenangkan tinggal disana?" Tanya Marve mulai penasaran, ia ingin menggali lebih jauh tentang kehidupan di masa lalu, tapi Maya kembali menunjukkan wajah sedihnya seakan ia tidak ingin menceritakannya. "Terlalu sulit dan menyakitkan. Aku tidak suka membicarakan masa lalu ku, Marve. Maafkan aku."

Marve mengerti, ia tidak akan memaksa sampai Maya menceritakannya sendiri, yang Marve inginkan hanyalah membuat Maya merasa lebih baik.

Hari sudah gelap begitu Maya dan Marve sampai dipantai berpasir putih ini dan Marve hanya tersenyum senang menatap wajah Maya yang seakan bersinar cerah diterpa cahaya rembulan.

"Kamu senang?" Tanya Marve, Maya menoleh dan mengangguk sambil tersenyum ia kemudian melangkah mendekati bibir pantai tapi sepatu yang dikenakannya menghambat langkahnya begitu haknya terpendam digumparan pasir yang tebal dan membuatnya tidak dapat berjalan.

Maya kemudian mencoba melepas sepatunya dan menunduk, saat baru saja menyentuh tali yang melingkar dipergelangan kakinya tangan hangat Marve tiba-tiba saja menyentuhnya.

Wajahnya sungguh tampan dan bersinar seperti cahaya rembulan telah terhisap oleh wajahnya, hal itulah yang pertama kali dirasakan oleh Maya saat Marve perlahan menyentuh kakinya dan membuka tali sepatu berhak yang dikenakannya sambil mendomgg kepalanya menatapnya sambil terus tersenyum.

"Mengapa masih memakai sepatu tinggi? Kakimu akan sakit kembali." Suara lembut Marve dan senyuman tipisnya seakan membuat waktu berhenti seketika.

Detakan jantungnya berdebar seakan ia baru saja melakukan lari maraton mengapa Marve sangat mudah membuatnya tersentuh seperti ini?

"Aku tahu aku tampan, berkediplah sayang.. kamu membuatku gugup." Goda Marve, wajah Maya sudah jelas memerah kini. Ia tertangkap basah.

"Aku menatap laut, kamu terlalu percaya diri." Jawab Maya gugup, ia beralasan dengan terbata terlebih Marve tidak juga menurunkan senyumannya yang mempesona dan juga mematikan.

Marve hanya dapat tersenyum dan beranjak bangun sambil membawa sepatu Maya ditangan kirinya dan kemudian ia mengulurkan tangannya tepat dihadapan Maya yang masih salah tingkah.

"Haruskah aku menerima uluran tangannya?" Maya bertanya dalam hati, saat ini lebih menegangkan dari pada semua hal ciuman berbahaya yang selama ini mereka lakukan.

"Ayo.." Ajak Marve kembali, dengan perlahan setelah mengambil nafas dalam perlahan Maya menerima uluran tangan Marve dan beranjak turun dari dalam mobil.

Mata mereka kembali bertemu saat Marve sedikit menarik tubuh Maya saat membantu Maya beranjak turun tapi dengan cepat Maya menjauh dan menatap kearah lain.

Maya jangan jatuh cinta padanya sebelum ia benar-benar jatuh cinta padamu. Maya menyisipkan sugesti kecil kedalam otaknya agar hatinya tidak terluka karena ia jatuh cinta lebih dulu pada Marve.

Marve memiliki segalanya.. segalanya bahkan matahari seakan berada dibelakang kepalanya hingga ia selalu terlihat bersinar bahkan ketika ia sedang tidak tersenyum seperti ini. Marve sangatlah berbahaya, terlalu sulit untuk tidak jatuh cinta padanya.

Angin berhembus kencang kembali membuat Marve membalikan tubuhnya dan mendekap Maya erat.

"Angin laut memang sangat kencang Marve. Tidak apa." Ucap Maya, jantungnya mungkin akan meledak saat ini juga atau rohnya mungkin akan meloncat keluar dari tubuhnya jika Marve bersikap sehangat ini padanya.

"Aku hanya tidak ingin kamu kedinginan."

Astaga tuhan.. apa dia baru saja mengatakan jika ia melindungiku?

Haruskah aku melompat kegirangan sekarang atau jatuh pingsan saat ini juga?

Marve kemudian perlahan menjauh saat angin perlahan menjadi tenang, tapi saat Maya ingin melepaskan tangannya dari genggaman tangan Marve, pria itu malah mempererat genggamannya seakan ia tidak akan pernah melepaskannya.

Dengan perlahan Marve kemudian membawa Maya menusuri pantai sedikit mendekat ketepi hingga mereka dapat merasakan hempasan bibir ombak yang lembut dan berbuih menerpa punggung kaki mereka meninggalkan jejak kaki mereka yang berirama dan tersapu oleh ombak sedetik kemudian.

"Apa dingin?" Tanya Marve.

"Sedikit, tapi menyenangkan. Terima kasih." Jawab Maya tersenyum.

Marve mengangkat kepalanya, mengapa langit malam ini begitu gelap hingga tidak ada satupun bintang yang terlihat menunjukan cahayanya yang berkelip.

"Apa yang kamu cari diatas langit? Apa akan ada hujan uang malam ini?" Tanya Maya, ia bergurau sambil ikut mengadahkan kepalanya menghadap langit yang gelap dan hitam dengan awan berwarna abu-abu.

Marve tertawa mendengar gurauan Maya "apa hanya ada uang didalam pikiranmu?" Tanya Marve mencubit hidung Maya gemas membuatnya mengerucutkan bibirnya.

"Tidak juga, dipikiran ku ada uang, keluargaku dan.." Jawab Maya menggantung, ia hampir saja membuka kartunya jika meneruskan kalimatnya.

"Dan?" Marve menghentikan langkahnya kini dan menatap Maya lekat.

"Dan.. uang." Jawab Maya bergurau, Marve tahu jika uang bukanlah segalanya bagi Maya saat ia menawarkan uang yang sangat banyak agar ia mau menikah dengannya tapi Maya menolaknya dan hanya meminta ia membantu keluarganya.

"Ayolah Maya.. dan?" Tanya Marve lagi memaksa agar Maya melanjutkan kalimatnya.

Dengan ragu Maya menjawab seolah berbisik "Dan kamu." Ucapnya pelan hingga Marve tidak dapat mendengarnya dengan jelas karena suara deburan ombak jauh lebih kencang dari pada jawaban yang Maya lontarkan membuat Marve semakin penasaran.

"Aku tidak dapat mendengarnya Maya." Protes Marve kesal tapi Maya seakan tidak perduli ia hanya tersenyum dan meneruskan langkahnya tapi kemudian Marve menarik tangan Maya yang masih digenggamnya erat sehingga Maya kembali berada disisinya.

"Kamu tidak mau mendengar apa yang ada dipikiran ku?" Tanya Marve, ia mengunci tubuh Maya dengan mendekap pinggang Maya erat.

Maya hanya dapat mematung dan menatap wajah Maya, ia seakan mendadak bisu.

Pesona Marve mengalahkannya lagi.

"Aku hanya memikirkan cara membuatmu jatuh cinta padaku." Bisik Marve, seketika tubuh Maya menegang dan detak jantungnya memompa dengan cepat.

Sadarlah Maya, otaknya bergumam tapi hatinya sudah menghangat nyaris membuatnya meleleh hingga ia hanya dapat mengatupkan bibirnya.

Marve senang, Maya yang diam mematung seakan ia telah membuka hatinya dan membiarkannya perlahan menyusup masuk dan menguasainya.

Kini suasana yang harusnya dingin malah terasa panas saat kedua mata mereka tidak mau mengalah untuk memandang kearah yang lain sampai suasana hangat ini menggerakkan hati mereka untuk semakin mendekatkan wajah mereka.

Nafas yang mereka hembuskan saling beradu ketika jarak wajah mereka saat ini hanya sebesar kacang almond.

Tangan Marve telah menyentuh pipi Maya dan bibir mereka nyaris bertautan ketika Maya kemudian memalingkan wajahnya membuat Marve tidak dapat menyentuh bibir Maya.

Marve terlihat kecewa, tapi ia tidak marah dan hanya tersenyum malu dan melepaskan tubuh Maya kini.

"Buat dirimu jatuh cinta dulu padaku dan aku akan membuka hatiku untukmu."

Marve tersenyum, Maya sangat berhati-hati. Mungkin hanya sedikit tempat dihatinya yang tidak memiliki luka hingga ia memberikan batasan untuk hatinya agar Marve tidak dengan mudah menempatinya.

"Malam ini sangat gelap. sayang sekali, aku ingin membawamu ketempat kamu dapat melihat bintang." Ucap Marve.

Kini mereka sudah tidak berada di bibir pantai dan duduk diatas pasir sambil menatap langit.

"Lampu pesawat yang lewat juga indah seperti bintang." Ucap Maya saat melihat kerlipan berwarna merah diatas sana ketika pesawat kebetulan melintas.

"Tapi kamu tidak dapat melihat wajah orangtuamu dikelipan lampu pesawat."

Maya terdiam, Marve sangat memikirkannya bahkan ia ingin mewujudkan apa yang Maya katakan kemarin malam.

"Tidak apa, masih ada wajah tampanmu yang bisa aku lihat." Ucap Maya menggoda, ia sengaja mengayunkan bahunya dan membenturkanya dibahu kekar Marve dengan lembut.

"Ya..ya aku memang tampan." Sahut Marve penuh percaya diri dan kemudian tertawa.

....

Dilain tempat Andre menatap keluar jendela rumahnya berharap jika Maya akan melintas dan ia dapat melihat wajahnya sekali lagi.

Bayangan tentang keluarga Maya yang dilihatnya dipemakaman seperti antara garis mimpi dan dunia nyata yang tipis.

"Apa yang kamu lamunkan? Apa kasus yang kamu tangani sangat berat?" Tanya Agung, pria tua berambut putih itu kemudian duduk disofa ruang kerja anaknya sambil membaca buku tebal.

"Ini bukan tentang kasusku tapi tentang Mayaku." Jawabnya mengalihkan pandanganya.

Agung menghela nafas, putranya masih memikirkan cinta pertamanya yang sudah tiada membuatnya menjadi cemas.

"Andre ini sudah melewati batas. Buang semua perasaanmu pada Maya. Ia sudah tidak ada di dunia ini." Ucap Agung ia terlihat marah dan meletakan bukunya kini.

"Dia masih hidup ayah, bahkan bersama bi Mina dan Arya. aku melihat mereka hari ini dipemakaman orang tua Maya." Jelas Andre.

Hati Agung tersentak, saat kejadian itu Mina menghilang. Kania mengatakan jika Mina sudah kembali ke kampung halamannya dan berhenti bekerja sehari setelah kematian orang tua Maya sebab itulah saat kebakaran terjadi yang ditemukan hanya mayat Maya dan Arya.

"Mungkin kamu hanya berhalusinasi." Ucap Agung beranjak bangun dan hendak keluar ruangan, ia tidak ingin percaya begitu saja dengan ucapan putranya meski ia dapat merasakan jika yang diucapkan Andre tidaklah main-main.

"Aku akan membuktikan padamu bahwa dia adalah Mayaku." Ucap Andre dengan penuh keyakinan tapi Agung tetap meneruskan langkahnya keluar dari ruangan kerja Andre.

"Dia Mayaku..." Andre terus bergumam dan mengucapkanya berkali-kali.

....