Marve keluar dari ruang kerjanya setelah menenangkan hatinya, ia merasa malu pada Maya hingga ia menunggu beberapa saat untuk keluar agar suasana menghangat kembali dan kini ia ingin sekali menemui Maya dan mengganggunya namun tidak ada Maya dimanapun ia mencari kesetiap sudut rumahnya bahkan hingga halaman rumahnya.
Para pelayan telah pulang dan rumah mereka sangat sepi kini tapi tidak ada Maya dimanapun membuat Marve merasa gelisah.
Apa Maya marah padaku?
Kemana dia?
Marve membuka satu persatu ruangan dirumahnya namun ia tetap tidak dapat menemukan Maya.
"Dewi, apa kamu melihat Maya?" Tanya Marve, wajahnya berkeringat dan ia terlihat mulai panik kini.
"Nyonya tidak terlihat semenjak pergi memasuki ruang kerja Anda, tuan." Jawab Dewi, ia kemudian pergi meninggalkan Marve yang mulai tegang dirasuki rasa khawatir sekaligus takut jika Maya meninggalkannya.
Maya...
Marve mulai berlari keluar dari rumahnya menuju halaman depan karena sebelumnya ia telah mencari dihalaman belakang namun Maya tidak berada disana dan begitupun dihalaman depan terlihat sangat sepi hanya ada beberapa tukang kebun yang tengah merapihkan taman.
"Kalian melihat Maya?" Marve berlari menghampiri salah satu petugas kebun dengan segala kepanikannya yang terlihat dengan jelas diwajahnya.
"Nyonya tadi pergi keluar, tuan."
Tanpa membuang waktu, Marvepun berlari keluar melewati gerbang rumahnya yang menjulang tinggi ke langit.
"Maya.." Marve mulai berteriak sambil menusuri jalan setapak dengan deretan pohon cemara yang berbaris rapih dan tinggi.
"Apa ia meninggalkanku?" Marve menunduk sedih, nafasnya terengah karena berlari mencari Maya dan sejauh ini ia tidak melihat Maya bahkan bayangannyapun tidak terlihat.
"Maya.." Marve berteriak sekali lagi, ia mulai putus asa sampai ia mengingat jika daerah perumahan yang ditinggalinya memiliki danau buatan didekat taman.
Tanpa memperdulikan langit yang mendung atau angin yang berhembus kencang, Marve terus berlari menuju taman dimana ada sebuah danau buatan disana.
Langkah cepatnya perlahan melambat hingga akhirnya terhenti.
Itu Maya..
Dia Maya istriku..
Tapi, langkah Marve seakan menjadi berat, ia melihat Maya tersenyum.
Maya tersenyum pada pria lain.
Itukah sebabnya ia tidak mau membuka hati untukku?
Marve terus memperhatikan dari kejauhan, bagaimana pria itu menatap Maya penuh cinta dan bagaimana Maya yang tersenyum dan menunduk sesekali.
Apa Maya menunduk karena tersipu? Marve mencoba tidak memikirkan hal yang membuat hatinya terasa sakit kini, tapi bagaimanapun Maya adalah istrinya, Ia tidak boleh mengalah dan membiarkan hati Maya tersentuh oleh pria lain jadi Marve memutuskan untuk melangkah lebih dekat lagi.
"Aku merindukanmu.."
Apakah itu suara petir? Hati Marve seakan tersentak mendengar ucapan pria berkaca mata itu pada Maya.
Meskipun Maya tidak menanggapi ucapan pria itu tapi tetap saja rasanya hati Marve telah terhantam oleh benda keras yang sangat membuatnya kesakitan.
Marve terus menunggu Maya dan pria yang tidak Marve kenal itu berbincang.
Maya seakan berubah menjadi putri es yang dingin dan tidak dapat disentuh oleh pria yang duduk disebelahnya tapi Maya seakan tidak sungkan menunjukan kesedihannya.
Marve ingin sekali menghajar pria itu, mengapa ia berbicara sambil menatap wajah istrinya? Jika saja Maya sudah mencintainya maka ia tidak akan menahan diri.
Miliknya tidak boleh didekati apalagi disukai orang lain.
"Aku ingin menikah dihari hujan seperti ini.." Suara Maya yang pelan terdengar menyedihkan, mengapa Maya tidak pernah berucap dengan suara seperti itu padanya?
Marve baru akan beranjak pergi sampai ia melihat jika pria itu semakin mendekat pada Maya sedangkan Maya masih menatap jauh kearah danau.
Apa yang pria itu ingin lakukan pada Mayaku?
Marve mengurungkan niatnya dan berjalan cepat menghampiri Maya dan pria itu duduk dan tanpa berucap apapun Marve menarik tangan Maya hingga membuatnya beranjak bangun karena tarikannya cukup kuat dan mungkin Maya merasa kesakitan tapi rasa cemburu telah menguasainya.
Ia tidak dapat memukul pria yang malah menatapnya dengan tatapan amarah seperti ini jadi Marve dengan cepat menarik tubuh Maya mendekat padanya dan mendekapnya erat.
"Aku mencarimu.. mengapa kamu pergi tanpa memberitahu siapapun?" Marve memeluk erat Maya, kalimatnya bukanlah bagian dari amarahnya tapi bagian dari rasa khawatirnya yang sejak tadi menghantuinya karena Maya tiba-tiba saja menghilang.
Mata Marve masih menatap pria itu yang bahkan kini ia juga beranjak bangun dan terlihat dengan jelas jika ia merasa tidak senang dengan kedatangan Marve yang tiba-tiba saja membawa Maya dalam dekapannya erat.
Namun tanpa diduga, Maya melingkarkan tangannya dipinggang Marve dan memeluknya erat membuat hati Marve menghangat dan mendekap Maya lebih erat lagi, kini ia tidak perduli tentang pria dihadapannya dan hanya perduli pada Maya.
"Aku mencarimu kemana-mana, aku sangat takut kamu meninggalkanku."
Maya perlahan melepaskan pelukannya dan menatap Marve lekat, ia ingin sekali menangis saat ini juga. Kalimat yang diucapkan Marve jika Marve takut kehilangan dirinya menghangatkan hatinya.
"Maafkan aku, aku tidak akan meninggalkanmu." Maya menyesal kini tapi Marve menjawabnya dengan senyuman lembut penuh kehangatan.
"Haruskah aku memakaikanmu jam dengan GPS? Agar aku tidak takut jika seseorang mungkin menculikmu." Ucap Marve tersenyum kembali dan menekankan kalimat 'seseorang mungkin menculikmu' dengan tatapan tidak senang pada pria berkaca mata yang terlihat tidak nyaman melihat kemesraannya dengan Maya.
"Siapa dia sayang?" Tanya Marve, tangannya masih mendekap Maya disisinya seolah menunjukan pada pria dihadapannya ini jika Maya adalah miliknya.
"Dia Andre, dulu saat aku masih berjualan disini dia adalah satu-satunya penghuni diperumahan ini yang membeli kue ku dengan sangat banyak." jawab Maya, telinga Marve terasa panas kini mendengar apa yang Maya ucapkan secara tidak langsung Maya mengatakan jika pria ini memiliki kedekatan khusus padanya.
Marve mencoba tertawa sebisa mungkin meskipun tawanya kini terdengar sangat kaku.
"Marven." Marve mengulurkan tangannya dan mengajak pria itu berkenalan.
Dengan membetulkan posisi kaca matanya yang sebenarnya tidak bergerak sedikitpun pria itu menerima uluran tangan Marve.
"Andre.. Andrean." Ucap Andre, ia menunjukan senyumnya meskipun hatinya sangat terluka melihat Maya berada dalam dekapan pria lain.
Andrean... Maya bergumam dalam hati, nama itu terdengar tidak asing namun Maya tidak dapat menemukan gambaran siapa sososk dikenalnya yang memiliki nama Andrean tapi Maya tidak mau terlalu memikirkannya karena mungkin saja Andrean hanya salah satu pelanggannya saat berjualan dipasar dulu.
Mata Marve dan Andre seakan mengeluarkan aliran listrik dari dua kutub yang sama hingga menimbulkan efek negatif dan berlawanan yang tersirat dimata mereka berdua dan mengalir melalui tangan mereka yang masih saling bertautan menyebabkan rasa terbakar di dalam hati mereka masing-masing.
Mengapa Maya hanya diam saja? Harusnya ia menimpali jika aku adalah suaminya! Marve mendumal kesal sambil melirik Maya yang malah terlihat melamun.
"Sayang.." Marve menegur karena sangat tidak tahan berjabat tangan dengan Andre terlalu lama yang membuatnya kesal.
"Oh.. Dia adalah suamiku." Akhirnya Maya memperkenalkan siapa dirinya dan Andre akhirnya melepaskan tangannya.
Pria ini terlihat kecewa, mengapa begitu? Apa ia benar-benar menyukai Maya?
Pikiran Marve sangat kacau kini, ia kesal sekaligus khawatir jika mungkin saja Maya akan membuka hatinya untuk pria lain.
"Terima kasih banyak."
Maya dan Andre menatap bingung, kenapa Marve berterima kasih pada Andre kini? sampai Marve menjelaskan alasannya "Karena Anda, aku dan istriku akhirnya bertemu dan menikah." Ucap Marve tersenyum penuh kemenangan.
Andre melihat bagaimana ekspresi Maya tidak sesenang Marve, ia kemudian menyeringai untuk menutupi kekesalan dalam hatinya.
"Kalian pasangan menikah yang tidak memakai cincin kawin." Ucap Andre sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan pergi meninggalkan Maya dan Marve yang terlihat bingung kini.
Marve dan Maya saling memandang kini dan tertawa kemudian.
"Kamu tidak memberiku cincin saat kita menikah dulu." Ucap Maya tertawa, Marve menggaruk tengkuknya karena merasa malu kini.
"Suamiku sangat pelit." Lanjut Maya membuat Marve semakin malu kini.
Ia kemudian melihat kearah sekeliling karena merasa malu untuk menatap wajah Maya, sampai ia menemukan sebuah ilalang panjang dan membentuknya menjadi sebuah cincin.
"Tetaplah menikah denganku." Marve berlutut kini dihadapan Maya dan menunjukan cincin alami buatannya membuat Maya tidak dapat menahan senyumannya.
Tapi meskipun menertawai Marve, Maya tetap mengulurkan tanganya sehingga Marve dapat menyematkan jari manisnya cincin ilalangan buatannya.
"Manis sekali.." Puji Marve, ia beranjak bangung kini dan membawa Maya pergi bersamanya sambil menggenggam tangannya.
Andre yang sebenarnya btidak benar-benar bpergi dan bersembunyi dibelakang pohon besar akhirnya kembali menunjukan dirinya saat Maya dan Marve sudah berjalan cukup jauh dari tempatnya berada kini.
Maya terlihat bahagia..
Apa aku sudah benar-benar terlambat sekarang? Mengapa aku baru menemukan mu saat kamu telah menikah?
Mengapa Tuhan begitu kejam padaku?
....
Marve dan Maya masih berjalan penuh kecanggungan tapi tangan mereka tetap bertautan erat, saat mata mereka bertemu tanpa sengaja membuat hati mereka berdebar kencang dan mereka hanya dapat menyembunyikannya dengan senyuman canggung.
"Mau?" Maya akhirnya mengingat jika ia memegang sebatang coklat hazelnut pemberian Andre yang baru digigitnya sedikit.
Marve kemudian menerima suapan dari Maya dan tersenyum. "Manis seperti dirimu." Puji Marve.
Maya tersenyum menyembunyikan rasa tersipunya atas pujian Marve yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
"Andre memberikannya padaku, saat aku kecil aku sangat menyukai coklat hazelnut." ucap Maya, pria itu terang-terangan merayu istriku. Marve mendumal dalam hati kesal.
Marve kemudian meraih semua coklat yang ada ditangan Maya dan memakannya hingga tidak tersisa.
"Mengapa kamu menghabiskannya?" Maya menggerutu kesal, Marve yang mulutnya masih penuh dengan coklat tidak lantas menjawab ucapan Maya.
"Aku akan memberikanmu coklat strawberry yang jauh lebih enak dari pada coklat dengan rasa kacang itu." Ucap Marve, nada suaranya sedikit lebih tinggi karena rasa kesal yang dirasakannya begitu mendengar jika coklat yang baru dimakannya adalah pemberian Andre.
"Tapi aku suka coklat hazelnut Marve." Gerutu Maya kesal, ia membanting kakinya karena sangat kesal.
"Kacang akan membuatmu jerawatan." Ucap Marve. Ia kemudian berjalan lebih cepat agar Maya tidak mengamuk padanya.
"Marve.." Panggil Maya, ia berlari pelan mengejar langkah Marve yang berjalan cepat.
"Kamu menyebalkan!" Ucap Maya setelah berhasil menyusul langkah Marve dan kemudian berjalan meninggalkan Marve.
Tapi kaki Marve yang panjang dapat dengan cepat menyusul langkah Maya dan dengan cepat menariknya lalu menciumnya.
Mata Maya terbuka lebar saat Marve menyesap bibirnya dipinggir jalan seperti ini, meskipun suasana sangat sepi tapi ada cctv dimana-mana bagaimana Marve dapat menciumnya seperti ini.
"Marve!" Maya mendorong tubuh Marve sehingga Marve sedikit memundurkan langkahnya.
"Aku tidak suka, bahkan jika hanya sebatang coklat. Aku tidak suka jika kamu menyukai sesuatu yang bukan aku yang memberikannya pemberianku padamu!" Ucap Marve, matanya menggelap menunjukan jika ucapannya bukanlah gurauan.
"Jadi aku akan menghapusnya!" Ucap Marve dan sedetik kemudian ia kembali mencium Maya dan memegangi kedua pipinya hingga Maya dapat mengikuti kemana Marve membuang nafas disela ciumannya yang menuntut.
Tidak ada hal yang paling memabukan selain ciuman Marve yang menuntut hingga membuat kakinya seakan menjadi lemas, jadi meskipun ragu-ragu Maya memegang erat baju Marve agar ia tidak kehilangan keseimbangan.
"Mari kita pulang, dan teruskan di rumah." Bisik Marve setelah melepaskan bibir Maya dan kemudian menggendong tubuh Maya yang kini meronta namun Marve tidak menghiraukannya dan tetap menggendong Maya.
...