Maya mengeratkan genggamannya pada lengan Marve saat memasuki perusahaan, para karyawan seperti sudah diberi aba-aba sebelumnya karena begitu Maya dan Marve melewati pintu masuk semua orang berdiri membuka jalan sambil memberi hormat dengan wajah tersenyum.
"Apa mereka selalu seperti ini jika kamu datang?" Tanya Maya pelan.
"Tidak juga, mungkin karena aku membawa malaikat disebelahku jadi mereka menyambutku dengan baik." Jawab Marve, ia sengaja menyelipkan kalimat pujian untuk Maya.
"Setiap manusia selalu memiliki malaikat untuk mencatat amal baik dan buruk yag kita lakukan Marve... Apa mereka dapat melihat malaikat yang mengikutimu?"
Ya Tuhan mengapa Maya begitu polos sehingga ia tidak menangkap pujian yang diberikan oleh ku? Marve kemudian menurunkan tangan Maya dari lengannya dan menggenggamnya erat.
"Kamu adalah malikat yang aku maksud..." Jelas Marve, kini wajah Maya merona dan Marve dapat melihatnya dengan sangat jelas membuatnya menjadi gemas.
Maya dan Marve sudah sampai di depan lift, para petinggi perusahaan ingin ikut memasuki lift tapi Marve dengan sopan meminta mereka menunggu agar ia dan Maya dapat menaiki lift hanya berdua.
"Mengapa yang lain tidak ikut masuk?" Tanya Maya saat pintu lift telah tertutup rapat.
"Apa lift ini hanya cukup untuk dua orang?" Lanjutnya tapi Marve masih belum menjawab membuat Maya sedikit merengut kesal.
Marve menyadari itu, sangat menyenangkan rasanya menggoda Maya dan membuatnya merengut, ia lalu tanpa basa basi menyudutkan maya disudut lift hingga membuatnya tegang.
"Sayang.. mari kita lanjutkan yang sebelumnya tertunda..." Bisik Marve, deru nafasnya berhembus menyentuh tengkuk Maya membuatnya menjadi semakin tegang.
"Marve.. apa yang kamu lakukan?" Tanya Maya terbata, ia tidak berani memandang wajah Marve kini karena jika ia memandangnya mungkin jantungnya akan terlepas dari tubuhnya karena rasa berdebar yang sangat kencang ia rasakan kini.
"Jangan pejamkan matamu.. aku ingin kamu hanya melihatku." Ucap Marve, ia menyentuh dagu Maya membuatnya menatapnya kini.
Keringat sudah meluncur bebas melewati kening Maya karena rasa gugup yang dirasakannya.
Suasana telah berbeda saat tadi mereka masih berada di mobil, suasana hangat begitu terasa tapi kini suasana menjadi panas dan Marve yang mengintimidasinya membuatnya tidak berkutik.
Marve sudah mendekatkan wajahnya, dan seperti terkena pengaruh sihir, Maya diam tanpa berkedip dan menunggu Marve menyentuh bibirnya lembut.
Suasana tegang ini membuat Maya semakin mendambakan hangatnya sentuhan manis Marve dibibirnya sehingga perlahan ia menggenggam erat jas Marve untuk menghilangkan kegugupannya.
Cinta sudah hampir sampai diantara mereka tapi kemudian pintu lift terbuka tepat sebelum Marve hampir menyentuh bibir Maya.
Dan terjadi lagi.. hal sama yang membuat mereka tertawa Malu karena kebetulan yang menyebalkan yang mengganggu mereka.
Tapi di luar lift Bisma dan Bunga yang telah menanti sejak beberapa saat yang lalu kini berdiri mematung.
Pemandangan di sore hari yang tidak terduga, yang mereka lihat adalah Bos mereka sedang berciuman dengan istrinya meskipun sebenarnya Marve dan Maya telah gagal menyatukan bibir mereka karena pintu lift yang terbuka disaat yang tidak tepat.
Bisma berdehem untuk mencairkan suasana yang menegang dan akhirnya Marve berbalik dan menggandeng Maya keluar dari lift seakan tidak terjadi apapun dan berjalan mendahului Bisma dan Bunga yang kini mengikuti langkah mereka sambil tersenyum sembunyi-sembunyi.
Maya sendiri merasa seperti kehilangan muka, ia sangat malu karena terpergok hampir berciuman dengan Marve di dalam lift.
Kini Mereka sudah sampai di dalam ruangan Marve yang besar dan sedikit kaku dengan nuansa minimalis yang kental menampilkan sosok Marve yang praktis dan tidak suka membuang waktu.
"Tunggulah disini, aku akan segera kembali." Ucap Marve setelah menyuruh Maya duduk disofa panjang dan lembut diruangannya.
Maya mengangguk tanda mengerti, kemudian Marve melangkah meninggalkan ruangan bersama Bisma yang mengikuti langkahnya sedangkan Bunga baru saja memasuki ruangan dengan membawa secangkir teh dan meletakannya di atas meja tepat dihadapan Maya.
"Terima kasih." Ucap Maya dengan ramah, ia memperhatikan bagaimana asisten Marve sungguh mempesona, rambutnya yang terkuncir rapih, menggunakan kemeja dan rok span dan juga sepatu hak tinggi membuat tubuhnya terlihat sangat tinggi bak seorang model dan wajahnya yang cantik sangat memukau seperti bintang film.
"Pantas saja Marve selalu ingin dipakaikan dasi olehnya." Gumam Maya dalam hati, entah kenapa ia mendadak menjadi kesal tapi ia masih tetap menunjukan senyumannya meskipun dalam hati mendumal kesal.
"Jika memerlukan sesuatu, saya ada diruangan sebelah." Ucap Bunga dengan suara lembut dan tipis.
"Baiklah.."
"Suaranya bahkan sangat indah." Pikir Maya kembali.
Bunga masih berdiri dihadapan Maya sambil tersenyum lembut membuat Maya sedikit tidak nyaman.
"Saya senang pak Marven akhirnya menikah, dan Anda sungguh cantik pantas saja jika beliau selalu menanyakan waktu pulang." Ucap Bunga tanpa Maya duga.
"Beliau sangat mencintai Anda, jangan salah faham dengan penampilan saya. Saya sudah menikah." Ucap Bunga tersenyum, Bunga menyadari jika Maya memandangnya dengan cara yang lain jadi ia memutuskan menjelaskannya agar tidak terjadi kesalah fahaman dikemudian hari.
Maya tertawa risih kini " Apa dia dapat membaca fikiranku?" Gumamnya dalam hati.
"Tentu saja tidak.." Ucap Maya.
Bunga kembali tersenyum "Jika perlu sesuatu saya berada diruangan sebelah, kalau begitu saya permisi." Ucapnya sebelum meninggalkan ruangan.
"Astaga.. apa ia sungguh dapat membaca pikiranku?" ucap Maya frustasi dan saat ia menoleh Bunga sedang tersenyum dibalik mejanya kepadanya, ruangan Marve dan Bunga memang hanya disekat kaca transparan sehingga membuatnya dapat terlihat dengan jelas.
Maya membalas senyuman Bunga, suasana sungguh terasa canggung kini sampai akhirnya Bunga terlihat menerima telepon dan kemudian pergi meninggalkan ruangannya, kini Maya dapat sedikit lebih bersantai karena tidak ada seorangpun yang mengawasinya.
Maya memutuskan berjalan-jalan sebentar melihat bagaimana besarnya meja Marve dan terlihat sangat kokoh.
Langkahnya terhenti saat melihat sebuah bingkai foto yang berdiri di atas meja Marve.
Maya meraihnya, inikah foto kedua orangtua Marve? Pantas saja jika Marve tampan karena ayah dan ibunya memiliki paras yang rupawan.
Pandangan mata Maya kemudian teralih kebingkai kecil disudut meja dan betapa terkejutnya ia melihat jika foto pernikahannya dengan Marve ada dalam bingkai itu.
"Dia selalu tampan seperti biasa." Maya bergumam pelan dan tersenyum lalu meletakan kembali foto itu.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Maya menoleh saat suara galak itu tiba-tiba mengejutkannya dan telihat Darwis sudah menatapnya penuh kebencian.
"Kakek.." Maya seketika mengubah ekspresinya dan tersenyum menghampiri Darwis.
"Berhenti disana! Aku tidak ingin tertular menjadi miskin sepertimu."
"Dan jangan memanggilku kakek, aku tidak pernah merestuimu!" Lanjut Darwis, ia menunjuk wajah Maya dengan tongkatnya membuat langkah Maya terhenti.
Dia mulai lagi, menyebalkan.
"Kakek, aku tidak mungkin memanggilmu dengan sebutan lain, terlebih dengan rambutmu yang sudah memutih."
"Dan miskin itu bukanlah penyakit menular." Lanjut Maya dengan senyum mengembang.
Kini Darwis bertambah kesal mengapa gadis dihadapannya tidak sedikitpun memiliki rasa takut padanya? Apa ia kurang membulatkan matanya?
Mungkin memang benar jika ia kurang terlihat galak jadi Darwis melebarkan matanya hingga membulat sempurna tapi yang terjadi malah membuat Maya tertawa.
"Kakek, wajahmu terlihat seperti burung hantu." Ucap Maya tertawa, Darwis kemudian menghentakan tongkatnya cukup kencang tapi Maya tetap saja tertawa tanpa henti.
"Kurang ajar!"
Darahnya sudah naik kini karena ia merasa pundaknya seketika menjadi berat sehingga ia harus duduk di sofa karena mulai merasa lemas.
"Kakek.. kamu baik-baik saja?" Maya segera menghampiri Darwis yang telah duduk di sofa dengan menyandarkan tubuhnya, kini Maya menyesal karena seharusnya ia tidak perlu melawan pada Darwis jika akhirnya akan seperti ini.
"Jangan dekat-dekat denganku!" Ucapnya kesal, ia membalikan tubuhnya agar tidak menghadap kearah Maya dan kini ia memunggunginya.
"Biar aku pijat kek.." Maya menyentuh bahu Darwis dan memijatnya pelan, Darwis merasa sangat nyaman sampai ia menyadari jika Maya telah menyentuhnya.
"Jauhkan tangan kotormu dari tubuhku!" Ucap Darwis kesal tapi Maya tidak menggubrisnya.
"Tenanglah kakek, dulu saat aku masih kecil aku sering memijat kakek ku."
Darwis melirik Maya, ia sedikit tertarik dengan ucapan Maya dan jujur saja jika pijitan Maya membuatnya sangat nyaman.
"Kamu masih memiliki seorang kakek?" Tanya Darwis, ia masih bersikap seolah sungkan di pijat oleh Maya jadi suaranya terdengar sangat kaku.
"Tidak, kakekku sudah meninggal saat seusiamu!" Jawab Maya tanpa beban.
Mendengar jawaban Maya, Darwis segera beranjak bangun.
"Maksudmu aku akan segera meninggal dunia, begitu?" Tanya Darwis dengan suara tinggi.
Maya menghela nafas mengapa Darwis begitu pemarah hingga ia tidak boleh berkata salah sedikitpun.
Maya kemudian beranjak bangun dan dengan wajah yang tersenyum ia mengatakan dengan mudahnya "Kakek, apa aku terdengar seperti menyumpahimu?"
Darwis terdiam, Maya memang tidak pernah mengatakan bahwa ia akan segera meninggal dunia, hanya ia yang merasa sensitif jika menyangkut soal usia.
"Lebih baik periksakan dirimu ke dokter kakek, jangan sampai darahmu terlampau tinggi hingga melewati batas." Saran Maya tanpa lupa tersenyum yang berhasil membuat Darwis bertambah kesal.
Darwis mengerang kesal, gadis ini sungguh menyebalkan. Maksudnya datang keruangan Marve untuk mengintimidasinya tapi Maya membalikan keadaan dengan sangat mudah.
Ia sudah tidak dapat berkata lagi, jika terus berada diruangan ini bersama Maya maka ia bisa mengalami stroke jadi ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan Marve.
Maya akhirnya dapat benar-benar bernafas lega kini, mengapa semua hal ditempat ini membuatnya sangat tegang.
Kini Maya memutuskan melihat pemandangan luar dari balik jendela untuk meregangkan sarafnya yang terasa kaku.
Pemandangan dari atas sini terlihat sangat indah, Maya dapat melihat taman perusahaan yang terlihat teduh karena banyak pohon rindang disana.
Maya tersenyum, dedaunan yang bergoyang disana seakan tengah bertegur sapa, tapi pandangannya teralihkan saat sebuah mobil mewah memasuki kawasan perusahaan.
Entah mengapa Maya tidak dapat melepaskan pandangannya sampai mobil itu berhenti tepat didepan pintu masuk dan dua orang wanita dengan penampilan bagai bangsawan kerajaan turun dari dalam mobil.
Wajah itu tidak asing, wajah yang tidak pernah sekalipun ia lupakan.
Mereka adalah Kania dan seorang gadis yang sepertinya adalah anak Kania
Jantung Maya memompa kencang dan membuat dadanya terasa sesak, mata Maya telah memerah kini.
Mereka berjalan sambil mengangkat kepala seperti tidak memiliki dosa.
Maya mengepalkan tanganya, tanpa pikir panjang, Maya kemudian berlari tanpa menghiraukan apapun.
Kali ini mereka tidak boleh lepas.
....