Chereads / Main Love / Chapter 31 - Hide and truth

Chapter 31 - Hide and truth

"Bagaimaa perkembanganmu mendekati cucu pemiliki grup Cakra?" Tanya Kania, ia masih sibuk dengan tablet ditangannya yang sedang melihat barang-barang bermerek yang baru saja rilis.

"Dia sudah menikah, dan aku tidak dapat menyentuhnya sama sekali mih.. Marven dan istrinya bahkan mengolokku jika aku lebih pantas menjadi istri muda kakek Darwis." Jawab Tiffany, ia sangat frustrasi karena ibunya Kania selalu menekannya untuk mendekati Marve.

Kania menghela nafas, Tiffany sangat bodoh dalam hal menggoda pria, sama bodohnya dengan dirinya hingga pria yang dicintainya dulu akhirnya jatuh cinta pada ibunya Maya.

Maya.. ini sudah hampir dua minggu sejak kedatangan Maya ke kediamannya, ia tidak pernah menunjukan dirinya lagi.

Mungkin dia sudah mati sekarang menjadi gelandangan. Kania tersenyum, ia sangat gusar ketika Maya tiba-tiba saja muncul kembali setelah ia mengirimnya ke Kalimantan enam tahun yang lalu.

Ini sudah enam tahun, dan kasus kebakaran dan pemalsuan kematian Maya dan Arya sudah ditutup jadi ia tidak perlu cemas lagi.

Dan tentunya tentang kasus kematian kedua orangtua Maya dan Arya juga tertutup rapat, jika Maya menggugatnya ia tidak akan memiliki apapun karena ia tidak memberikan sedikitpun harta pada Maya saat menyuruhnya pergi meninggalkan Jakarta.

Uang telah berada dipihaknya dan sesuatu hal yang mudah untuk menyingkirkan Maya jika ia berani menampakan diri dihadapannya lagi.

"Sebaiknya kali ini jangan sampai gagal, Mami tidak ingin biaya perawatan kecantikan mu yang mahal menjadi sia-sia karena tidak mampu menaklukan Marven." Tekan Kania, tepat saat mobil yang mereka kendarai berhenti didepan pintu masuk perusahaan Grup Cakra.

"Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang mih.. Percayalah padaku jika aku akan membuat Grup Cakra berinvestasi diperusahaan kita tanpa harus menggoda Marven." Ucap Tiffany meyakinkan.

"Perusahaan kita akan berada diambang kehancuran jika Grup Cakra tidak segera menyuntikan modal pada perusahaan kita Tiffany. Apa kamu ingin kembali miskin seperti dulu?"

Tiffany terdiam, ia tidak ingin menjadi gadis lusuh dan miskin lagi seperti enam tahun yang lalu, namun ibunya Kania tidak pandai mengelola perusahaan hingga Grup Wings memiliki banyak hutang saat ini.

Tapi menggoda pria yang sudah beristri sungguh melukai harga dirinya.

"Apa yang kamu lamunkan? Ayo kita turun." Pekik Kania tidak sabar.

Tiffany akhrinya turun dari mobilnya dan di ikuti dengan Kania.

"Jangan Lupa.. Takhlukan Grup Cakra dan pemiliknya!" Bisik Kania tepat sebelum memasuki pintu masuk.

Tiffany yang enggan hanya dapat mengangguk pelan karena tidak dapat menentang kehendak ibunya.

....

Mata Maya memerah, seketika jantungnya seakan berhenti berdetak.

Dua wanita yang baru saja memasuki perusahaan adalah Kania dan Tiffany.

Kania.. wanita yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Mereka berjalan bagai ratu dengan kepala terangkat seakan dosa tidak mampu menyentuhnya.

Hati Maya terbakar, rasa sakit menjalar keseluruh tubuhnya hingga hasratnya tidak lagi terbendung untuk memaki wanita yang kini sudah menghilang dari pandangannya itu.

Dulu ia hanya seorang gadis bodoh..

Tapi saat ini, Maya tidak akan membiarkan mereka menari diatas lukanya lagi.

Tanpa membuang waktu, Maya berlari keluar dari ruangan Marve. Ia menuruni lift dan berlari mencari sosok yang sangat dibencinya itu.

Air matanya hampir menetes karena rasa sakit yang sudah tidak terbendung lagi, tapi dimana mereka?

Maya tidak dapat menemukannya, jadi ia membuka pandangannya ke segala arah sampai ia melihat kedua wanita itu terlihat sedang menaiki eskalator.

Nafasnya yang terasa sesak tidak menghentikan langkah Maya untuk terus berlari mengejar Kania.

Tapi belum sampai Maya mendekati mereka, Kania dan Tiffany telah berpisah jalan. Untuk sejenak Maya terdiam, siapa yang harus ia kejar? Hingga akhirnya Maya memutuskan untuk mengejar langkah Kania.

Kania terlihat memasuki sebuah ruangan kini dan Maya hendak memasuki ruangan itu juga tapi melihat dari kaca yang transparan ia melihat Darwis menyambut Kania dengan senyum mengembang dan membawanya memasuki ruangan yang tidak dapat Maya lihat kini karena sangat tertutup.

Maya mengatur nafasnya, ia mengepalkan tangannya menahan semua amarah dalam hatinya dan menunggu.

Tidak lama kemudian Kania akhirnya keluar dari ruangan Darwis, samar-samar Maya dapat mendengar pembicaraan Kania dan Darwis yang sedang berjabat tangan kini.

"Aku akan membantumu, tapi semua keputusan ada ditangan Marven."

Apa yang wanita itu rencanakan? Apa ia masih menginginkan putrinya untuk menikahi Marve?

Hati Maya semakin panas, tidak cukupkah ia merebut hartanya dan sekarang ia ingin merebut suamiku juga?

Akhirnya Kania keluar dari ruangan itu, Maya segera bersembunyi tapi setelah Kania melangkah beberapa langkah akhirnya Maya kembali mengikutinya sampai disebuah lorong sepi dan yang terdengar hanya suara hentakan sepatu hak Kania dan Maya.

Kania menyadari jika ada yang mengikutinya karena saat ia menghentikan langkanya suara langkah kaki itu juga ikut berhenti.

Dengan menahan nafasnya Kania memberanikan diri membalikkan badannya.

"Lama tidak bertemu... Merindukanku?"

Kania mundur satu langkah, ia mendadak menjadi lemas karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

Maya tersenyum, ia melangkah lebih dekat lagi kini.

Sebisa mungkin Maya menutupi ketegangannya dan mencoba bersikap setenang mungkin dan melihat tubuh Kania yang bergetar membuatnya menyunggingkan senyumannya.

"Tante.. apa kabarmu?"

"Aku tidak mengenalmu!" Suara Kania mendadak keluh, meskipun ia mengerang tapi Maya dapat merasakan ketakutan dari dalam diri Kania.

Maya terlihat sangat berbeda dari terakhir kali yang dilihatnya? Kania sungguh tidak dapat memahaminya.

Kania baru akan meninggalkan Maya sampai Maya menarik pergelangan tangannya dan membuat langkahnya terhenti.

"Mengapa? Kamu takut padaku?" Tanya Maya kembali, tatapannya sudah siap untuk menghabisi semua keangkuhan dalam diri Kania.

"Lihatlah... " Maya melihat dari ujung kaki hingga kepala bagaimana penampilan Kania saat ini.

"Kamu masih terlihat seperti pembantu bagiku." Ucap Maya.

Sebuah kesalahan dalam hidup ibunya karena mengangkat anak pembantu mereka menjadi adik angkatnya dan kini membuatnya merebut semua miliknya.

"Bibi..." Bisik Maya.

Air mata tanpa sadar lolos dari pelupuk mata Kania, Maya sangat menakutkan dengan semua senyuman penuh artinya.

Mungkin karena rasa bersalahnya...

Atau mungkin karena semua dosa-dosanya kepada Maya.

Tapi Maya saat ini seperti siap untuk mencekiknya bahkan tatapannya yang tajam mampu membuat Kania merasa sesak nafas.

"Aku mungkin hanya gadis bodoh dan polos saat itu, omonganmu yang dulu sangat menakutkan bagiku tapi sekarang hanya terdengar seperti omong kosong ditelingaku." Ucap Maya, ia terus melangkah mendesak Kania yang hanya bisa berusaha melangkah mundur.

"Menggelapkan uang perusahaan? Siapa bicara siapa pada saat itu. Apa kamu membicarakan dirimu sendiri?"

Jantung Kania seakan berhenti berdetak, Maya menembaknya tepat pada dosa masa lalunya yang selama ini disimpan rapat olehnya.

Malam itu, Ia baru saja ketahuan menggelapkan uang perusahaan oleh ibu Maya jadi dia merencanakan pembunuhan orangtua Maya dengan membuatnya seolah-olah sebuah kecelakaan.

Sayangnya, ayah Maya harus ikut meninggal pada saat itu padahal Kania hanya berencana membunuh ibunya Maya saja karena ia mencintai ayah Maya sejak lama.

Maya kembali tersenyum, dan menyentuh dagu Kania dengan jarinya.

"Tegakkanlah kepalamu selagi bisa, karena aku akan segera membuatmu mencium kaki ku." Ucap Maya nyaris berbisik, tapi suara bisikan Maya terdengar seperti selimut yang menyelimuti Kania dengan ketakutan.

Maya kemudian memalingkan pandangannya, menatap Kania sedekat ini membuatnya menjadi mual.

"Lakukanlah apapun.. Maya, mereka sudah menganggapmu telah mati." Kania memberanikan diri bersuara kini saat Maya sudah sedikit menjauh membuat Maya kembali mendekat kini.

"Aku telah mati?"

"Uang telah berada dipihak ku sekarang. Kamu tidak akan bisa menyentuhku." Ucap Kania kembali, Maya tertawa kini.

Tawanya terdengar menakutkan membuat Kania kembali terdiam.

Maya kemudian menyentuh tangan Kania dan memainkan cincin-cincin yang melingkar indah dijarinya.

"Bukankah ini milik ibuku?"

Kania mengkerut, cincin bermata merah ruby itu memang milik mendiang ibunya Maya yang selalu di dikenakannya semasa hidupnya.

"Lepaskanlah.. sebelum aku membuat jarimu ikut terlepas bersamanya."

Dengan mata memerah dan tubuh bergetar, Kania segera melepaskan cincin itu dari jarinya dan memberikannya pada Maya.

Tanpa membuang waktu saat Maya masih memandangi cincin itu dengan cepat Kania berjalan meninggalkan Maya sebelum Maya mengelucutinya dengan membongkar semua dosa masa lalunya.

Maya menghela nafas lega, air matanya menetes kini.

Benar kata Kania, ia tidak memiliki apapun.. tapi apa maksud Kania jika semua orang menganggapnya telah mati?

Apa yang sebenarnya iblis wanita itu katakan tentangku?

Hati Maya terasa sesak, tapi ia tidak boleh menjadi lemah jadi Maya dengan cepat menyeka air matanya dan memasukan cincin milik ibunya kedalam tasnya.

...

Langkah Maya menjadi gontai kini, ia masih tidak dapat berhenti memikirkan maksud dari ucapan Kania yang mengatakan jika ia telah mati?

ingatanya kembali menerawang jauh kemasa saat ia baru saja pulang dari pemakaman orang tuanya, Kania menghampirinya dengan gusar dan mengatakan "Telah terjadi kekacauan diperusahaan. Mereka bilang ibumu menggelapkan uang perusahaan... Maya, pergilah dengan Arya bersama Mina. Tante yang akan menggantikan ibumu menerima hukuman atas apa yang diperbuatnya."

"Sungguh bodoh..." Ucap Maya pelan saat mengingat ucapan Kania, harusnya ia tidak begitu bodoh pada saat itu.

"Siapa yang bodoh?"

Maya menoleh dari mana asal suara yang sangat dikenalnya itu.

Marve saat ini sedang tersenyum kearahnya dan seketika kesedihan di dalam hatinya perlahan memudar.

Marve menyadari jika Maya terlihat sedikit pucat saat ini dan senyumnya tidak secerah biasanya jadi ia berjalan mendekat dan memeluknya erat.

"Apa aku terlalu lama?" Tanya Marve, Maya hanya menggeleng pelan dan membalas pelukan Marve.

Bisma dan Bunga yang menyaksikan tingkah pasangan pengantin baru itu akhirnya memilih untuk meninggalkan mereka berdua.

"Mengapa kamu bisa ada disini? Apa kamu bertengkar dengan kakek ku?" Tanya Marve seraya melepaskan pelukannya.

"Tidak.. aku kan cucu menantu yang baik." Ucap Maya tersenyum membuat Marve ikut tersenyum senang.

"Mari kita pulang. "

Marve akhirnya membawa Maya keluar dari lorong itu dan menggandengnya sepanjang jalan menuju pintu keluar.

Saat mereka hendak memasuki mobil, Maya melihat Kania yang juga akan memasuki mobilnya bersama Tiffani jadi Maya dengan sengaja bergelayut manja pada Marve dan dengan senang hati Marve menerimanya dengan penuh rasa bahagia.

Kania menahan nafasnya, ini sungguh mimpi buruk? Bagaimana bisa Maya menjadi istri Marve?

***