Chereads / Main Love / Chapter 28 - Sweet punishment

Chapter 28 - Sweet punishment

Ketika cinta perlahan melanda, Maya dan marve tidak dapat melepaskan pandangan satu sama lain, ini kah cinta? atau mereka hanya terbawa suasana?

Marve menurunkan tubuh Maya diatas sofa, nafas mereka terengah karena perasaan gugup satu sama lain.

Marve duduk disebelah Maya dan terus mendesaknya hingga Maya terus memundurkan tubuhnya hingga tanpa sadar kini tubuhnya telah terbaring sempurna diatas sofa kulit berwarna coklat itu.

Tatapan Marve begitu tajam sehingga Maya tidak berkutik bahkan saat Marve terus bergerak mendekat mengintimidasinya.

Nafasnya tercekat saat Marve bahkan mengunci ruang geraknya kini dengan meletakan kedua tangannya disisi bahu Maya.

Tapi meskipun nafasnya menjadi sesak ia tidak dapat menolak tatapan mata Marve yang menghanyutkannya.

"Dia menatapmu seperti ini, kamu menyukainya?" Suara Marve terdengar menakutkan kini, Maya tidak sepenuhnya mengerti dengan ucapan Marve jadi ia hanya terdiam tanpa menjawab.

"Aku akan membuat ia kehilangan penglihatannya jika ia menatapmu lagi seperti ini. Hanya aku.. hanya aku yang berhak menatapmu seperti ini."

Apa Marve sedang cemburu saat ini? Ia sangat menakutkan sekaligus menggemaskan sehingga Maya akhirnya tidak dapat menahan tawanya lagi.

"Apa kamu sedang cemburu sekarang?" Tanya Maya, ia sudah tidak tahan melihat wajah Marve yang memerah dan kata-kata menakutkan yang terdengar menggemaskan.

"Kamu menyukainya?" Tanya Marve, ia masih terlihat serius dengan ucapannya.

"Aku.. menyukaimu yang cemburu seperti ini." Jawab Maya.

Apa kecemburuannya terlihat jelas? Marve kemudian menjauh membuat Maya akhirnya terbebas dan beranjak bangun dan duduk disebelah Marve.

"Aku hanya tidak ingin seseorang melihat istriku bersama pria lain. Mungkin saja itu akan menyulitkan posisimu kelak." Jawab Marve berdalih, tapi Maya tidak bodoh karena ia tahu jika Marve sedang berbohong saat ini.

"Jadi suamiku cemburu namun tidak mau mengaku rupanya, lantas siapa tadi yang memakan habis coklat pemberian pria lain padaku dan mengatakan jika aku tidak boleh menyukai pemberian pria itu meskipun hanya sebatang coklat." Goda Maya, telinga Marve memerah kini, Maya menggodanya sekaligus membangkitkan rasa terbakar dihatinya.

"Sayang, jangan bermain dengan amarahku."

Maya bergingsut, Marve sangat menyeramkan saat ini, harusnya ia tidak bermain-main dengan emosi Marve.

"Aku harus minum obat." Maya beranjak bangun dan berjalan cepat menuju kamarnya sebelum Marve benar-benar marah padanya, ia harus menyelamatkan diri secepatnya.

Tapi belum sampai Maya menuju kamarnya, Marve menarik tangan Maya hingga tubuhnya berbalik.

"Aku akan menghukummu.."

Sedetik kemudian Marve menciumnya, karena saat ini mereka berada diatas anak tangga membuat posisi mereka sejajar kini.

Marve menahan tubuh Maya dengan tangannya yang memegang kedua tangan Maya sehingga Maya tidak dapat meronta.

Dewi yang baru saja keluar dari arah dapur segera kembali memasuki dapur setelah melihat pemandangan Maya dan Marve yang tengah berciuman hangat diatas tangga.

"Mataku telah diberkahi.." Gumamnya setelah memasuki dapur.

Marve perlahan melepaskan ciumannya, bibir Maya memerah dan sedikit membengkak karena ia menggigitnya tadi.

"Hukuman yang manis.."

Astaga Maya, apa yang baru saja hatimu katakan? Kemana hati sucimu pergi? Ciuman Marve telah meracuninya dan bahkan kini Maya tidak dapat melepaskan pandangannya dari bibir basah Marve.

"Ini hukuman karena telah memakan coklatku." Maya mencubit pinggang Marve hingga membuatnya meringis kesakitan tapi kemudian ia mencium lembut bibir Marve tanpa terduga.

Singkat dan hangat, lembut dan manis, itulah yang dirasakan mereka berdua meskipun kini hati mereka berdebar kencang.

Mata mereka saling menatap hangat saat perlahan Maya melepaskan ciumannya.

Entah setan apa yang membisikan Maya hingga ia berani mencium bibir Marve, tapi Maya tidak ingin terbuai setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan, Maya dengan cepat berlari memasuki kamarnya dan menguncinya rapat.

Marve sendiri masih berdiri mematung dan tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya yang masih terasa manis.

Hatinya sudah menjadi taman bunga yang bermekaran dan kelopaknya yang seakan bergoyang menggelitiki hatinya.

Maya menciumnya, apa itu artinya dia sudah mulai membuka hatinya untukku?

Hanya senyuman yang dapat Marve lakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan dalam hatinya. Ia lalu melihat pintu kamarnya, jika ia memasukinya sekarang mungkin ia akan kehilangan kendali jadi Marve memutuskan untuk pergi ke dapur untuk meminum segelas air putih agar pikirannya menjadi jernih kembali.

Marve meminum dua gelas air sekaligus, entah mengapa dahaganya tidak terpuaskan bahkan setelah menghabiskan dua gelas air putih tanpa jeda, bayangan akan manisnya Maya yang menciumnya membuat hatinya seakan meletup-letup kegirangan sehingga senyuman terus terukir di wajahnya, sampai ia menyadari jika Dewi dan para koki serta beberapa pelayan di dapur tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti membuat Marve seketika menjadi gugup dan akhirnya memutuskan untuk pergi dari dapur.

"Apa aku bilang, tuan dan nyonya baru saja.." Dewi menggosip kembali dan di akhir kalimatnya ia memperagakan lewat gerakan tangan jika ia melihat Marve dan Maya berciuman, para koki dan pelayan di dapur ikut tersenyum bahagia seakan merekalah yang baru saja berciuman.

...

Hari sudah semakin sore kini, Marve memberanikan diri memasuki kamarnya dan tidak terlihat Maya di dalam kamarnya jadi ia bergerak menuju ruang pakaian Maya dan mendapati Maya yang tengah kesusahan menaikkan pengait bajunya hingga membuat punggungnya terlihat dengan jelas.

Mengapa Tuhan seperti sedang mengujinya, bayangan akan Maya yang menciumnya belum bisa diabaikannya dan kini ia melihat Maya dengan punggung yang terbuka.

Maya sendiri tidak menyadari kehadiran Marve yang kini menatapnya tanpa berkedip, ia masih kesulitan memakai pakaiannya sendiri sambil bercermin.

Marve tidak ingin kehilangan kendali jadi ia memutuskan untuk pergi tapi kemudian Maya menyadari keberadaan Marve.

"Marve, syukurlah kamu disini."

Maya mendekat tanpa diduga dan berjalan mendekati Marve yang berdiri kaku kini.

"Bisa kamu membantuku menaikan ini?" Maya membalikan tubuhnya dan kini Marve dapat melihat punggung polos Maya dengan sangat dekat.

"Tanganku sudah pegal." Keluhnya.

Mengapa suasana menjadi sangat panas kini sehingga membuat Marve berkeringat.

"Marve.."

Maya.. Marve menghela nafas untuk membuatnya tenang dan perlahan ia menyentuh gaun Maya dan mengaitkannya keatas.

Sejujurnya Maya merasa tegang namun ia percaya pada Marve jadi ia memutuskan meminta bantuan Marve.

Entah mengapa Marve menjadi sangat lambat, mengaitkan baju Maya tidak mungkin memakan waktu selama ini membuat Maya sungguh sangat tegang kini.

Dan perlahan Maya merasakan sentuhan lembut jemari Marve yang menyentuh punggungnya seakan membuatnya membeku seketika dan nafasnya terhenti.

Marve tersenyum karena merasakan reaksi Maya yang menjadi tegang, ia sengaja menyelipkan jarinya saat menarik pengait gaun Maya keatas dengan perlahan.

"Kamu tidak dapat mempercai pria sepenuhnya, Sayang..." Marve berbisik tepat ditelinga Maya dan kemudian mengecup bahu polos Maya singgkat dan meninggalkan Maya dengan cepat sebelum dirinya benar-benar kehilangan kendali diri.

Wajah Maya memerah dan terasa panas, ia tidak sepenuhnya menyesali keputusannya meminta bantuan pada Marve tapi kejahilan Marve mampu membuat jantungnya memompa seperti habis lari maraton.

.....

Maya telah keluar dari ruang ganti dan kini Marve tengah berbaring diatas tempat tidurnya sambil membaca buku seakan tidak terjadi apapun. Maya sedikit kecewa kini, ia mengharapkan setidaknya Marve tersenyum padanya jadi ia memutuskan untuk berjalan kearah meja belajar yang sama sekali tidak disenanginya.

Kertas-kertas ini lagi, Maya mendumal kesal sampai ia meraskan hawa panas menerpanya.

"Mau ikut denganku?"

Maya memiringkan kepalanya saat Kepala Marve telah berada diatas bahunya, mengapa Marve sungguh menakutkan saat ini.

"Kemana?" Tanya Maya hati-hati, Marve kemudian mengangkat kepalanya, sungguh menyenangkan mengintimidasi Maya seperti ini, ia tidak menjawab dan hanya mengulurkan tangannya, Maya menatap Marve yang kini bersandar dimeja belajarnya sambil tersenyum dan menantikan ia menyambut tangannya.

Haruskah aku ikut dengannya?

....