Marve tidak dapat meninggalkan Maya yang masih tidak sadarkan diri di dalam penginapan ini.
Penginapan ini banyak disinggahi oleh orang-orang yang hanya ingin memadu kasih satu malam dan Marve tidak ingin mengambil resiko jika ia harus pergi mencari bantuan.
Tubuh Maya sudah dipenuhi keringat yang membasahi sekujur tubuhnya sedangkan suhu badannya tidak kunjung turun.
Marve harus mengambil keputusan saat ini juga atau kondisi Maya akan semakin memburuk.
Dengan menarik nafas, Marve meyakinkan dirinya dan pergi memasuki kamar mandi. Kini Marve telah memegang baju Maya, ia kemudian mulai membuka jubah mandi Maya yang sudah basah dan menyeka keringat yang membasahi tubuh Maya.
Tangannya terasa kaku dan jantungnya berdebar kencang saat memakaikan Maya baju hingga akhirnya waktu menegangkan itu dapat Marve lalui dengan tidak membuat kesalahan.
Kini Marve meletakan handuk basah di atas kening Maya dan menunggu beberapa saat sampai handuk itu menjadi hangat dan kembali membasahinya kemudian kembali meletakannya di atas kening Maya.
Suhu tubuh Maya tidak juga turun, Marve tidak bisa berdiam diri lagi.
Ia kemudian menggendong tubuh Maya dan membawanya keluar dari penginapan untuk pergi ke rumah sakit.
"Apa aku berat?" Maya bertanya pelan saat Marve berlari sambil menggendongnya menuju mobilnya.
"Kamu sudah sadar?" Marve sangat senang tapi Maya tidak juga membuka matanya.
Sedangkan hujan di luar masih turun sangat deras, dengan bersusah payah Marve berusaha agar Maya tidak basah karena terkena air hujan.
"Bertahanlah.." Ucap Marve setelah meletakan tubuh Maya di dalam mobil dan memakaikannya sabuk pengaman.
Marve kemudian berlari menuju kursi kemudi dan mulai menjalankan mobilnya.
Jalanan cukup sepi hari ini, hingga Marve dapat melajukan mobilnya sedikit lebih kencang.
Tapi jalan yang licin membuat mobil yang mereka kendarai nyaris tergelincir hingga mereka hampir menabrak jika saja Marve tidak dengan segera menguasai kemudinya lagi.
"Tenang saja Marve, aku baik-baik saja." Maya membuka matanya kini.
Karena guncangan tadi, Maya akhirnya tersadar.
"Tidak perlu terburu-buru, jangan membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak ingin menjadi penyebab kematian orang lain lagi." Ucap Maya, suaranya terdengar parau tidak bertenaga.
Kini mobil yang mereka kendarai berhenti, karena di depan jalan ada beberapa orang yang tengah memindahkan batang pohon yang tumbang, Marve kemudian menyentuh lengan Maya dan suhu badannya semakin tinggi.
"Bertahanlah sayang." Marve dengan cepat membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
Maya kemudian membuka matanya lagi, "Sayang." Gumamnya, dan sebuah senyuman tipis melengkung di bibir Maya, demam membuatnya berhalusinasi, pikirnya.
Dengan samar-samar Maya dapat melihat Marve dari balik mobil yang kehujanan dan dengan sekuat tenaga membantu warga mengangkat sisa potongan pohon yang besar dan menutupi jalan.
"Suamiku sangat tangguh." Ucapnya tersenyum dan kemudian matanya kembali tertutup.
Marve kembali memasuki mobil setelah pohon yang menutupi jalan telah berhasil disingkirkan.
Bajunya kembali basah dan tanpa membuang waktu Marve kembali melajukan mobilnya kencang.
Marve telah membawa Maya pulang, ia menggendongnya memasuki rumah dan Dewi dengan gesit menyambutnya dan menyiapkan kamar mereka.
Marve sengaja tidak membawa Maya ke rumah sakit, ia tidak mau repot mengurus kamar rawat untuk Maya dan akan membuat Maya menunggu lama jadi ia memutuskan membawanya pulang.
Saat diperjalanan tadi ia telah menelepon dokter pribadinya untuk segera datang kerumahnya dan begitu mereka sampai dokter telah menunggu.
Tanpa membuang waktu dokter segera memeriksa keadaan Maya, demamnya cukup tinggi hingga ia harus memasangkan selang infus pada punggung tangan Maya.
"Kondisinya akan segera membaik." Ucap dokter bernama Tito itu, dokter keluarga pribadi Marve yang telah bekerja selama lima belas tahun terakhir yang sudah sangat Marve percaya.
"Lebih baik sekarang ganti bajumu. Aku akan memeriksamu setelah itu." Ucapnya.
Marve mengangguk, ia sudah merasa lega kini dan akhirnya mengikuti saran dokter untuk mengganti pakaiannya dan memeriksakan kondisinya.
Kini Marve telah mengganti pakaiannya dan dokter telah memeriksanya, ia mendapatkan suntikan vitamin agar ia tidak demam setelah kehujanan.
Setelah dokter pulang, Marve kembali memasuki kamar dan berjalan mendekati Maya yang masih tidak sadarkan diri.
Disentuhnya kening Maya dan suhu badannya telah turun.
Marve mulai mengantuk kini karena efek obat yang diberikan dokter padanya, ia kemudian berjalan kesisi tempat tidur yang lain dan tidur tepat di sebelah Maya.
Ia menghadap Maya dan memperhatikan setiap garis wajah Maya lalu tersenyum.
Seperti malaikat yang tengah terlelap, Maya sangat cantik dilihhat dari samping seperti ini.
Alisnya tebal dan hitam, hidungnya mancung tapi tidak terlalu lancip, bibirnya berisi dan dagunya melengkung seperti pipi bayi.
Marve semakin tidak dapat mengendalikan rasa kantuknyaa kini dan perlahan terlelap sambil memegangi tangan Maya erat.
.....
Maya terbangun perlahan, pandangannya masih samar-samar melihat langit-langit kamar yang berwarna putih dengan lampu yang sedikit menyilaukan.
Kepalanya sudah tidak terasa berat lagi dan tubuhnya sudah tidak merasa kedinginan lagi.
Tapi tempat ini tidak asing baginya, bukankah ia berada dipenginapan sekarang?
Lantas mengapa tempat ini terlihat seperti kamarnya? Maya kemudian menengok ke segala sisi dan tempat ini memang kamarnya.
Ia kemudian menyadari ada selang infus yang mengalir melewati tangannya dan Marve yang tengah terlelap sambil memeluknya.
Jadi perjuangan Marve yang membawanya saat sakit bukanlah mimpi?
Maya kemudian mengusap lembut rambut hitam Marve dan akhirnya membuat Marve terbangun.
Maya segera menarik tangannya dengan cepat setelah Marve perlahan terbangun tapi Marve sudah menyadari jika Maya menyentuh rambutnya dan kemudian ia tersenyum.
"Apa kamu merasa lebih baik?" Marve bertanya dengan lembut, Maya hanya mengangguk.
"Bisa kamu lepaskan ini?" Maya beranjak duduk dan menunjukan tangannya yang masih menempel dengan selang infus.
Marve kemudian ikut membenarkan posisinya, lalu meraih tangan Maya.
Marve tersenyum saat Maya memejamkan matanya dengan erat karena merasa takut jika mungkin akan menyakitkan melepaskan jarum infus dari tangannya.
Marve sengaja diam saja saat ia telah melepaskan jarum itu dari tangan Maya tanpa Maya sadari.
"Sudah selesai belum?" Tanya Maya, matanya masih terpejam dan Marve masih memainkan punggung tangan Maya dengan jemarinya.
"Marve.." Maya memanggil karena Marve tidak menjawab pertanyaannya dan perlahan ia memberanikan diri membuka matanya dan melihat Marve yang kini menahan tawanya.
"Kamu menggodaku!" Ucap Maya kesal, ia memukul lembut bahu Marve dan Marve hanya tertawa tanpa membalas.
"Menyebalkan." Ucapnya kesal, Marve masih tertawa melihat Maya terlihat kesal kini.
Ia sudah mendapatkan tenaganya karena pukulannya cukup sakit mengenai bahu Marve.
Marve kemudian meraih pipi Maya dan membuat Maya menghadap kearahnya.
"Aku senang kamu sudah merasa lebih baik sekarang." Ucap Marve lembut.
Satu sentuhan lembut lagi yang berasal dari ucapan manis Marve membuat hati Maya menghangat dan berdegup kencang.
"Terima kasih telah merawatku." Ucap Maya, ia segera memalingkan wajahnya dan melepaskan kedua tangan Marve dari pipinya.
"Terima kasih adalah salah satu bentuk cinta. Jadi kamu sudah mulai tersentuh dan jatuh cinta padaku?" Ucap Marve menggoda.
Maya kemudian menoleh kesal kini, siapa yang mengartikan ucapan terima kasih dengan cinta?
Kedua hal itu jelas berbeda bagi Maya.
"Jadi jika aku mengucapkan terima kasih pada para pembeli kue ku dulu itu artinya aku mencintai mereka semua, begitukah?" Ucap Maya, kali ini Marve pasti tidak dapat menepis ucapannya yang masuk akal seperti ini.
Marve terdiam lalu kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Maya dan memeluknya.
"Anggap saja jika kamu menabung cinta padaku." Ucap Marve.
Maya memutar bola matanya karena jengah dan kemudian berusaha melepaskan dekapan Marve yang menghimpit tubuhnya.
"Aku lebih suka menabung uang Marve." Ucap Maya kesal, kini ia pasrah dengan Marve yang mendekapnya erat membuatnya tidak berkutik.
"Apa kepalamu pusing?" Tanya Marve, Maya menjawabnya dengan singkat dan ketus "Tidak."
"Apa tubuhmu terasa dingin?" Tanyanya lagi, Maya menjawab dengan kalimat yang sama dan nada yang sama persis dengan sebelumnya.
"Marve lepaskan aku." Pinta Maya kembali.
"Baiklah.." Marve kemudian melepaskan dekapannya yang mengekang Maya dan kemudian dengan cepat menahan tubuh Maya dan membuatnya terbaring dibawahnya.
"Kamu tahu ada yang mengatakan jika cinta bisa datang dengan sekejap mata. Mungkin itulah yang aku rasakan padamu. Apa kamu masih akan menolakku tanpa memberiku kesempatan?" Tanya Marve, matanya terus mengikuti kemana bola mata Maya bergerak.
"Kamu tahu?" Tanya Maya menggantung.
Maya kemudian mengalungkan tangannya di leher Marve dan tersenyum.
Ia mengangkat kepalanya dan mendekati wajah Marve hingga Marve menegang.
Maya akan menciumnya? Marve sungguh berpikir demikian hingga ia memejamkan matanya.
"Aku menyebutnya mata keranjang." Bisik Maya dan kemudian ia tertawa.
Marve kemudian menggeser tubuhnya dan merebahkan tubuhnya pasrah. Ia sangat malu kini.
"Bagaimana bisa kamu menyebutku mata keranjang? Aku ini pria baik-baik!" Protes Marve tidak terima.
Maya masih tertawa dan mengolok-ngolok Marve dengan sebutan 'mata keranjang' sampai Maya menyadari akan baju yang dikenakannya kini.
Maya segera beranjak duduk dan memastikan baju apa yang dikenakannya, dan ternyata baju yang dikenakannya adalah baju yang sama yang ia kenakan saat kehujanan bersama Marve.
Semalam ia masih memakai jubah mandi dan kemudian..
Maya membulatkan matanya saat mengingat ia hendak mengganti jubah mandinya dengan pakaiannya tapi pandangannya menggelap saat ia bahkan belum sampai diambang pintu kamar mandi.
Itu artinya...
"Aaaa..." Maya menjerit dan sedetik kemudian ia telah meraih bantalnya lalu memukul-mukul Marve dengan bantalnya.
"pria mesum..." Teriaknya sambil terus memukul Marve tanpa ampun.
***