Chereads / Main Love / Chapter 26 - Percayalah

Chapter 26 - Percayalah

Maya masih memukuli Marve dengan bantalnya hingga akhirnya Marve menghentikan Maya dan menggengam pergelangan tangannya erat, seketika itu juga Maya terdiam saat Marve menatapnya lekat.

Apa ia marah padaku sekarang? Maya bertanya dalam hati, matanya masih mengikuti kemana bola mata Marve bergerak.

"Aku rasa aku lapar." Ucap Marve tanpa terduga, dan dengan cepat ia melepaskan tangan Maya dan bergegas keluar kamar, "wah pria itu sungguh menyebalkan, bagaimana ia masih dapat memikirkan tentang makan disaat seperti ini?" Gumam Maya frustrasi.

"Marve..." Maya memekik kesal kini karena Marve dapat menghindar dengan mudahnya dari amukannya hanya dengan sekali tatapan.

Marve kini sudah berada di meja makan dengan wajah tegang saat Maya menghampirinya dan menatapnya tajam lalu duduk disebelahnya.

"Pria mesum." Cibir Maya kembali, ia berbisik pelan tapi Marve masih dapat mendengarnya.

"Aku tidak melakukan apapun padamu." Elak Marve, wajahnya masih terlihat tegang, ia bahkan tidak berani menyantap makanan yang sudah tersedia di atas meja makan karena Maya masih menatapnya dengan tajam.

"Bohong. Katakan apa yang sudah kamu lakukan padaku?" Desak Maya.

"Aku tidak melakukan apapun padamu, aku hanya.." Marve mulai gugup, ia bingung harus menjawab apa sedangkan Maya menunggu dengan sangat tidak sabar dan siap mencabiknya jika saja Marve salah berucap.

"Hanya apa?" Sergah Maya tidak sabar, Maya sangat galak dengan aura yang menakutkan membuat Marve sungguh gugup hingga membuatnya berkeringat.

"Aku hanya menyeka keringatmu dan mengganti pakaianmu. Itu saja." Jelas Marve, mereka masih berbicara sambil berbisik kini tapi para pelayan seakan memperbesar daun telinga mereka untuk mendengar percakapan antara Marve dan Maya yang terlihat tengah berdebat kini meskipun akhirnya mereka tidak dapat mendengar apapun.

Maya akhirnya sedikit mengerti, Marve tidak melakukan apapun yang buruk padanya, ia hanya tidak ingin kondisinya menjadi lebih buruk, jadi ia memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lagi, namun Marve masih terlihat sangat tegang.

"Lagipula kita sudah melihat satu sama lain kan, mengapa kamu harus marah jika aku mengganti pakaianmu?" Marve memekik tanpa diduga karena tidak tahan merasa tertekan oleh Maya membuat semua pelayan yang berada disekitar mereka menoleh kini ke arah Marve dan Maya berada, begitupun dengan Maya yang menjatuhkan sendoknya karena ucapan tidak terduga Marve.

Marve yang malu dengan segera meninggalkan meja makan untuk pergi memasuki ruang kerjanya.

Maya sendiri masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya hingga membuatnya mematung sejenak sebelum akhirnya tersadar dan memutuskan untuk mengejar Marve.

"Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu?" Tanya Maya setelah menutup pintu rapat dan menghampiri Marve yang kini berdiri menghadap jendela, ia sangat malu kini dan bahkan tidak berani untuk membalas senyuman para pelayan yang menyapanya saat akan memasuki ruang kerja Marve.

"Apa kamu melakukan sesuatu padaku?"

Marve terlihat gelisah, perlahan ia meraih tangan Maya dan menatapnya. "Percayalah, aku tidak akan melakukan apapun tanpa persetujuanmu." Ucap Marve meyakinkan.

Maya menyipitkan matanya lalu dengan cepat menarik tagannya "Kamu selalu menciumku tanpa persetujuanku!"

Astaga.. Marve memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya karena merasa malu, Maya menang telak atasnya kini. "Itu hal lain, Maya." Protes Marve tanpa tenaga karena yang Maya katakan benar adanya.

Maya masih menatap Marve tidak percaya dengan sorot mata jengkelnya yang semakin terlihat jelas.

"Kamu masih tidak percaya padaku?" Tanya Marve, kini ia melangkah lebih dekat lagi pada Maya dan tanpa ragu Maya menjawabnya dengan anggukan pasti.

"Ya sudah jika kamu tidak percaya, aku akan melakukan apa yang kamu percayai kalau begitu?" Marve dengan langkah cepat menarik tubuh Maya dan mengekangnya dengan mudah hanya dengan satu tangan yang melingkar erat dipinggang Maya kini.

Wajah mereka sangat dekat kini, bahkan detak jantung mereka dapat terdengar satu sama lain yang berdetak cepat tidak aturan.

"Mau mulai dari mana, sayang?" Bisik Marve.

Tuhan selamatkan aku dari pria mesum ini, Maya berdoa dalam hati sambil menghindar sebisa mungkin tapi Marve terus mendekat bahkan terlalu dekat hingga Maya harus menutup matanya rapat karena jika terus melihat mata Marve sedekat ini, ia akan mati lemas saat ini juga.

"Ba..baiklah, aku percaya padamu." Ucap Maya dengan terbata, Marve tersenyum penuh kemenangan kini dan melepaskan pinggang Maya walaupun Maya merasa sedikit menyesal, ia merasa tidak ada hal yang paling nyaman selain dekapan hangat Marve, tapi kini Marve sudah melepaskannya, tapi sedetik kemudian Marve kembali menarik tubuh Maya dan merapat padanya.

"Tapi sekarang aku ingin mencium mu."

"Hah?" 

Kedua bola mata Maya terbuka lebar saat Marve menciumnya, ia tersenyum polos saat mengatakan ingin menciumnya tapi ciuman yang Marve berikan padanya bukanlah ciuman dari pria yang tidak pernah berciuman sebelumnya. Marve dan bibir manis2, Maya tidak dapat menolaknya, tapi ia terlalu malu untuk membalasnya jadi ia hanya diam dan membiarkan Marve menguasai bibirnya.

Ciuman Marve membuat kaki Maya terasa lemas hingga ia nyaris terjatuh jika saja Marve tidak dengan sigap menahan tubuhnya dan perlahan mengangkatnya.

"Lingkarkan kakimu di pinggangku." Bisik Marve saat melepaskan ciuman mereka sebentar sebelum akhirnya kembali mencium Maya dalam.

Seperti terhipnotis, Maya melakukan apa yang Marve katakan, ia mengalungkan kedua tangannya di leher Marve berbarengan ndengan kedua kakinya yang menempel di pinggang Marve.

"Oh..." Maya tidak sadar mendesah saat Marve mulai memasuki rongga mulutnya dan menyesap lidah Maya.

Desahan Maya tentunya membuat Marve semkain menggila, ia ingin menyentuh setiap inci tubuh Maya tapi posisi ini membuat Marve kesulitan untuk menurunkan tangannya agar ia dapat menyusupkan tangannya dibalik baju Maya.

"Marve, aku tidak bisa bernafas." Maya sekuat tenaga akhirnya dapat melepaskan ciuman Marve dan menarik nafas dalam-dalam.

Deru nafas mereka beradu, mereka masih tidak saling berbicara dan hanya saling menatap.

Marve masih menggendongnya tubuh Maya, ia lantas berjalan dengan lembut kearah pintu.

"Mau kemana?" Tanya Maya saat Marve akan membuka pintu.

"Ke kamar." Jawab Marve dengan polosnya.

Kamar? Apa itu artinya Marve akan mengajaknya bercinta? Tanpa di duga, Maya langsung melompat turun. "Aku masih lapar." Ucap Maya asal sebelum pergi meninggalkan Marve.

Maya mengatur nafasnya kini sambil bersembunyi di balik tembok dan memegangi dadanya kencang untuk memastikan kalau-kalau jantungnya tidak meloncat keluar dari tubuhnya karena perasaan tegang yang mendebarkan tadi saat Marve menciumnya.

Ia memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri, setelah merasa tenang ia berjalan ke sisi lemari kaca dan memeriksa dirinya.

Ia melihat pantulannya dari ujun kaki hingga kepala, semuanya masih sama seperti sebelumnya. Tubuhnya tidak merasa lemas ataupun sakit dan leher jenjangnya bersih tanpa bercak-bercak aneh yang dulu pernah didapatkannya saat Marve menciuminya.

Kini Maya dapat menghela nafas lega, Marve sangat menghargainya hingga dalam kondisi sesulit itu Marve tetap dapat menjaga kepercayaannya, dia bahkan meminta ijin untuk menciumnya. Oh Tuhan, Maya merasa wajahnya memanas dan ia tidak dapat menahan senyum di wajahnya.

"Dia pria yang baik." Gumam Maya, ia tersenyum lagi dengan terisipu tapi saat membalikkan badannya ia baru menyadari jika para pelayan tengah menatapnya menggoda.

"Aku hanya memastikan riasan wajahku." Ucap Maya berbohong sebelum kembali pergi mencari tempat persembunyian yang lain agar tidka ad ayang menyadari wajahnya yang tersipu malu.

....

Maya mengiba-ngibaskan tangannya kearah wajahnya yang terasa panas kini. "Ada apa dengan mereka semua? Mereka selalu penasaran dengan apa yang terjadi dengan aku dna Marve. Kami kan suami istri, wajar saja jika sedikit bermesraan." Keluh Maya kesal, saat ini ia berada di halaman rumah, mungkin berjalan-jalan sebentar akan membuatnya lebih tenang dari padah harus menghadapi para pelayan yang akan terang-terangan menggodanya, jadi Maya memutuskan untuk berjalan sebentar menuju taman perumahan tanpa memberitahu siapapun.

Maya berjalan santai sambil melihat pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi kelangit dan berbaris rapih. Ketika angin berhembus, udara terasa sangat sejuk dan wangi dedaunan yang basah dapat membuat hati Maya menjadi dingin kembali dan detak jantungnya sudah kembali normal kini.

Langkahnya menuntunnya ke kursi taman menghadap danau buatan yang airnya terlihat bergelombang karena terpaan angin yang berhembus sedikit kencang. "Aku suka hari mendung, tapi aku tidak suka saat aku tidak dapat berhenti memikirkan kalian yang meninggal dihari hujan karenaku." Maya berbicara sendiri sambil menatap danau dan tersenyum sedih.

Maya kembali menghela nafas berat, harusnya ia tetap berada dirumah dan menghabiskan waktu menyebalkan penuh ketegangan bersama Marve agar rasa sedih tidak merasukinya lagi.

Tapi saat Maya mengangkat kepalanya, sebatang coklat telah berada dihadapannya, Maya mengikuti dari mana asal coklat itu sampai ia menemukan jika seorang pria tampan berkaca mata tengah tersenyum padanya kini dan menunjukan lensung pipinya.

Maya masih belum menerima coklat yang disodorkan padanya, hingga Andre memutuskan untuk duduk disebelah Maya dan meraih tangan Maya kemudian meletakan sebatang coklat itu diatas telapak tangan Maya.

Maya menunduk sedih dan dengan cepat menyeka air matanya yang menetes. "Terima kasih." Ucapnya lirih, pria ini bagaikan malaikat yang dikirim oleh orangtuanya karena perasaan sedihnya kini. Coklat hezelnut selalu diberikan kepadanya saat sedih ketika masih kecil oleh orangtuanya untuk menenangkannya.

"Boleh ku makan coklatnya?" Tanya Maya dengan suara lirihnya, Andre mengangguk pelan tanda setuju.

Dengan tangan bergetar Maya merobek pembungkus coklat yang diberikan Andre padanya dan memakannya perlahan, rasanya masih sama dan tidak ada yang berubah kecuali keadaannya saat ini.

"Aku merindukanmu."

Maya tertegun, ia tidak mengerti mengapa Andre mengatakan hal seperti itu padanya.

Melihat ekspresi Maya yang menjadi tidak nyaman Andre segera meralat ucapannya. "Maksudku, aku merindukan kue buatanmu." Jelas Andre, meskipun ia berbohon karena ia memang sangat merindukan Maya bahkan disaat Maya sedekat ini dengannya rasa rindunya tidak pernah puas.

"Datanglah ke toko bibiku, aku akan memberikanmu diskon." Ucap Maya tersenyum.

"Berjanjilah padaku." Andre menunjukan kelingkingnya dan meminta Maya berjanji padanya tapi entah mengapa rasanya seperti ia menghianati Marve jika ia bersentuhan dengan pria lain.

"Aku berjanji." Ucap Maya tersenyum dan mengabaikan jari kelingking Andre.

Andre kemudian menyandarkan bahunya untuk menutupi rasa kecewanya dan menatap lagit yang mendung. "Aku selalu menyukai langit yang mendung dan wangi dedaunan yang basah."

Maya menoleh dan tersenyum tipis. "Aku juga menyukai langit yang mendung sekaligus membencinya." sahut Maya, matanya berubah menjadi sedih kembali kini.

"Kenapa?" Tanya Andre menatap Maya lekat, kini ia benar-benar yakin jika Maya yang berada dihadapannya kini adalah Maya cinta pertamanya, saat dulu mereka menghabiskan waktu bersama Maya akan selalu mengatakan hal ini setiap kali mendung datang. "Aku ingin menikah dicuaca seperti ini."

Jantung Andre terasa berhenti berdetak, Maya mengatakan semua kalimat itu tanpa satu katapun yang berubah.

Wanita ini sungguh Maya.. Mayaku..

Andre baru saja akan mengatakan siapa Maya sebenarnya tapi kemudian seseorang menarik tangan Maya dan membuatnya terperanjak bangun.

Andre beranjak bangun kini dan hendak marah tapi belum sempat ia berucap pria itu segera menarik Maya kesisinya dan memeluknya erat "Aku mencarimu kemana-mana, aku sangat takut kamu meninggalkanku." Ucap Marve, ia memeluk Maya sangat erat tepat dihadapan Andre yang hanya dapat menatap sedih dengan hati yang sudah hancur berkeping menjadi serpihan yang tidak mungkin dapat ditata ulang terlebih saat Maya perlahan membalas pelukan Marve.

****