"Siapa pria tampan disana? benarkah itu suamiku?"
Marve tersenyum saat mendengar godaan Maya yang kini sudah berjalan ke arah belakang tubuhnya dan bersembunyi di balik tubuh tegapnya.
Marve kemudian membalikan tubuhnya menghadap Maya, tinggi tubuh mereka jelas berbeda karena Maya hanya setinggi seratus enam puluh tujuh centi sedangkan Marve menjulang bagai tiang listrik yang sangat tinggi dengan tinggi seratus delapan puluh dua centi. Perbedaan tinggi mereka menguntungkan bagi Marve karena ia dapat dengan mudah mengintimidasi Maya jika sedang berdiri berhadapan seperti ini.
Perlahan Marve melangkah maju seiring dengan Maya yang melangkah mundur karena Marve terus mendesaknya hingga tubuh Maya dapat merasakan dinginnya dinding menyentuh punggungnya. Tangan Marve sudah berada disisi kedua bahu Maya kini, membuat Maya tidak dapat bergerak bebas.
Mata Marve yang kecoklatan terlihat lebih gelap saat menatap Maya penuh kehangatan membuat Maya kembali menjadi gugup meskipun kini ia berusaha untuk tetap tenang.
Marve tahu, wanita yang kini menjadi istrinya ini memiliki sisi menggoda yang tersembunyi dalam kepolosaanya bahkan wanita berbulu mata lentik ini kini berani membalas tatapan matanya dengan sedikit menurunkan matanya yang bulat menjadikannya bener-benar terlihat sangat menggoda.
"Sudah merindukanku?"
Sial.. Maya mengumpat dalam hati karena kalimat singkat itu berhasil menggetarkan hatinya kembali. Kini ia menyesal karena telah menggoda Marve.
Tapi ia tidak boleh kalah dalam permainan ini, ia yang memulai semua ini maka ia tidak boleh membiarkan Marve menguasai situasi saat ini.
Dengan senyum percaya diri, Maya mengalungkan kedua tangannya di leher Marve dan berkata dengan sedikit menggoda "Sepertinya begitu?" Maya mengedipkan matanya menambah poin kecantikannya yang membuat Marve gusar kini.
Oh Maya... Marve tersenyum kikuk sebelum menarik pinggang Maya merapat ketubuhnya dengan satu tarikan.
Kini Maya tidak dapat menahan tatapan memabukan itu bahkan Marve sedikit mengangkat tubuh Maya agar ia dapat mensejajarkan wajah mereka.
"Haruskah aku tetap dirumah saja sayang?" Goda Marve, hembusan nafas Marve yang dingin berbau mint membuat Maya seketika membeku.
Sepertinya bukan hal bagus menggoda Marve seperti ini karena Marve dapat dengan mudah mengendalikan situasi yang membuatnya tertekan dengan semua intimidasi dan dominasi dirinya yang menguasainya.
Maya menyesal kini, ia sungguh menyesal hingga Maya berbicara pada dirinya sendiri jika ini terakhir kalinya ia menggoda Marve.
"Terpesona olehku?" Marve tersenyum mengejek membuat Maya sadar seketika dan kini memberontak.
"Turunkan aku Marve" Pinta Maya sedikit merengek tapi Marve tidak bergeming.
"Tidak mau, aku tidak akan membiarkan istriku seharian merindukanku yang pergi bekerja. Jadi nikmati dulu ketampananku yang mutlak ini." Marve mengeratkan pelukannya dan tersenyum dengan percaya diri.
Wah.. selain pamrih, angkuh, menyebalkan dan kini narsis juga? Maya tidak habis pikir mengapa semua sifat menjengkelkan itu ada pada diri Marve. "Ayolah Marve.. Veronica akan segera datang. Turunkan aku sekarang." Maya kembali merengek membuat Marve dengan wajah cemberut menurunkan tubuhnya dan kembali menatap cermin sambil memakai setelan jasnya.
Maya menghela nafas lega dan kini berdiri disebelah Marve sambil bersandar pada rak-rak sepatu dan menyilangkan tangannya di dadanya.
"Kamu tidak mengenakan dasi?" Tanya Maya, Marve menggelengkan kepalanya pelan dan menjawab tanpa menoleh. "Aku akan menyuruh asistenku memakaikannya."
"Asistenmu pasti sangat cantik hingga kamu ingin dipakaikan dasi olehnya." Cibir Maya, ia tidak senang. Marve sudah menikah meskipun ada kontrak dalam pernikahan mereka tetap saja Marve adalah suaminya, tidak seharusnya Marve masih dekat dengan wanita lain selain dirinya.
"Kamu cemburu?" Marve melipat kedua tangannya dan menghadap Maya sambil tersenyum menggoda, Maya terlihat sedikit kesal saat ini dan wajah cemberutnya sangat menggemaskan.
"Untuk apa aku cemburu? Membuang waktuku saja." Jawab Maya ketus, ia kemudian melangkah pergi tapi Marve dengan cepat menarik pergelangan tangan Maya dan membuat langkah Maya terhenti. "Aku tidak bisa memakai dasi." Jelas Marve.
Maya belum menoleh tapi matanya melirik kesamping sambil berpikir, aku tidak bertanya alasan bukan? Mengapa Marve begitu tegang saat ini dan bersikap seakan ia takut jika aku marah padanya?
"Aku tidak akan memakai dasi jika kamu tidak suka seseorang memakaikan ku dasi."
Maya akhirnya membalikan tubuhnya, dari raut wajah Marve yang teduh terlihat sorot mata yang sedikit cemas saat ini terlebih Maya tak kunjung berkata dan masih memasang ekspresi kesal.
"Kamu akan terlihat tidak kompeten jika tidak memakai dasi." Komentar Maya, ia jelas berbohong karena saat ini Marve terlihat sangat tampan dan juga sexy dengan kerah baju yang tidak dikancingkan tapi Marve terlihat percaya dengan ucapan Maya dan ia mulai tidak percaya diri kini.
"Aku saja memakaikanmu dasi."
Maya segera meraih salah satu dasi yang menarik matanya dari beberapa deret dasi yang ditempatkan sesuai warna dan motif di dalam laci kaca.
"Memangnya kamu bisa mengikat dasi?" Ledek Marve meremehkan, Maya menyipitkan matanya dan menatap sinis. Maya lantas mengikatkan dasi di balik lipatan kerah baju Marve, perlahan dan rapih saat ia menariknya ke atas.
"Tampan sekali." Puji Maya tanpa sadar, ia kemudian menutup mulutnya dengan cepat. Sial aku keceplosan!
"Maksudku dasinya tampan." RalatMaya sebelum akhirnya ia berlari keluar dari ruang ganti pakaian Marve.
Marve kini hanya tersenyum karena tingkah polos Maya, ia kemudian melihat kearah cermin untuk memastikan jika dasi buatan Maya benar-benar terlihat sempurna melingkar di balik kerah baju Marve dan menggantung indah menutupi kancing-kancing kemejanya yang berbaris.
....
Maya menggandeng tangan Marve dan mengantarnya menuju mobilnya, sebelum Marve berangkat, mereka berhenti sebentar di teras rumah saat menunggu mobil datang dari garasi.
"Bekerjalah yang rajin agar uang belanjaku bertambah." Ucap Maya bergurau. Marve hanya dapat tersenyum dan mengusap lembut pipi Maya.
"Baiklah istriku yang bijaksana dan juga banyak makan..." Balasnya mencubit lembut pipi Maya dan kini berhasil membuat wajah Maya memerah karena tersipu.
Marve meperhatikan penampilan Maya yang semakin hari semakin cantik dilihatnya, wajahnya cerah dan berseri. Rambutnya indah dan bersinar saat ia mengikatnya terlihat lengkungan alami rambut Maya yang hitam dan tebal tapi saat pandangan mata Marve tidak sengaja melihat leher jenjang Maya terlihat bercak merah dibeberapa sudut yang terlihat sangat jelas. Mungkin itulah sebabnya para pelayan sejak pagi selalu tersenyum saat melihat mereka.
Pikiran para pelayan di rumah ini pasti sudah melambung jauh ke angkasa memikirkan kejadian panas dibatas ranjang yang mungkin di lalui Maya dan Marve terlebih Dewi yang sejak pagi terlihat lebih ceria dari biasanya. Ya dia selalu bersemangat jika itu menyangkut dengan Marve dan Maya.
Kejadian di rumah Darwis kembali terlintas dipikiran Marve membuat telinganya menjadi merah kini tapi Marve tidak ingin membiarkan para pelayan kembali menertawakannya saat melihat dirinya kini merona setelah menatap lekat Maya.
"Ada apa?" Tanya Maya, ia memegang lengan jas Marve membuat Marve bertambah menegang kini.
Kenapa Maya sangat menggemaskan, Tuhan?
"Tidak ada hanya kalungmu sangat indah, mengalihkan pandanganku." Jawab Marve tersenyum menggoda, ia mengecup lembut pipi Maya dan segera memasuki mobil yang telah tiba sebelum dirinya kehilangan kendali lagi.
Maya tersenyum, hangatnya kecupan Marve sangat terasa dipipinya hingga ia terus memegangi pipinya yang sedikit basah hingga akhirnya tangannya perlahan turun kebawah menyentuh lehernya, ia penasaran kalung apa yang membuat Marve dapat memujinya tidak seperti biasanya.
Tapi kearah manapun Maya menyentuh lehernya tidak ada benda melingkar dilehernya membuatnya menjadi bingung kini dan segera berlari mencari cermin.
"Astaga.." Maya membulatkan matanya saat menyadari ada banyak sekali bercak kemerahan dilehernya bekas kecupan menuntut Marve saat dirumah kakeknya kemarin.
Maya mencoba menghapusnya tapi tidak hilang hingga akhirnya Maya menyerah terlebih saat para pelayan kini menatapnya yang bercermin melalui cerimin dibalik lemari besar pajangan.
"Jangan menyekanya, itu akan membuat lehermu iritasi nyonya. Bekas cinta itu akan hilang nanti setelah beberapa hari."
Maya kehilangan separuh rohnya saat Dewi mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya, bahkan ia terlalu malu untuk berbalik menatap Dewi yang berdiri patuh dibelakangnya.
"Ini karena digigit nyamuk bu.." Maya mengelak, ia tidak berani menatap wajah Dewi ataupun para pelayan yang sedang melakukan tugasnya dan segera berlari memasuki kamarnya.
"Dasar pria mesum!" Maya memekik kesal, ia sangat malu karena ia tidak menyadarinya bahkan ia tadi berjalan-jalan ditaman dan bertemu dengan pelanggan tampannya yaitu Andre. "Sungguh memalukan.." Teriaknya frustasi.
"MARVE MESUMMM.."
...