Chereads / Main Love / Chapter 16 - waktu bersamamu

Chapter 16 - waktu bersamamu

Waktu bergerak lebih lambat hari ini, mungkin bumi semakin tua hingga ia bergerak begitu lama sekali bahkan satu detik begitu lama berganti menjadi menit.

Hal itulah yang dirasakan oleh Marve dan Maya, karena entah berapa banyak mereka menoleh kearah jam, jarum panjang pada jam itu tidak juga bergerak dan hanya diam ditempat.

Hari ini Maya mendapatkan pelajaran lebih ketat karena kemarin Veronica terpaksa harus pulang sebab Maya dan Marve tak kunjung keluar dari kamarnya meski matahari telah memanjat ke atas langit. Kini Maya harus membayarnya dengan setumpuk buku kosa kata yang harus dihapalnya dalam waktu singkat, Veronica akan mengujinya setiap lima belas menit sekali untuk seratus kosa lengkap dengan kata kerjanya, ini sebuah penyiksaan. Maya mengeluh setiap saat saat Veronica menghukumnya menambahkan dua puluh kosa kata baru jika ia tidak dapat menghapal semua kosa kata yang diberikan oleh Veronica sebelumnya.

"Bisa kita istirahat sebentar? Kepalaku sedikit pusing dan juga mual." Ucap Maya beralasan, ia hanya muak dengan semua pelajaran hari ini yang membuat otaknya terasa terbakar.

"Tidak bisa!"

"Kejam!" Cibir Maya pelan meskipun Veronica dapat mendengarnya tapi ia hanya melirik tanpa berucap sepatah katapun.

Belum hilang sakit kepala yang dirasakan Maya, kini Veronica telah menyuruhnya memakai sepatu dengan hak tinggi.

"Kaki ku bisa patah jika memakai ini!" Protes Maya saat pelayan memakaikannya sepatu hak setinggi tujuh belas centi dikaki Maya.

"Apa selama ini kaki ku patah?" Tanya Veronica. Maya baru menyadari jika Veronica memakai sepatu hak tinggi juga dan dia terlihat sangat tenang mungkin ia dapat berlari dengan sepatu yang seperti sebuah jarum itu karena memiliki sisi lancip. Kini Maya hanya dapat diam dan menuruti perintah Veronica yang menyuruhnya berjalam lurus mengikuti garis dengan kepala yang ditegakkan.

Dengan tertatih Maya berusaha berjalan bahkan hingga ia harus terjatuh tapi Veronica seperti robot yang tidak memiliki hati karena saat pelayan lain ketakutan ketika Maya terjatuh ia malah menyuruh Maya meneruskan langkahnya tanpa rehat sedikitpun.

***

Marve baru saja meminta Bisma mengganti baterai jam dinding diruangannya karena merasa jika jam disana tidak kunjung bergerak meskipun sebenarnya tidak ada masalah apapun dengan jam dinding itu.

"Apa kamu meledek ku?"

Bisma mengkerut ketakutan saat Marve membuuka suara saat ia baru saja turun dari tangga.

"Jamnya masih bergerak lambat, kamu ingin membohongiku?" Tanya Marve berjalan mendekat.

Bisma hanya diam menunduk takut kini dan menjawab pelan "Waktu memang selalu terasa lama jika anda tidak bersama dengan orang yang anda cintai pak."

Marve menoleh dan menatap tajam kini, Bism merasa mungkin ia akan dipecat saat ini juga karena Marve terlihat sangat tidak senang.

"Benarkah?" Tanya Marve polos, Bisma segera mengangkat kembali kepalanya, tentu saja ia merasa terkejut sekaligus bingung. Sudah lama ia tidak mendengar nada suara pelan tanpa penekanan terucap dari bibir Marve karena biasanya Marve selalu berbicara dengan nada marah.

"Memangnya siapa yang aku cintai?" Marve berpikir dan berbicara sendiri kini.

"Istri Anda tentunya pak." Sambar Bunga yang sejak tadi berdiri di sebelah Bisma, ia begitu takut tapi mulutnya tidak dapat dikendalikan karena melihat Marve begitu penasaran kini.

Istriku?

Maya? Marve tidak dapat memahaminya lagi, mungkinkah ia telah jatuh cinta pada May atau ia hanya belum kembali terbiasa bekerja hingga waktu terasa lama?

Tapi tidak mungkin? Ia dan Maya tidak akan pernah saling jatuh cinta, mereka hanya terlalu tenggelam dalam peran mereka sebagai sepasang suami istri.

Ya.. mereka hanya terlalu masuk kedalam peran mereka hingga kini bahkan ia merindukan senyum ceria Maya.

Oh Sialan...

Apa aku sungguh merindukan Maya sekarang? Marve mengusap wajahnya gusar dengan kedua tangannya. Ia frustrasi memikirkan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Maya sehingga bmembuat perasaannya gelisah seperti ini.

"Bunga.."

"Ya pak?" Bunga menahan nafas kini, ia sungguh berani karena ikut campur masalah pribadi bosnya, mungkin ia akan dipecat saat ini juga.

"Tidak jadi!" Marve ingin bertanya pada Bunga tentang hadiah apa yang disukai seorang wanita, tapi Marve kembali tersadar mungkin memberikan Maya hadiah itu berlebihan dan hanya akan membuatnya bertambah terjerumus dalam perannya sebagai suami Maya.

"Katakan apa jadwal kita selanjutnya."

***

Hari telah larut, ini sudah hampir jam sepuluh malam tapi Marve belum juga pulang.

"Apa ia selalu bekerja sekeras ini. Pantas saja dia kaya." Maya berbicara sendiri tanpa ada orang lain yang menemaninya saat termenung di depan semua tugas-tugasnya yang satupun tidak masuk kedalam sel otaknya.

"Dan semua kertas-kertas ini lebih melelahkan dari pada berjualan seharian." Maya merebahkan kepalanya diatas kertas-kertas itu dan kembali memikirkan Marve.

Apa yang sedang dia lakukan saat ini?

Apa ia makan dengan baik?

Apa dia melewati harinya dengan menyenangkan atau dia gelisah karena memikirkan ku juga?

Maya mengangkat kembali kepalanya, tidak seharusnya ia mengharapkan Marve memikirkannya. Siapa dirinya berani berharap pada Marve. Sebaiknya menyerah sebelum terluka apalagi kemungkinan besar ia Kana kehilangan kontrak pernikahan mereka dan itu hanya akan membuat keluarganya kembali menderita.

"Fokuslah Maya, waktumu kurang dari satu minggu lagi sebelum resepsi pernikahanmu diselenggarakan!" Maya meyakinkan dirinya sendiri dan kembali menghapal satu persatu kosa kata yang tertera di dalam kertas-kertas itu.

"Jika saja waktu itu aku mau belajar dengan benar." Maya kembali menyesali akan kemalasannya dulu saat masih sekolah.

Tapi waktu tidak akan pernah berputar kembali, penyesalan tidak akan merubah apapun dimasa lalu.

Meskipun begitu, Maya tetap tidak dapat belajar saat ini karena kepalanya dipenuhi oleh pikiran tentang Marve.

Maya kemudian memutuskan pergi kedapur dan membuka lemari pendingin. Ada banyak bahan disana tapi Maya tidak pandai memasak selain membuat kue, maka daripada merasa jenuh Maya bermaksud membuat kue untuk ia makan sebagai cemilan.

Sesuatu yang manis akan membuat otaknya sedikit berbaik hati dengannya dan pelajaran itu akan mudah dimengertinya. Oh semoga saja.

Tanpa membuang waktu, Maya memasukan satu-persatu bahan kedalam wadah dan mulai membuat lapis legit dengan loyang kecil.

"Pasti enak sekali.." Maya tersenyum saat memasukkan adonannya kedalam oven.

Ia kemudian menunggu dengan sabar sambil bersenandung.

"Kamu terlihat senang berada dirumah ini tanpaku."

Maya menoleh ke arah suara berat itu, suara yang seharian ini dirindukannya.

Saat Maya menoleh Marve sudah membuka jasnya dan meletakan tas kerjanya di meja dapur. Marve kemudian berjalan mendekat sambil melepaskan kancing kemejanya dan membukanya.

"Panas sekali!"

Maya memalingkan wajahnya dengan cepat saat Marve melepaskan semua kemejanya dan menunjukan badan kekarnya.

"Jangan berpura-pura polos padahal kamu sudah melihat semuanya saat hari pertama pernikahan kita." Ucap Marve, pria itu tanpa malu berjalan kearah lemari pendingin dan mengambil air putih sejuk untuk diminumnya.

Tetesan air yang diminumnya mengalir melewati lehernya dan belahan dada kekarnya membuat Maya tidak dapat melewatkan pemandangan luar biasa yang membuatnya tegang seketika. Oh Tuhan, jika saja pernikahan ini bukanlah pernikahan kontrak apakah setiap malam mereka akan melalui malam yang menggairahkan? 

Dan ketika Marve menyadari pandangan Maya ia segera menghampiri Maya dan duduk dihadapannya.

Maya segera memalingkan wajahnya yang kini sudah pasti berubah menjadi berwarna merah. "Sial aku ketahuan." Maya mengumpat dalam hatinya, menyesal akan kebodohannya sendiri dan tentunya pikiran mesum yang entah datang dari mana asalnya karena sebelumnya Maya tidak pernah memikirkan soal asmara dan Marve adalah pria satu-satunya yang pernah menciumnya tapi sekarang pikirannya sudah berubah menjadi kotor, berandai-andai seolah ia adalah wanita berpengalaman yang haus akan sentuhan.

Oh Maya, kamu sangat menjijikkan. Maya sekali lagi mengumpat untuk dirinya sendiri.

Marve tersenyum, ia sebenarnya hanya menggoda Maya tentang cuaca panas dan rasa hausnya. Marve hanya merindukan ekspresi wajah Maya yang menggemaskan.

"Pakailah bajumu, kamu akan masuk angin!" Ucap Maya menyembunyikan kegugupannya.

Maya kemudian beranjak kearah oven dan mengeluarkan kue buatannya dari dalam oven sementara Marve hanya memutar badan dan mengikuti kemana Maya bergerak.

"Kalau seperti ini aku tidak akan masuk angin." Marve memeluk Maya dari belakang dan menyandarikan kepalanya di curuk bahu Maya.

"Mengapa kamu sangat pendek!"

"Marve lepaskan aku!" Maya memberontak tapi Marve tidak menggubris. "Tidak mau. Aku sangat merindukan istriku!" Jawabnya santai.

"Pria mesum!" Maya kemudian meletakan loyang panas lapis legitnya diatas meja dan setelah itu dengan sekuat tenaga ia menginjak kaki Marve.

"Akh!" Suara ringisan terdengar tapi bukan Marve yang meringis kesakitan melainkan Maya.

Ia lupa jika kakinya terkilir saat tadi belajar berjalan menggunakan sepatu hak tinggi.

"Kamu yang menyiksaku, tapi kamu yang kesakitan." Marve tersenyum dan melepaskan pelukannya dari tubuh Maya, ia kemudian meraih kemejanya dan memakainya lagi.

Tapi setelah menyadari jika Maya berjalan dengan sedikit pincang wajah Marve seketika berubah cemas.

"Apa kaki ku sekeras itu?" Tanya Marve mendekat.

"Bukan, kakibku memang sakit karena tadi terjatuh. Lihatlah!" Jawab Maya, ia menunjukan sedikit memar dipergelangan kakinya.

Marve segera berjongkok dan menyentuh kaki Maya yang membiru. "Apa yang terjadi?" Tanyanya, ia terlihat sangat gelisah.

"Hanya sedikit terkilir, saat aku belajar menggenakan sepatu hak tinggi lalu kemudian aku terjatuh." Jawab Maya, ia menarik kakinya karena merasa tidak enak kepada Merve yang rela berjongkok dan menyentuh kakinya. "Aku bersyukur kamu sedang bekerja karena kamu pasti akan menertawakan ku saat aku terjatuh tadi." Lanjut Maya yang sebenarnya hanya ingin memecah kecanggungan diantara mereka karena Marve tiba-tiba saja terdiam.

Marve tidak berkata lagi saat itu, ia beranjak bangun dan segera menggendong tubuh Maya.

"Apa yang kamu lakukan Marve? Turunkan aku!" Pinta Maya berontak saat Marve membawanya ke sofa dan meletakannya dengan lembut. Wajah tampannya terlihat begitu jelas saat ia menurunkan tubuh Maya perlahan, membuat hati Maya kembali berdebar.

"Tunggulah disini."

Marve berjalan dengan cepat mengambil kotak obat dan kembali pada Maya, dengan perlahan ia menyapukan salep pereda nyeri pasa pergelangan kaki Maya dan membungkusnya menggunakan perban. "Kaki ku baik-baik saja Marve, aku bukannya patah tulang!" Ucap Maya tapi Marve tidak mendengarkan dan hanya menatap Maya membuatnya sedikit takut dan memilih diam terlebih saat perbannya dikencangkan kakinya kembali terasa sakit.

"Haruskah kita ke rumah sakit?" Tanya Marve, sorot matanya masih terlihat gelisah.

"Tidak perlu Marve, aku baik-baik saja sungguh. Besok kaki ku akan sembuh karena suamiku telah mengobatinya dengan sangat baik."

Kecemasan Marve perlahan menghilang dan hatinya menghangat saat Maya mengatakan jika dirinya telah mengobatinya dengan baik.

"Lihatlah wajahmu memerah, apa yang kamu pikirkan sekarang?" Maya menunjang dagunya dan menatap Marve lekat.

"Memikirkanmu.." Jawab Marve terdengar serius, Maya menarik wajahnya menjauh karena hatinya kembali berdebar.

Marve kemudian beranjak bangun dan duduk disebelah Maya, ia kemudian mendekat dan mengulurkan tangannya kebelakan punggung Maya perlahan dan pasti tapi kini Maya menjadi gusar dan menarik tubuhnya.

"Marve.. ini tidak lucu." Ucap Maya, ia berusaha untuk tenang tapi Marve terus mendekat dengan tatapan tajamnya.

"Haruskah aku berteriak meminta tolong?" Maya bertanya dalam hati dan kini matanya telah terpejam karena rasa takut, tatapan Marve mungkin dapat membuatnya terbunuh saat ini juga.

"Huu..." Marve meniupkan sedikit udara dari bibirnya membuat Maya perlahan membuka matanya kemabali dan setelah itu Marve tertawa.

"Kamu sungguh menggemaskan!" Ucapnya seraya mengusap rambut Maya lembut dan kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil kue buatan Maya.

"Lumayan!" Ucap Marve saat telah mencicipi kue buatan Maya yang sebenarnya terasa sangat enak.

Maya menatap kesal dan segera merebut kue lapis legit yang dipegang oleh Marve. "Ini punyaku, satu gigitan satu juta!" Ucap Maya, Marve tersenyum dan kembali mendekatkan wajahnya.

"Bagaimana jika satu gigitan satu ciuman." Ucap Marve menggoda, Maya melotot wah apa yang ada dipikiran pira ini hanya ciuman? Siapa dulu yang mengatakan jika bibirku ini pahit?

Dasar sinting..

"Makan saja untukmu gratis!" Pekik Maya, ia mengembalikan kue lapis legit itu pada Marve dan dengan senang hati Marve memakannya sambil terus berkomentar "lumayan.." membuat Maya bertambah kesal dibuatnya.

"Kalau lumayan tidak perlu dimakan!" Teriak Maya kesal berusaha untuk mengambil kue itu dari tangan Marve namun Marve malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"MARVE!"

"Maya, kenapa kamu tidak menaruh krim diatas kuenya?"

"Oh astaga Tuhan! Itu kue lapes legit Marve, bukan kue ulang tahun. Bodoh! Apakah kamu tinggal di planet Mars selama ini? Bagaimana kamu tidak mengenal kue tradisional negara mu sendiri?"

"Itu karena kalian kurang promosi."

"Oh Tuhan, berikan aku kesabaran lagi..."

***