Germercik suara air yang menyentuh lantai kamar mandi terdengar jelas dan jernih, tapi debaran dijantung Marve melebihi suara gemercik air yang saat ini menerpanya bersama Maya.
Ia sudah kerasukan, sebuah perasaan yang tidak dapat dimengertinya hingga ia kehilangan kendali dan menarik tubuh Maya merapat padanya.
Ditatapnya dua mata jernih yang kini menatap bingung. Ia mencari sebuah jawaban yang dapat mendeskripsikan perasaan yang dirasakan saat ini.
Mungkinkah ia telah jatuh cinta? atau mungkin ini hanya sebuah hasrat karena ia telalu dekat dengan Maya seperti saat ini?
"Pejamkan matamu atau jangan berkedip sedetikpun." Marve menatap serius kedua mata Maya yang mulai terlihat gelisah kini sedangkan tangannya tidak dapat melepaskan pinggang ramping Maya.
Ia mendekatkan wajahnya saat Maya tidak gentar menatapnya, hatinyapun sama berdebarnya tapi Maya berusaha keras agar tetap terlihat tenang tapi Marve terus mendekat hingga Maya dapat merasakan jika tubuhnya mulai bergetar kini.
Marve sudah tidak tahan lagi, dia mencium bibir Maya tanpa ragu dan sedikit memaksa. menciumnya sampai akhirnya Maya menyerah dan perlahan membalas ciuman yang Marve berikan padanya, lidah mereka bertautan, Marve tidak dapat membiarkan rasa manis dari bibir Maya terlepas darinya sehingga ia menggendong tubuh Maya dan mendudukkannya di atas wastafel.
Nafas Maya terengah-engah, ia sudah hampir kehabisan nafas jika saja Marve tidak melepaskannya segera namun bukan untuk meninggalkan Maya melainkan untuk melepaskan baju yang dikenakannya, Marve bertelanjang dada sekarang dan dengan cepat Marve kembali mendekati Maya dan merobek gaun tidur Maya dengan mudah menyisakan pakaian dalam berwarna hitam yang membungkus payudaranya.
"Maya..." Suara Marve terdengar serak, ia merengkuh wajah Maya dan bersikap menciumnya lagi, tapi taangan Maya menyentuh bibir lembut Marve tepat sebelum Marve berhasil menciumnya lagi.
Maya tidak ingin kehilangan kendali, karena ciuman yang sebelumnya Marve berikan sangatlah membukakan sehingga ia tidak ingin berhenti menyesap bibir Marve, tapi kenyataan tidak semanis bibir Marve.
"Jangan mengujiku Marve, lupakan perkataanku tentang mimpiku semalam..."
Marve tidak berhenti melepaskan tatapannya yang kini perlahan terasa dingin menusuk kulit Maya, tapi ia menarik kepalanya sedikit menjauh.
"Aku tidak akan menggunakan perasaan dalam hubungan kita, aku tidak akan jatuh cinta padamu Marve." Maya perlahan melepaskan tangan Marve dari wajahnya dan tersenyum lembut.
"Mandilah lebih dulu." Ucap Maya sebelum meninggalkan Marve sendiri.
Marve belum mendapatkan jawaban yang dicarinya tapi hatinya merasa kecewa saat Maya mengatakan hal seperti itu sekaligus mengingatkannya jika pernikahan ini memiliki jangka waktu yang singkat, ia tidak boleh terbuai. Mungkin ia terlalu bersikap hangat terhadap Maya sehingga menjadikannya kehilangan kendali.
....
Maya menuruni tangga perlahan saat Marve telah duduk dimeja makan, ia memakai gaun putih diatas lutut kali ini, rambutnya ia kuncir santai dan bahunya terlihat bersinar saat lampu menerpanya.
Lagi-lagi Marve tidak dapat melepaskan pandangannya pada Maya jika saja Dewi tidak mengingatkannya, Marve akan memasukan sendok kosong kedalam mulutnya.
"Apa aku lama?" Tanya Maya, ia terlihat ceria seperti biasanya tidak seperti Marve yang merasa sedikit canggung hingga ia hanya menggelengkan kepalanya singkat.
Pelayan kemudian menyajikan makanan di atas piring Maya tapi Marve sudah selesai makan dan meninggalkan meja makan.
Maya menoleh, ia merasa sedikit sedih saat Marve meninggalkannya. Marve biasanya menunggunya untuk makan bersama tapi kali ini Marve makan lebih dulu, tapi Maya mencoba berpikir positive mungkin saja Marve sudah sangat lapar atau mungkin Marve marah karena ia menolaknya tadi? Tapi bercinta tidak ada dalam kontrak pernikahan mereka.
Maya sudah selesai makan, sejujurnya ia tidak berselera. Untuk pertama kalinya ia merasa tidak enak makan padahal hidangan yang disajikan tidak pernah mengecewakan lidahnya tapi perasaan Maya menjadi gelisah sejak ia keluar dari kamar mandi tadi meskipun Maya berusaha bersikap seperti biasanya tapi sejujurnya Maya sangat gugup saat melihat Marve tadi.
Dewi telah memberitahu Maya jika Veronica telah pulang, jadi ia tidak memiliki kegiatan apapun saat ini. Maya kemudian mencari dimana Marve karena sejak tadi ia tidak melihatnya, sepertinya meminta maaf adalah jalan terbaik agar hubungan mereka tidak berubah.
Maya masih mencari Marve sampai akhirnya Maya melihat Marve termenung di dalam taman mawarnya.
Maya baru saja akan masuk tapi perasaan ragu merasukinya, ia takut Marve akan kembali menghindarinya seperti di meja makan tadi.
"Tidak mau masuk?" Suara Marve tiba-tiba terdengar membuat Maya terkejut.
"Bolehkah?" Tanya Maya hati-hati.
"Tentu saja, selama kamu menjadi istriku.. kamu adalah nyonya dirumah ini, tidak ada satupun tempat yang tidak bisa kamu masuki." Marve membukakan pintu untuk Maya, ia berusaha tersenyum meski ia masih dapat merasakan rasa kecewanya tapi tidak ada alasan baginya untuk bersikap dingin pada Maya terlebih jika sikapnya menjadi dingin pada Maya maka mata-mata yang dikirimkan kakeknya dirumah ini pasti akan melapor pada kakeknya.
Maya tidak mau membahas kejadian tadi, jadi ia mengikuti langkah Marve dan duduk dibangku tepat dipusat taman mawar ini.
Mawar-mawar disini tidak hanya berwarna merah dan merah muda tapi juga berwarna kuning dan biru bahkan hitam.
"Mawar ini sungguh cantik, aku belum pernah melihat mawar dengan warna seperti ini." Maya menghampiri mawar yang mencuri perhatiannya, mawar biru gelap nyaris berwarna hitam tapi sungguh indah.
"Boleh aku memetiknya?" Maya bertanya tapi tanganya telah menyentuh tangkai mawar itu membuat jarinya terluka dan berdarah.
Maya meringis kesakitan saat Marve melihatnya "bodoh." Cela Marve tanpa mau membantu menyeka darah Maya yang menetes kini.
Wajah Maya terlihat jengkel dengan ucapan Marve tapi dia memang pantas mendapatkan celaan itu karena memang ia tidak berhati-hati.
Maya baru akan menurunkan tangannya saat Marve dengan cepat menarik tangan Maya yang terluka dan menyesap jarinya.
"Darahnya akan menodai bajumu.." Marve terus menyesap jari Maya yang membuat hati Maya sedikit bergetar.
Marve tahu perbuatannya menimbulkan kecanggungan kembali saat ini, tapi bahkan darah Maya terasa manis. Aku sepertinya sudah benar-benar gila...
Maya menarik tangannya saat Marve mulai menatapnya masih dengan menyesap jarinya membuat tubuh Maya mendadak terasa panas dan menegang.
Kini Maya memilih untuk kembali duduk di kursi taman, di ikuti oleh Marve.
Maya sudah memegang setangkai mawar biru yang sudah Marve petikan untuknya.
"Marve.."
"Ya.."
"Tidakah kita terlalu mendalami peran kita?"
Marve terdiam, ia tidak buru-buru menjawab pertanyaan Maya yang menjebaknya karena ia juga merasakan hal yang sama.
"Terlepas dari kontrak, kita memang sepasang suami istri."
Itu benar, tidak ada poin dalam kontrak yang menyebutkan jika mereka hanya berpura-pura tapi hanya ada dua poin dalam kontrak itu yaitu Maya harus menjadi istri yang sempurna untuk Marve dan Maya tidak boleh jatuh cinta pada Marve.
Maya terdiam kini, jujur saja ia takut jika akan jatuh cinta pada Marve.
"Veronica sudah pulang ya.." Marve mengalihkan pembicaraan agar suasana kembali mencair.
"Iya, bu Dewi bilang ia menunggu hingga jam sepuluh. Siapa yang menyangka kita berdua bisa bangun kesiangan." Maya mencoba tersenyum meski tidak selepas biasanya, Marvepun hanya tersenyum tipis.
"Bagaimana jika kita mengunjungi adik dan bibimu sekaligus memberitahu mereka akan pesta pernikahan kita yang akan diadakan sebentar lagi."
Maya sangat senang mendengar Marve mengajaknya berkunjung kerumahnya, ini sudah hampir satu minggu dan Maya sangat merindukan keluarganya.
"Terimakasih Marve.." Maya tidak kuasa menahan rasa bahagianya, ia lantas memeluk Marve erat dan singkat sebelum bergegas keluar mempersiapkan diri.
Bersikap tenanglah Marve dan jangan sampai melewati batas lagi, maka kalian tidak akan melukai satu sama lain karena cinta mengintrupsi hati kalian.
Dengan begitu kalian akan tetap bisa bersikap seperti biasa dan berpisah tanpa beban nanti.
Marve meyakinkan hatinya, semua yang dirasakanya bukanlah cinta dan akan belajar mengendalikan dirinya lebih kuat lagi.
...
Maya terlihat kesulitan memakai seat belt membuat Marve harus turun tangan karena sudah merasa tidak sabar.
Hati Maya kembali sedikit bergetar, jika sedikit demi sedikit hatinya bergetar seperti ini apa getaran hatinya akan berubah menjadi debaran yang sebabkan oleh rasa cinta.
Tidak, tenanglah Maya..
Kendalikan dirimu, semua akan baik-baik saja seperti hari sebelumnya. Ingat tujuanmu menikah bukan untuk jatuh cinta padanya tapi hanya untuk keluargamu.
Maya menatap wajah Marve yang menatap lurus kedepan, wajahnya begitu tenang dan mempesona.
"Jangan menatapku, atau kamu akan jatuh cinta padaku."
Maya memalingkan wajahnya saat Marve mengatakan hal tidak terduga seperti itu.
"Mustahil.." Elak Maya, Marve tersenyum karena Maya mengatakannya tanpa beban.
"Bagaimana jika aku yang jatuh cinta padamu.."
Maya tertegun kini, Marve sungguh mengujinya saat ini, harusnya ia tidak menceritakan tentang mimpinya pada Marve.
"Pesonaku memang tidak terbendung.." Maya mengibaskan rambutnya, ia memilih kembali bersikap konyol dan berhenti mengaitkan ucapan Marve dengan perasaan, begitupun dengan Marve yang tidak bisa menahan tawa karena lelucon yang Maya lontarkan.
"Ya..ya.. Karena rambutmu sudah tidak kusut lagi aku sedikit terpesona, tapi hanya sedikit sekitar satu centi.." Balas Marve, Maya tertawa karena ia memang sadar akan rambut kusutnya dulu.
Ditengah tawa mereka, ponsel Marve berdering dan Marve segera mengangkatnya.
Wajahnya perlahan menjadi muram dan tanpa pikir panjang Marve membanting stir dan memutarkan mobilnya.
"Apa yang terjadi Marve?" Maya bertanya tapi Marve mengabaikannya membuat Maya tidak berani bertanya lagi karena wajah Marve terlihat sangat risau kini.
....