Mobil Marve melaju cepat melewati mobil-mobil yang bergerak kearah yang sama.
"Tenanglah Marve.." Maya mencoba menenagkan Marve tapi Marve sama sekali tidak mendengar hingga mereka tiba di sebuah rumah besar dengan halaman seluas lapangan bola dengan pohon cemara yang menjulang tinggi berbaris di tepi jalan utama menuju pintu masuk rumah itu.
Marve mengabaikan Maya dan segera masuk kedalam rumah, Maya mengikuti Marve dengan rasa bingung yang tidak terjawab.
Apa yang sebenarnya mengusik suaminya hingga ia sangat cemas seperti ini?
"Kakek.." Marve berteriak saat memasuki rumah itu, tapi suasana rumah begitu tenang bahkan terbilang sepi, ia begitu khawatir saat mendengar jika kakeknya jatuh di kamar mandi tapi yang dilihatnya kini tidak sesuai dengan situasi yang dikatakan pengawal kakeknya padanya.
Maya kini telah berada disebelah Marve, ia melihat seorang pria tua yang dulu meneriakinya di lift. Pria itu tengah tertawa dengan seorang gadis cantik seumuran dengannya.
"Apakah itu istri muda kakekmu?" Maya berbisik, Marve tidak bisa menahan senyumannya padahal ia baru saja akan marah karena ternyata kakeknya hanya membual soal dirinya jatuh dikamar mandi.
Marve kemudian meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat. "Anda sudah baik-baik saja kakek?"
Darwis menoleh mendengar suara cucu kesayangannya dan dengan senyum merekah ia beranjak bangun dibantu oleh seorang gadis yang bersamanya sejak tadi tapi senyumnya kemudiam turun begitu ia melihat Marve tidak datang sendirian.
"Aku baik-baik saja."Jawab Darwis ia senang karena Marve mengkhawatirkannya tapi ia sama sekali tidak senang dengan seseorang yang berdiri di sebelah Marve. Ia terlihat cantik dan anggun tapi memiliki sisi ceria yang terlihat diwajahnya meskipun begitu Darwis tetaplah tidak perduli, derajat mereka jelas berbeda meskipun ia secantik seorang dewi, Maya tetaplah gadis miskin.
"Mengapa kamu membawa gadis miskin itu memasuki rumahku." Wajah Darwis berubah menjadi garang kini.
"Dia tidak miskin lagi kakek, dia sudah menjadi istriku. Itu artinya ia memiliki sebagian hartaku." Balas Marve, ia menarik tubuh Maya lebih dekat lagi padanya dan menambah kekesalan Darwis.
Wah kakek tua dia hadapannya ini sangat angkuh, Maya hanya dapat diam dan tersenyum sambil bersandar manja pada Marve.
"Tetap saja dia gadis yang terlahir miskin." Darwis tidak berhenti mencela Maya dan menatapnya penuh penindasan.
Memangnya apa yang salah dengan terlahir miskin? Maya tidak ingin menjawab ucapan Darwis tapi hatinya terasa sakit. Jika saja Darwis tahu jika dirinya lahir dari keluarga kaya bahkan cukup kaya untuk menyaingi mereka apa sikapnya akan sama?
Maya tahu seberapa besar kerajaan bisnis yang dulu dimiliki ibunya, karena itulah dulu ia tumbuh menjadi gadis manja yang harus mendapatkan apapun yang diinginkannya. Tapi setelah kematian orang tuanya, ia merubah dirinya. Maya menanamkan sesuatu dibenaknya jika ia memang terlahir miskin dan kemewahannya yang lenyap dalam semalam hanyalah sebuah mimpi manis jadi berubah menjadi gadis miskin tidak akan mempengaruhi hidupnya.
jika ia terlahir miskin mungkin saja ia tidak akan menjadi gadis manja dan kedua orangtuanya masih hidup sampai saat ini karena ia tidak akan meminta apapun pada mereka hari itu. Hari dimana Maya merengek kepada orang tuanya untuk dibelikan oleh-oleh yang membuat orang tuanya harus meninggal dunia diperjalanan membeli oleh-oleh untuknya. Setidaknya Maya masih memiliki keluarga yang utuh jika saja ia terlahir miskin.
"Meskipun ia berubah menjadi seekor angsa sekalipun, ia tidak akan dapat terbang. Ia tidak akan mampu menjangkau kita yang berada dipuncak dunia." Darwis berucap dengan keangkuhannya dan rasa benci yang tidak terbendung. Marve begitu mirip dengannya tapi mengapa Marve tidak dapat mengikuti standarnya dan malah menjatuhkan reputasi keluarga dengan menikahi gadis miskin seperti Maya.
Maya sadar betul akan tatapan meremehkan wanita disebelah Darwis dan juga tatapan hina dari Darwis yang ditunjukan padanya. Maya menahan nafasnya, ia berusaha untuk tersenyum dan berkata dengan tenang. "Kakek, uangmu mungkin membuatmu terlihat hebat. Tapi tuhan bisa saja membalikan keadaanmu dalam semalam. Hidup ini bukan hanya si kaya dan si miskin tapi si bersih hati dan si gelap hati. Meskipun miskin tapi jika memiliki hati yang bersih orang itu akan menjadi hebat. Aku yakin kakek bukan bagian dari sigelap hati bukan? Jadi berhenti menghinaku dan terima saja aku." Matanya melolot kini seakan ingin keluar dan menghajar Maya yang sudah berani berbicara seperti itu padanya.
Marve menoleh kearah Maya, ia tahu Maya memiliki sifat lancang dalam dirinya saat ia berani melawannya tapi kali ini kalimat Maya dan caranya menghadapi tekanan kakeknya membuat Marve terkesan. Maya memang pantas menjadi istrinya, melihat ekspresi terkejut kakeknya Marve hanya dapat menahan rasa senang dihatinya, penghinaan yang dilontarkan kakeknya pada Maya sama persis seperti penghinaan yang biasa kakeknya lontarkan pada ibunya, hanya saja ibunya tidak pernah membalas dan hanya dapat menyimpannya didalam hati selama hidupnya dulu.
Tapi Maya berbeda, ia sungguh gadis tangguh yang tidak dapat ditindas begitu saja.
Darwis kini menjadi bertambah kesal lagi dan berjalan satu langkah lebih dekat pada Maya, mungkin jaraknya cukup jauh tadi sehingga Maya tidak dapat merasakan aura kebenciannya pada dirinya. "Gadis lancang, berani sekali kamu menasehatiku!" Darwis menggeram, ia menunjuk Maya dengan tongkatnya tapi Maya tidak gentar.
"Kakek, orang yang bijaksana tidak akan mencela orang lain hanya karena status harta dan sosialnya." Jawab Maya kembali.
Luar biasa, Maya sungguh berani. Marve menahan senyumnya. Kalimat Maya sangat jelas menyinggung Darwis hingga Marve dapat melihat wajahnya yang merah padam kini.
"Sungguh tidak sopan.." Wanita disebelah Darvis mencibir Maya membuatnya tidak terima, wanita itu adalah wanita yang sama yang diperkenalkan Darwis kepada Marve, dia adalah Tiffani.
"Istri muda bicaralah lebih jelas, aku tidak dapat mendengar cibiranmu."
Tiffani mengkerut, gadis dihadapnnya ini tidak sepolos yang terlihat dari penampilannya.
"Dia bukan istri mudaku, dia adalah wanita yang akan aku jodohkan dengan Marve. Dia adalah gadis berpendidikan dan pewaris grup Wings. Lancang sekali kamu menghinanya seperti itu." Bela Darwis, Tiffani tersenyum penuh kemenang saat Darwis membelanya sedangkan menatap Maya penuh rasa benci kini.
Grup Wings..
Hati Maya kembali bergetar mendengar nama perusahaan itu. Perusahaan yang harusnya adalah miliknya jika orang tuanya tidak meninggal. Mungkinkah ia akan berada diposisinya seperti saat ini jika musibah itu tidak menimpanya?
"Aku sudah menikah kakek, menyerahlah. Bahkan jika aku belum menikah aku tidak akan memilih wanita disebelahmu karena ia lebih pantas menjadi istri mudamu. Kalian terlihat serasi." Marve menolaknya dengan tegas dan malah memeluk Maya dari belakang lantas menunjukan kemesraannya di hadapan Darwis dan Tiffani tanpa sungkan.
"Benar kakek, kalian berdua sangat serasi." Maya menimpali. Matanya masih tidak dapat melepaskan wanita dihadapannya itu.
"Kurang ajar! Kalian berdua menghina kami!" Darwis memekik hingga ia menjadi lemas dan Tiffani segera menyanggah tubuh Darwis.
"Sayang sekali kamu tidak patah tulang saat jatuh dikamar mandi, aku buru-buru datang kesini hanya untuk melihatmu kesakitan." Maya menoleh menatap wajah Marve yang tersenyum, ini bukan seperti saat Marve begitu cemas sepanjang jalan saat menerima telepon. Jika ia hanya ingin melihat kakeknya kesakitan maka ia akan bersikap biasa saja bahkan mengabaikannya.
Maya menyadari jika Marve sangat menyayangi kakeknya tapi mereka berdua memiliki perbedaan dan haga diri yang tinggi hingga membentuk tembok yang memisahkan mereka seperti saat ini.
"Sayang.. Karena kita sudah sampai disini, mari bermalam disini, sejujurnya aku sudah tidak sabar ingin mencumbumu sejak tadi."
Maya membulatkan matanya sempurna, apa yang Marve katakan baru saja sungguh terdengar erotis dan tidak pantas, baru saja Maya akan berbisik untuk perotes tapi Marve telah menggendongnya dan membawanya ke lantai atas menuju kamar yang biasa ditempatinya jika ia menginap dirumah ini.
Mata Marve menatap kearah Darwis yang melihatnya tidak percaya, ia lantas tersenyum sebelum menurunkan Maya setelah mencapai lantai atas dan kemudian menciumnya.
Jantung Darwis akan benar-benar copot saat ini juga karena ulah Marve yang mempertunjukan kemesraannya dengan Maya di atas sana seakan sengaja berlama-lama untuk membuatnya sakit mata.
Mereka masih berciuman panas dan belum juga memasuki kamar membuat Darwis tidak dapat menahan tubuhnya hingga terjatuh duduk sedangkan Tiffani hanya memanggil namanya khawatir.
Tapi suara itu sama sekali tidak terdengar ditelinga Darwis, harga dirinya benar-benar terluka. Berani sekali Marve padanya.
"Panggilkan ambulans, atau aku akan mati sekarang juga." Ucap Darwis di sisa kesadarannya, Tiffani yang panik segera menuruti apa yang diperintahkan Darwis sementara Marve dan Maya telah menghilang memasuki kamar.
...