Mata Maya terbuka saat ia merasakan sentuhan lembut dibibirnya dan yang terlihat hanya bayangan seseorang yang perlahan terlihat dengan jelas.
Mungkinkah itu Marve? Maya menahan nafasnya dan kembali memejamkan matanya "Mimpiku sangat indah.." Gumamnya dalam hati.
Dia melihatnya.. Apakah Maya menyadari apa yang baru saja aku lakukan padanya?
Marve terus bertanya di dalam hatinya yang terus berdebar membuat dadanya terasa sesak. Dengan perasaan masih tidak menyangka, Marve perlahan menjauh. Ia memegangi bibirnya seakan tidak percaya dengan apa yang baru ia lakukan pada Maya.
Tanpa pikir panjang, Marve berjalan menuju kamarnya meninggalkan Maya yang masih berbaring di sofa sendirian.
Mengapa aku melakukan itu padanya?
Sebuah pertanyaan besar muncul dibenak Marve.
Ia baru saja mencium Maya... Oh Tuhan aku sudah benar-benar gila sekarang...
Tidak... Aku masih waras...
Mungkin aku hanya terbawa suasana. Marve berpikir dengan keras, tapi meninggalkan Maya sendiri dibawah sana sangat tidak pantas bagi pria sepertinya.
Dengan mengatur nafas dan menyembunyikan perasaan berdebarnya Marve membuka pintu kamarnya dan berniat kembali menghampiri Maya.
"Maaf aku tertidur dibawah.."
Marve mungkin telah terkena serangan jantung saat ini, karena bukan hanya hatinya yang berdebar tapi jantungnyapun memompa dengan cepat kini saat Maya berjalan melewatinya masih dengan rasa kantuk yang menderanya.
"A..a.." Marve kamu mengapa menjadi gugup?
Katakan saja jika kamu baru akan membangunkannya dan kamu tidak akan terlihat sangat buruk seperti saat ini.
Dengan memberanikan diri Marve mengejar langkah Maya yang hendak mandi.
"Ada apa?" Tanya Maya, ia masih sangat mengantuk saat ini, hingga ia mengingat tentang mimpinya saat Marve menciumnya membuatnya menjadi gugup seketika dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Dia menyadarinya? Hati Marve menciut, Maya sepertinya menyadarinya saat tadi ia menciumnya.
"Aku.." Ucap Marve salah tingkah.
Apa Marve dapat mengetahui jika ia bermimpi tentangnya? Maya menjadi sangat gugup kini.
"Marve.. aku harus mandi sebelum terlalu larut." Ucap Maya, ia dengan cepat berlari menuju kamar mandi dan menguncinya rapat.
Tenanglah Maya, yang dapat melihat mimpinmu hanya kamu dan Tuhan, Marve tidak mungkin tahu.
Oh semoga saja...
...
Marve dan Maya tidur dalam kegelisahan kini. Marve meruntuki dirinya sendiri karena mencium Maya secara diam-diam dan Maya merasa malu sendiri karena merasa bermimpi dicium oleh Marve.
"Tapi kami sudah pernah berciuman sebelumnya.."
kalimat itu berpadu seperti paduan suara saat Marve dan Maya mengatakannya secara bersamaan membuat mereka menyadari akan satu hal jika mereka berdua belum tertidur meski waktu sudah menunjukan pukul dua pagi.
Tapi tunggu dulu.. selain jika mereka masih belum tertidur, kalimat yang baru saja mereka katakan adalah tentang ciuman.
Marve menarik nafas dalam, suasana canggung ini adalah salahnya. Ia harus memperbaikinya sekarang.
Meminta maaf lebih baik dari pada merasa bersalah seumur hidup.
"Maya.." Marve turun dari tempat tidurnya dan duduk disebelah Maya, Maya yang tegang kini beranjak bangun dan duduk menghadap Marve.
"Maafkan aku.."
Debaran dijantung Marve berhenti seketika saat Maya mengucapkan kalimat maaf. Tapi mengapa? Bukankah disini Marve yang salah.
Maya terlihat takut sekaligus malu saat ini, ia bahkan mengusap tengkuknya saat ini karena merasa sangat gugup
"Marve, aku bermimpi kamu menciumku dan kini hatiku berdebar. Maafkan aku, tapi sungguh aku tidak jatuh cinta padamu.. aku hanya.." Maya mengeluarkan semua keberaniaannya dan mengutarakan semua hal yang mengganggunya sejak ia terbangun dari tidurnya di sofa tadi.
"Aku hanya.. hanya.. tidak tahu mengapa jantungku terus berdebar. Itu hanya mimpi, dan apakah aku melanggar kontrak kita?" Tanya Maya dengan polosnya.
Marve menyembunyikan kegugupannya sekaligus rasa lega dihatinya karena Maya ternyata menganggapnya hanya sebuah mimpi.
"Itu sama sekali tidak melanggar kontrak. Kamu tidak dapat mengendalikan mimpi dalam tidur mu." Ucap Marve, sejujurnya ia merasa bersalah pada Maya, tapi ia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya.
Maya menghela nafas lega kini, ia kemudian meraih tangan Marve dan menempelkannya di dadanya. "Debaranya perlahan menghilang, kamu tahu aku sangat takut." Jelas Maya.
Marve hanya dapat mencoba bersikap tenang, meskipun kini debaran dihatinya memompa kembali karena merasakan detak jantung Maya ditelapak tangannya dan juga merasakan lembutnya kulit Maya yang membuatnya memanas kini. Oh aku ingin menyentuhnya lebih dari ini.
Marve tidak dapat membiarkan pikirannya menguasainya lagi seperti saat tadi ia mencium Maya, dengan cepat dan hati-hati ia menjauhkan tangannya dari dekapan Maya.
"Tidurlah, ini sudah terlalu malam. Besok Veronica akan datang lagi bukan." Ucap Marve mengalihkan pembicaraan. Semakin Maya cepat tertidur maka itu semakin baik, ia bisa mandi air dingin setelah Maya tertidur.
"Astaga.. Aku lupa, Veronica memberikanku sebuah tugas." Maya meloncat bangun dan segera meraih secarik kertas dimana ia harus menuliskan kalimat memperkenalkan diri dalam bahasa inggris.
"Bagaimana ini? Aku sungguh tidak ingat." Keluh Maya bingung.
"Bagaimana aku menerjemahkan semua ini?" Maya mulai frustasi kini, ada sekitar lima belas pertanyaan yang harus diterjemahkannya kedalam bahasa indonesia dan ada sebuah esai dimana ia harus menulis perkenalan untuk dirinya sendiri dalam bahasa inggris.
Marve dapat melihat Maya begitu gelisah dengan soal-soal yang dipegangnya, ia kemudian menarik tangan Maya dan menenangkanya "Aku akan membantumu." Ucapnya lembut.
"Sungguh?"
Marve tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan tapi Maya begitu senang hingga bersorak dan memeluk Marve tanpa sadar.
"Terimakasih banyak.. terimakasih banyak suamiku." Maya terus memeluk hingga akhirnya ia membuat Marve terjatuh dan dirinya kini berada diatas tubuh Marve.
Maya hendak bangun tapi Marve menahannya dengan mencengkram pinggangnya erat.
"Apa imbalanku jika aku membantumu?" Tanya Marve "Pria pamrih.." cibir Maya, tapi ia sangat membutuhkan bantuan Marve jadi ia berpikir sejenak.
"Aku akan membuatkanmu kue untuk sarapan besok." Ucap Maya.
"Baiklah.."
Untuk sesaat mereka terdiam sampai mereka menyadari bagaimana posisi mereka saat ini. Dengan cepat Maya beranjak bangun begitupun dengan Marve.
"Cepat bawa kesini soalnya.." Pinta Marve, ia terlihat jelas sedang gugup saat ini begitupun dengan Maya yang seperti kebingungan mencari dimana kertas itu padahal saat ini berada dihadapannya.
Saat Maya menemukanya ia segera menyerahkannya pada Marve, dan dengan seksama ia mendengarkan penjelasan Marve yang mengajarinya dengan sabar.
...
Maya sudah mengerti kini, ia telah menyelesaikan semua soalnya dan sekarang ia tengah mengisi esai dengan posisi terlungkup begitupun dengan Marve yang setia menemani Maya meski malam semakin larut.
Sesekali Marve membenarkan tulisan Maya yang salah, dan bahkan merapihkan rambut Maya hingga akhirnya mereka tertidur tanpa sadar.
Pagi telah tiba, saat ini sudah pukul sepuluh tapi Maya dan Marve belum juga keluar dari kamar mereka.
Dewi menunggu bersama Veronica yang mulai tidak sabar karena ia sudah menunggu selama lebih dari dua jam.
"Katakan pada pengantin baru itu bahwa aku pulang dan mereka harus tetap membayarku tanpa potongan." Ucap Veronica tegas pada Dewi sebelum akhirnya pergi meninggalkan kediaman Marve.
"Pengantin baru memang begitu." Ucap Dewi, ia selalu senang jika menyangkut tentang Marve dan Maya, terlebih saat ini mereka belum juga keluar kamarnya. Pasti mereka semalam tidak tidur.
"Mereka pasti lelah setelah membuat membuat Marven junior..." Ucap Dewi tersenyum sendiri.
....
Di kamar Maya menggeliatkan tubuhnya yang terasa pegal juga sesak dan saat membuka matanya ia melihat Marve begitu dekat dengannya dan Marve memeluknya dengan erat kini.
"Marve.." Panggil Maya pelan tapi Marve tidak merespon. "Marve.." Panggilnya lagi hingga akhirnya Marve terbangun.
Marve membuka matanya, saat mendengar Maya memanggilnya, ia masih belum sadar sepenuhnya sehingga ia mengeratkan pelukannya dan kembali memejamkan matanya membuat Maya sedikit jengkel.
"Marve mengapa kamu tidur lagi?" Maya mencoba melepaskan tubuhnya dari dekapan Marve tapi Marve cukup kuat sehingga ia tidak dapat berkutik.
"Marve.." Panggilnya lagi, Marve kini membuka matanya lebih lebar lagi, dilihatnya sepasang mata indah dengan bulu mata yang lentik begitu dekat dengannya.
"Marve.." Panggil Maya lagi kali ini lebih lembut, Marve tidak lantas melepaskan dekapannya, ia menunggu sesaat sambil memperhatikan wajah cantik istrinya.
Jika saja pernikahan ini bukan kontrak..
Marve ingin merengkuh tubuh Maya lebih erat ragu, ia ingin mencium bibirnya Dalma dan mengecup setiap lekuk tubuh Maya. Marve ingin membuat Maya mengerang di bawah tubuhnya, tidak berdaya dibawah tekanannya smabil memanggil namanya. Marve tidak pernah membayangkan bercinta di pagi hari sebelumnya, tapi melihat Maya ketika ia terbangun dari tidurnya membuatnya ingin...
Tunggu dulu, Marve mendapatkan kesadarannya kini dan dengan cepat ia melepaskan dekapannya pada Maya.
"Maaf.." Hanya kata itu yang dapat terlontar dari Marve, Maya beranjak bangun dan mengikat rambutnya seperti bukan masalah besar.
"Mandilah.. aku akan membuatkan sarapan sesuai janjiku semalam."
"Kamu tidak mau mandi?"
"Kamu mau mandi bersamaku?" Goda Maya mendekatkan wajahnya pada Marve membuat Marve mematung seketika hingga akhirnya Marve sadar jika Maya hanya menggodanya.
"Baiklah.. Mari kita mandi istriku yang cantik." Tanpa aba-aba Marve menggendong tubuh Maya dan membawanya memasuki kamar mandi.
"Kamu gila.." Pekik Maya saat kucuran air dari shower membasahi tubuh mereka berdua kini.
"Dingin Marve.."
Marve tidak menghiraukan keluhan Maya, ia sangat senang bermain air dengan Maya saat ini sampai Marve merasakan suasana mulai berbeda kini, perasaan tegang dan berdebar kembali menghinggapi mereka saat mata mereka bertemu tanpa sengaja dan bertatapan lembut.
Marve tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Maya, bagaimana gaun tidur Maya yang tipis sudah basah dan membuat pakaian dalam Maya dapat terlihat dengan jelas olehnya, sangat indah dan aku ingin menyentuhnya...
Oh Marve kendalikan dirimu...
Tapi Maya tiba-tiba saja tersenyum "Siapapun akan mengira kita suami istri yang bahagia."
"Memangnya sekarang kamu tidak bahagia?" tanya Marve dengans serius, ia sudah tegang sekarang, ia dapat melakukan apapun yang ia inginkan pada Maya saat ini juga tapi Maya sama sekali tidak tahu dengan apa yang Marve rasakan saat ini. Marve sangat tersiksa...
Maya berpikir sejenak dan menjawab dengan singkat "Aku bahagia..." Tawanya lembut.
Oh Tuhan kenapa suara tawanya terdengar menggairahkan? Aku ingin menyentuhnya...
Marve kemudian mendorong tubuh Maya kesudut dinding merapatkan tubuhnya sehingga tidak ada jarak diantara mereka, Marve dapat merasakan tubuh Maya yang hangat di balik bajunya, Tangan Marve sudah tidak dapat ia kendalikan untuk tidak menyusup ke dalam gaun yang Maya kenakan, menyentuh kulit Maya dan membuat Maya menahan nafasnya merasakan getaran dalam dirinya yang tiba-tiba muncul akibat sentuhan Marve. Mereka sangat dekat sehingga Maya merasa terintimidasi dan tidak dapat menolak sentuhan yang Marve berikan di punggungnya yang mendadak terasa panas akibat sentuhan tangan Marve yang nakal.
"Marve.." Maya hanya dapat memanggil dengan suara bergetar saat Marve kini perlahan meraih pinggang Maya dan menarik tubuh Maya merapat padanya. "Pejamkan matamu atau jangan berkedip sedetikpun.."
...