Hari pertama menjadi sepasang suami istri.
Maya melangkahkan kakinya untuk yang kedua kalinya ke dalam rumah Marve.
Tadi pagi ia masih menjadi seorang tamu dan sore ini ia sudah menyadi nyonya rumah.
Takdir memang sungguh tidak dapat pernah ia pahami.
Semua pelayan tertunduk memberi hormat, Maya yang masih menggunakan busana pengantin tidak biasa mendapatkan perlakuan seperti itu yang membuatnya hanya tersenyum canggung terlebih Marve tidak bersamanya saat ini karena Marve telah kembali keperusahaannya untuk kembali bekerja, membiarkannya berkeliaran sendirian tanpa perkenalkan resmi di rumah yang terasa seperti istana modern ini dan tentu saja membuat Maya sangat frustrasi dengan perubahan hidupnya yang terjadi secara mendadak ini.
Bermimpi pun bahkan Maya tidak berani untuk memimpikan menjadi pengantin dari pria tampan yang kaya raya apalagi angkuh seperti Marve.
"Marve bodoh. Orang waras mana yang bekerja pada hari pernikahannya." Gumam Maya dalam hati, ia kesal karena harusnya Marve setidaknya memperkenalkannya secara resmi dirumahnya karena bagaimanapun Marve tidak tinggal sendirian meskipun penghuni rumahnya yang lain hanyalah pelayan.
Seorang wanita paruh baya kemudian menghampiri Maya dengan senyum ramah sambil menyapa "Selamat sore nyonya Maya. Perkenalkan saya adalah kepala pelayan disini, nama saya Dewi."
Maya hanya tersenyum bingung, ia tidak tahu harus membalas apa selain menghambur memeluk Dewi untuk menunjukkan keramahannya. "Terima kasih sudah menyambutku dengan hangat, bu Dewi."
Semua pelayan menatap terkejut karena Maya yang tidak lain adalah istri Marve dan itu artinya dia adalah nyonya di rumah ini, tanpa sungkan memeluk seorang pelayan yang selama ini tidak dianggap nyata oleh Marve, meskipun Dewi yang membantu merawat Marve sejak kecil tapi Marve selalu memiliki batasan diantara mereka.
"Jangan seperti ini nyonya... Saya merasa tidak pantas." Ucap Dewi, Maya kembali tersenyum dan menyentuh tangan Dewi dengan lembut. "Aku bukan dewa, kita masih sama-sama manusia." Ucap Maya.
Dewi tersenyum, Marve tidak salah memilih seorang istri. Ia sangat sopan dan juga rendah hati.
"Mari saya tunjukan kamar Anda, nyonya." Dewi membuka jalan, Maya kemudian mengikuti langkah Dewi yang menuntunnya menaiki tangga.
"Apa rumah sebesar ini ada hantunya?" Tanya Maya. Maya merasa ia sudah berjalan cukup jauh tapi masih belum sampai ke kamar yang akan di tunjukkan Dewi dan ia masih harus menaiki anak tangga yang entah ada berapa banyak yang pasti Maya sudah mulai lelah dan kelaparan, sejak pagi tadi ia tidak makan apapun.
"Tentu saja tidak nyonya, para pelayan disini akan pulang jika sudah jam tujuh malam karena tuan tidak menyukai waktu istirahatnya diganggu. Hanya saya yang akan tinggal, jadi jika perlu sesuatu panggil saja saya." Jelas Dewi.
Kini mereka sudah sampai di depan pintu kamar dan kemudian Dewi menyerahkan sebuah remot kecil pada Maya.
"Tekan satu kapanpun anda membutuhkan saya." Ucap Dewi tersenyum setelah membukakan pintu dan membawa Maya memasuki kamar.
"Kamarnya kaku sekali." Maya berkomentar, tirai besar yang menutupi jendela berwarna abu-abu dan semua dinding berwarna putih juga tepat dibelakang tempat tidur ada sebuah walpaper kaku berwarna hitam menunjukan jika kamar ini dihuni oleh orang dengan kepribadian dingin dan praktis.Siapa lagi jika bukan Marve, terkadang Maya merasa kesal sendiri saat memikirkan pria yang sudah menjadi suaminya itu.
"Ini kamar Anda dan tuan Marve, dan ini ruang pakaian Anda nyonya."
Maya masih sibuk memperhatikan desain interior kamarnya saat Dewi membuka sebuah ruangan di dalam kamarnya yang berisi banyak pakaian indah bergantung dan juga tas yang tersusun rapih, tidak luput sebuah sepatu berhak dan sepatu flat yang indah dan tentunya perhiasan indah di dalam kotak kaca yang panjang tepat di tengah ruangan, berkilau indah di bawah sorot cahaya lampu yang terang, sangat menakjubkan, Maya langsung silau di buatnya dan tidak dapat menyembunyikan rasa terkesimanya. Kemewahan ini tidak pernah Maya bayangkan akan kembali lagi pada kehidupannya.
"Wah.. apakah dia membawa toko kedalam kamar ini?" Tanya Maya takjub, Dewi tersenyum "Tuan menyuruh kami mempersiapkannya pagi ini dan sepertinya tuan mengenal bentuk tubuh Anda dengan sangat baik." Jelas Dewi, sedikit tersipu saat membahas tentang ukuran tubuh Maya karena itu artinya Marve sudah mengenal Maya dengan sangat baik.
"Bentuk tubuh? apa dia seorang pria mesum?" Ucap Maya dalam hati cemas.
"Saya sudah menyiapkan air untuk Anda mandi. Anda bisa mandi sekarang nyonya."
"Terima kasih banyak." Ucap Maya tersenyum kaku, ia masih merasa cemas kalau-kalau Marve benarlah pria mesum.
Saat Dewi hendak keluar kamar, Maya kemudian mengejar langkah Dewi sebelum Dewi benar-benar menutup pintu.
"Bu.. bisa aku meminta satu hal padamu?"
"Katakan saja nyonya.."
***
Marve berjalan cepat diiringi dengan asisten dan penasehatnya saat baru saja keluar dari ruang rapat.
"Apa kita masih memiliki janji?" Tanya Marve setelah memeriksa berkas yang disodorkan oleh sekretarisnya, Bunga kepada penasehatnya yaitu Bisma.
"Tidak ada pak." Jawab Bisma.
Langkah Marve kemudian terhenti sambil mengembalikan berkasnya kepada Bunga, ia menatap penasehatnya tajam.
"Aku tidak memiliki jadwal lain? Tapi ini baru jam tiga sore?"Tanya Marve, Bisma menelan ludah karena merasa takut dengan tekanan Marve.
"Saya sengaja mengosongkan jadwal anda hingga satu minggu pak." Jawab Bisma, Marve menjadi bertambah kesal kini.
Tidak ada hal istimewa yang mengharuskannya untuk berlibur. Berlibur artinya menyia-yiakan waktu dan waktunya sedetik dalam bekerja bisa menghasilkan uang yang sangat banyak jika ia berlibur maka berapa banyak uang yang akan disia-siakannya hari ini hingga satu minggu nanti.
"Apa kamu sudah bosan bekerja disini?" Tanya Marve penuh penekanan membua Bisma ketakutan.
Niat Bisma sebenarnya baik, Bisma bukan hanya penasehat Marve tapi dia juga sahabatnya jadi Bisma hanya tidak ingin Marve kehilangan moment minggu pertama pernikahan.
"Ini hari pernikahan Anda, pak." Ucap Bisma memberanikan diri. Marve seketika terdiam.
Benar, tidak ada orang yang bekerja dihari pernikahannya kecuali dirinya.
"Marve tidak benar-benar menikah. Ia hanya berpura-pura untuk melawanku."
Marve membalikan badannya saat ia mendengar suara menyebalkan yang tidak asing itu.
Bisma dan Bunga kemudian berjalan mundur meningkalkan Marve dan Darwis kini.
Sang raja dan putra mahkota tengah saling menatap tajam kini. Marve benar-benar terlihat seperti bayangan Darwis muda yang tinggi dan tampan bahkan tinggi merekapun sama.
"Katakan saja jika kamu tidak menyukai gadis dari grup Wings itu, kakek bisa mencarikan yang lainnya dan hentikan sandiwaramu saat ini juga." Ucap Darwis menyentuh bahu Marve untuk meyakinkannya.
Marve kemudian tersenyum dan berkata dengan pelan "terima kasih sudah memikirkanku kek."
Marve kemudia ln melepaskan kedua tangan Darwis dari bahu bidangnya. "Tapi tidak perlu khawatir dan jangan menghubungiku sementara ini karena aku akan berusaha dengan keras bersama istriku untuk memberikanmu seorang cicit." Ucap Marve tersenyum.
Marve pergi dengan senyuman sedangkan Darwis berdiri mematung kini. "Lihat saja, aku akan membuktikan jika pernikahan kalian itu palsu." Teriak Darwis mengancam, tapi Marve tidak menghiraukannya dan hanya melambaikan tangan tanpa menoleh dan kemudian menuruni eskalator.
***
Kini Marve harus benar-benar pulang karena ia yakin kakeknya pasti mengirimkan mata-mata untuk mengikutinya.
Semua pelayan yang masih bersih-bersih segera berbaris rapih begitupun Dewi yang tengah mengecek masakan dari para chef yang tengah memasak didapur segera berjalan menghampiri Marve.
"Anda sudah pulang tuan?" Sambut Dewi setelah meraih tas milik Marve.
"Dimana istriku?" Tanya Marve, Dewi menyembunyikan senyumannya karena melihat Marve yang sepertinya sudah tidak sabar untuk menemui istrinya.
"Di kamar Anda, tuan." Jawab Dewi, Marve tersenyum tipis sebelum akhirnya berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Marve tahu jika kakeknya pasti menyelipkan mata-mata di dalam rumahnya jadi ia tidak boleh bertindak gegabah. Ia harus terlihat mencintai Maya.
"Sayang..." Marve memanggil sebelum akhirnya memasuki kamarnya.
Tunggu dulu, apa ini sungguh kamarnya? Marve memperhatikan tirai besar yang menutupi jendela kamarnya yang tadinya berwarna abu-abu kin berubah menjadi biru awan dan hiasan pada dinding kamarnya pun menghilang dan lagi walpaper di belakang tempat tidurnya pun berubah menjadi gambar awan dan pelangi. Sungguh ceria.. Seperti taman kanak-kanak.
Tapi Marve masih melihat beberapa barang miliknya dikamar ini, itu artinya ini benarlah kamarnya.
"Apa yang gadis itu lakukan pada kamarku?" Marve menarik nafas dalam, gadis itu baru masuk kerumahnya belum sampai beberpa jam dan ia sudah berani mengubah kamarnya tapi Marve tidak dapat marah ataupun meminta orang lain mengembalikannya seperti semula karena akan menimbulkan kecurigaan. Sialnya Marve harus bertahan dengan pemandangan manis yang menyakiti matanya ini.
Marve mencari kesetiap sudur kamar dan ke ruang pakaian tapi tidak ada Maya, mungkin ia sedang bermain di taman belakang karena gadis itu tidak seperti gadis yang betah berdiam disatu tempat.
Sambil melepaskan semua pakaiannya Marve berjalan menuju kamar mandi dan mulai menyalakan shower, membiarkan air membasahi tubuhnya.
Maya yang sedang terlelap di dalam bak mandipun terbangun mendengar suara percikan air.
Dengan mata yang masih mengantuk, Maya beranjak bangun dan membuka tirai dimana ada Marve yang tengah mandi tanpa tahu jika Marve berada di sana.
"Aaaaaaaaaaaa!!!" Maya berteriak sangat kencang saat melihat Marve tidak berbusana, begitupun dengan Marve yang terkejut mendengar teriakan Maya membuatnya berbalik dan melihat Maya yang tengah berdiri dengan tubuh yang masih basah tanpa mengenakan sehelai pakaianpun.
"Aaaaaaaaaaaaaa!!" Kini mereka kembali berteriak, dengan cepat Maya menarik tirai kembali dan menutupnya..
"Astaga..." Maya menenggelamkan tubuhnya di dalam bak mandi, ia sangat syok sehingga rasanya arwahnya melayang entah kemana. "Maya bodoh... mati saja kamu." Maya mulai meruntuki dirinya kini sambil menutupi dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya masih dengan tubuh yang terendam air berbusa.
"Apa dia melihat semuanya?" Ucap Marve dibalik tirai, ia kemudian dengan cepat meraih jubah mandinya dan memakainya.
Tapi tunggu dulu.. Aku melihatnya juga. Maya telanjang... Oh Tuhan mata ku telah diberkahi, eh maksudku mata ku telah ternodai...
Marve membeku kini setelah mengingat apa yang ia lihat baru saja.
Mereka berdua adalah suami istri yang bodoh. Mengapa Marve tidak memastikan dulu apa ada seseorang di dalam kamar mandi maka semua ini tidak akan terjadi.
...
Saat ini Maya keluar dari ruang ganti pakaian dengan hati-hati ketika secara bersamaan Marve datang memasuki kamar.
seperti tidak memiliki wajah, mereka tidak saling menatap satu sama lain karena merasa sangat malu.
"Ayo makan." Ajak Marve gugup tanpa menatap.
"Ba..baiklah." Jawab Maya tidak kalah gugup.
Maya kemudian berjalan mengikuti langkah Marve, tapi Marve kemudian berhenti membuat Maya menabrak punggung Marve karena ia menunduk sejak tadi membuatnya tidak tahu jika Marve menghentikan langkahnya.
"Maaf.."
Marve membalikan badanya, dan memberanikan diri menatap Maya meskipun wajahnya tiba-tiba saja merasa panas membayangkan kejadian di kamar mandi tadi yang tiba-tiba saja muncul dalam benaknya ketika menatap wajah Maya.
"Keringkan dulu rambutmu."
"Tidak ada kipas angin disini."
Jawaban Maya membuat Marve langsung tertawa. "Ada yang lucu?" pekik Maya tidak terima.
Marve kemudian menghentikan tawanya, dan berjalan kesisi laci tempat dimana ia menyimpan hairdryernya.
"Keringkan..." Marve melemparkan hairdrayer itu pada Maya.
Dengan wajah cemberut, Maya kemudian mulai menyalakan hairdrayer itu tapi ia terlihat kesulitan menggunakannya.
Marve yang tidak sabar kemudian mengambil alih hairdrayer di tangan Maya dan mulai meneringkan rambut Maya.
"Diamlah..." Pinta Marve ketus.
"Itu panas bodoh.. Jangan sampai terkena telingaku." Jawab Maya tidak kalah ketus.
"Makanya kamu jangan bergerak terus."
"Ouch.. kepalaku." Maya merintih saat hairdryer yang Marve pegang tidak sengaja tersangkut rambut maya yang kusut.
"Diamlah.. Rambutmu ini apakah sarang burung? Mengapa sangat kusut."
"Enak saja, ini tidak kusut.." Elak Maya tidak terima, ia kemudian menyentuh rambutnya yang masih sedikit basah dan jarinya tersangkut dengan rambut kusutnya "Hanya sedikit.." Ucapnya pelan karena merasa malu.
"Tuan, Nyonya.. makan malam sudah siap." Dewi membuka pintu saat melihat Marve tertawa sambil mengeringkan rambut Maya, Dewi pun mengurungkan niatnya dan memilih menunggu hingga Marve dan Maya keluar dengan sendirinya.
"Kalian tahu.. Tuan sedang mengeringkan rambut Nyonya sambil tertawa." Ucap Dewi antusias saat meneritakan kejadian yang tadi ia lihat kepada sang chef yang tengah menata meja kini dibantu dengan dua orang pelayan yang menguping. Salah satu diantara mereka kemudian mengirimkan pesan kepada kakek Marve.
"Tidak mungkin..." Komentar Darwis tidak terima saat mendengar sekertarisnya membacakan pesan yang dikirimkan pelayan untuk memata-matai Marve.
"Suruh dia memotretnya. Aku tidak percaya omongan tanpa bukti..."
"Baik pak.."
***