Mina dan Arya saling menatap bingung, mereka seketika berhenti membereskan rumah mereka yang berantakan akibat ulah para penagih hutang yang tadi mengamuk saat melihat Maya kembali bersama seorang pria tampan berjas dengan menaiki mobil mewah yang biasa mereka lihat di dalam televisi yang kini hilang entah kemana sejak tadi pagi.
"Arya, apa kita sedang berhalusinasi sekarang?" Mina menyenggol siku Arya yang kini berdiri mematung.
"Aku rasa kita masih pingsan bi.." Sahut Arya.
Dari kejauhan Maya melihat bibi dan adiknya sudah menatap bingung, ia sudah mempersiapkan diri sejak diperjalanan tadi karena keluarganya pasti membombardir dirinya dengan banyak pertanyaan karena memutuskan menikah secara mendadak.
Sambil sesekali menatap Marve yang berjalan dengan kepercayaan diri yang tinggi berbeda dengan dirinya yang mendadak cemas kini, apalagi Maya tidak dapat mengingat dengan jelas penjelasan yang sudah diberitahukan sebelumnya oleh Marve saat diperjalanan tadi.
"Siapa dia?" Arya segera menarik tubuh Maya kesisinya sambil berbisik. "Apa dia rentenir juga?"
"Bukan.." Jawab Maya yang juga berbisik.
Mina segera mendekati Marve dan menatap Marve dari ujung kaki hingga kepala. memperhatikannya seolah dia tidak nyata.
Pria tampan dengan tubuh atletis dan wajah tanpa ekspresi namun sangat tampan seperti benar-benar pria yang dilihatnya di televisi.
"Apa kamu artis?" Tanya Mina antusias, ia dengan berani memegang setelan jas Marve dan menatapnya dengan mata berbinar.
"Bibi, jangan seperti itu.." Maya menarik tangan Mina tapi Mina menepisnya, ia tetap menatap Marve tanpa berkedip karena begitu terpesona.
"Astaga... mengapa kamu sangat bersinar." Mina kini bahkan berani menyentuh pipi mulus Marve meski dengan jelas Marve terlihat risih tapi Mina tidak perduli.
Melihat pria tampan yang terlihat seperti bintang idolanya adalah sebuah anugrah baginya.
"Bibi hentikan.. Dia bukan rentenir ataupun artis seperti yang kalian bicarakan." Maya berjalan mendekat karena bibinya benar-benar telah terhipnotis ketampanan Marve dan setelah berada disebelah Marve, Mayapun mengalungkan tangannya dilengan Marve sambil berkata "dia adalah calon suamiku"
Mina begitu terkejut hingga mendadak terjatuh lemas tepat setelah Maya mengatakan jika Marve adalah calon suaminya.
"Bibi.." Maya dan Arya segera menghampiri Miana dan menopang tubuh Mina sebelum menyentuh tanah.
"Omong kosong macam apa ini!" Pekik Mina setelah berhasil menguatkan hatinya sambil memegangi kepalanya yang mendadak pusing.
Kelihatanya Mina kurang menyukai kabar ini, membuat Marve mendadak gugup terlebih saat Mina menarik Maya memasuki rumahnya.
"Kamu sungguh calon suami kakak ku?" Tanya Arya mendekat, Marve tidak menjawab dan hanya tersenyum tipis terlebih kini Arya tengah memutari tubuhnya menyelidiki setiap detail penampilannya.
"Kakak ku jarang mandi.."
Marve tidak bereaksi saat tiba-tiba Arya berada dihadapannya kembali.
"Dia bau.."
"Selain itu makannya banyak dan juga sikapnya terkadang kasar. Apa kamu yakin ingin menikahi kakak ku?" lanjut Arya tanpa ragu menceritakan sifat jelek Maya kepada pria yang lebih tinggi darinya itu.
"Tentu saja.. " Jawab Marve singkat
Arya mengerucutkan bibirnya, ia tersenyum kecut. Pria ini pasti tidak normal, dia masih ingin tetap menikahi kakaknya yang memiliki keburukan seperti itu, pikir Arya.
"Aku kasihan padamu." Ucap Arya menepuk bahu Marve dan kemudian memasuki rumahnya tanpa mengajak Marve untuk ikut masuk.
Bagi Marve, Maya memiliki keluarga yang unik. Bagaimana tidak, bibi Maya mencengkramnya seakan ia adalah kekasihnya saat Ia baru datang dan adik Maya juga mengasihani dirinya yang akan menikahi kakaknya dan bukannya turut senang karena kakaknya akan menikahi orang kaya. "Sungguh keluarga yang aneh."
....
Mina duduk mematung menatap Marve kini, mungkinkah Maya menjual dirinya pada pria tampan ini? Lantas apa yang dilihat dari sosok Maya yang terlihat biasa saja dan tidak terawat. Ada banyak gadis cantik diluar sana yang terpelajar dan juga kaya tapi mengapa Maya pilihannya? Mina masih belum menemukan jawaban yang masuk akal. Cinta memang buta tapi benarkah butanya cinta itu nyata? Tapi dia terlihat seperti pria baik dan berwibawa.
Dengan tangan yang tidak dapat berhenti menautkan jari jemarinya satu sama lain Maya terlihat sangat gugup kini.
Maya tidak pernah berbohong pada bibinya dan ia selalu menceritakan apapun kepada bibinya dan pernikahan ini hanya pernikahan palsu membuat lidah Maya terasa gatal dan ingin mengatakan yang sejujurnya pada bibinya, namun Marve mengatakan jika tidak ada seorangpun yang boleh mengetahui tentang pernikahan kontrak ini.
"Siapa namanya?" Tanya Mina dengan ketus, Maya tertegun kini.
Astaga Maya... Kamu lupa menanyakan siapa nama pria disebelahmu sekarang. Kalian akan menikah dan kamu bahkan tidak mengetahui siapa namanya.
Maya tidak menjawab tapi malah Marve yang menjawab "Namaku Marve.. Marven Cakra Rahardi."
"Aku tidak bertanya padamu!" sergah Mina ketus.
Kini Marve tahu dari mana Maya mendapatkan kegalakannya ternyata dari bibinya. "Bibi, kami sungguh saling mencintai, percayalah padaku."
Mina tidak berkomentar dengan penjelasan Marve, ia kemudian menghela nafas berat sebelum bertanya kembali. "Dimana kalian bertemu?"
"Di pasar.." Jawab Maya tapi Marve menjawab lain yaitu "Di jalan." Kini kecurigaan Mina bertambah.
Marve menatap kesal Maya karena melupakan apa yang tadi sebelumnya mereka rencanakan.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta pada keponakanku?" Tanya Mina pada Marve.
"Tentu saja tidak ada." Marve mengatakannya dalam hati tapi tanganya kini menggengam tangan Maya dan tersenyum sambil berkata "Maya adalah gadis sederhana yang luar biasa, aku tidak tahu alasan pastinya yang aku rasakan sekarang adalah aku tidak dapat hidup jauh darinya dan ingin menikahinya."
Jawaban Marve membuat kecuriggaan Mina berkurang, ia lantas bertanya pada Maya "Apa kamu mencintainya?"
Maya tidak lantas menjawab dan hanya menatap Marve bingung sedangkan Mina menunggu dengan tidak sabar.
"Sayang..." Marve menyentuh tangan Maya, ia ingin sekali memaki gadis disebelahnya kini. Apa begitu sulitkah mencari alasan mencintai dirinya yang sempurna ini.
"Aku..." Lidah Maya terasa kaku seperti tiba-tiba saja memiliki tulang.
"Kamu tidak mencintainya, Maya? Apa kamu menikah karena kami?"
Mata Maya membulat sempurna, apa bibinya dapat membaca pikirannya saat ini?
Marve mulai merasa kesal, ia mencengkram tangan Maya lebih erat lagi membuat Maya tersadar dari lamunanya.
Dengan mengatur nafasnya Maya kemudian tersenyum dan berkata dengan lembut. "Aku tidak tahu alasan aku mencintainya, aku hanya tidak pernah bisa berhenti memikirkannya dan aku merasa sedih jika kehilangan dirinya."
Maya membayangkan akan kekesalannya dua hari belakangan karena Marve membuatnya selalu memimirkannya dan rasa menyesalnya ketika ia menolak lamaran Marve dengan uangnya saat ternyata ia memiliki hutang yang harus dibayar.
Marve menatap Maya, ia terdengar tulus membuat hati dingin Marve sedikit merasakan kehangatan.
"Tapi bagaimana dengan keluarga Marve, apa mereka menerimamu yang hanya gadis miskin nak." Maya mulai bersedih kini, jika saja kehidupan mereka tidak berubah semenjak kematian orang tua Maya dan Arya maka Maya dan Marve tidak akan memiliki jarak status sosial seperti ini.
"Kedua orang tuaku sudah meninggal, aku hidup sendiri tapi aku masih memiliki kakek dan seorang paman. Pamanku bersedia menjadi waliku." Jelas Marve.
"Sungguh?" Mina menatap curiga ia tidak ingin keponakannya menderita setelah menikahi Marve nanti.
"Ya.. Aku ingin menikahi Maya hari ini juga." Jawab Marve penuh keyakinan.
"Aku akan menikahkan kalian, jika benar ada keluargamu yang bersedia datang." Ucap Mina.
Kini jantung Maya terasa berdebar kencang, syarat yang diberikan bibinya tidak mungkin terpenuhi karena Marve mengatakan jika dirinya menikahinya dengan alasan menentang kakeknya.
"Baiklah.. kalau tidak keberatan, mari kita kekantor KUA sekarang." Ucap Marve beranjak bangun.
"Sekarang?" Mina dan Arya terperanjak tidak percaya, pernikahan ini sungguh terburu-buru.
"Maya.. apa kamu hamil?" Tanya Mina karena ini sungguh tidak masuk akal baginya.
"Tidak bi, aku dan dia hanya pernah berciuman sekali." Jawab Maya, diakhir kalimat ia menutup mulutnya karena tidak sengaja mengucapkan tentang ciuman dipesta kemarin malam dan kini mata Mina membulat sempurna, dia terlihat sangat marah.
"Mari kita ke-KUA sekarang." Ucap Mina terburu-buru, pria ini telah berani mencium keponakannya disaat mereka belum sah menikah, sungguh lancang.
***
Maya menggunakan gaun kebaya sederhana berwarna putih yang membentuk lekuk tubuhnya serta kain batik bercorak dengan garis emas mengikuti pola, ia juga memakai riasan sederhana yang menghiasi wajahnya membuat Maya terlihat cantik dan menawan. Marve membawa Maya ke salon kecantikan yang terletak tidak jauh dari lingkungan Maya tinggal sehingga apa yang Maya kenakan tidak mencolok dan terkesan sederhana meskipun riasan wajah Maya cukup membuat Maya terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
"Apa aku cantik?" Tanya Maya pada Arya saat ia terus memperhatikan dirinya dicermin saat menunggu giliran pernikahan dikantor urusan agama.
"Semua orang terlihat cantik saat memakai riasan." Jawab Arya ketus, membuat Maya mengerucutkan bibirnya kesal.
"Jangan dengarkan dia, kamu sangat cantik." Ucap Mina sambil meletakan kerudung diatas kepala Maya. "Benarkan Marven?"
Marve melirik kikuk, Ya Maya cantik tapi Marve sebenarnya merasa bersalah karena tidak mendandani Maya sepertinya pengantin wanita yang seharusnya menjadi ratu dalam sehari. Tapi sekali lagi Marve tidak mau rasa bersalahnya mengusiknya, tidak seharusnya ia perduli dengan penampilan Maya saat ini karena pernikahan ini hanyalah pernikahan kontrak.
"Ya Maya sangat cantik." Marve akhirnya menyahut dan membuat Maya tersenyum tanpa ia sadari. Sialnya senyuman Maya membuat jantung Marve tiba-tiba berdebar. Oh ayolah... Aku tidak mungkin terpesona bukan? Marve kembali memalingkan wajahnya sebelum pikirannya menjadi kacau.
"Sebaiknya aku tidak memandanginya, setiap wanita pasti akan terlihat cantik jika berdandan. Aku hanya sedikit terkejut..." Ucap Marve dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri jika jantungnya yang tiba-tiba berdebar bukan karena ia terpesona oleh senyuman Maya.
Tidak lama kemudian paman Marve datang dengan wajah senang, ya tentu saja Agus senang karena Marve mempersulit dirinya sendiri tanpa ia harus repot menjatuhkannya.
Menikahi gadis miskin, ia benar-benar seperti ayahnya yang bodoh dan jika Darwis mengetahui ini maka sudah pasti Darwis akan mencoret Marve dari kartu keluarganya.
"Apa aku terlambat?" Tanya Agus saat sudah berada dihadapan Marve dan juga Maya.
"Terima kasih sudah mau menjadi saksi pernikahan ku paman." Ucap Marve memeluk Agus singkat.
Agus tertawa dan dengan lantang dan berkata "Tentu saja, kamu adalah keponakan yang paling aku sayangi."
Marve hanya tersenyum tipis, ia tahu jika omongan pamannya hanyalah kebohongan karena ia tahu betul jika pamannya sangat membencinya selama ini karena memiliki saham lebih besar dari pada dirinya.
....
Akhirnya tiba waktunya Marve mengucapkan ijab kabul dan dengan sangat lancar Marve berhasil mengucapkannya dengan satu tarikan nafas.
Semua yang menyaksikan pernikahan Marve dan Maya tersenyum bahagia.
Mina yang bahagia karena ke akhirnya keponakanya mendapatkan kebahagiaan kembali. Arya yang awalnya merasa curiga karena Maya dan Marve seperti orang asing yang menikah tapi setelah melihat Marve mencium Maya dengan lembut, kecurigaan Arya sedikit berkurang, ia berharap kakaknya menikah karena memang dia mencintai Marve bukan karena alasan apapun dan Maya akhirnya memikirkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri dan Agus yang bahagia karena sebentar lagi Grup Cakra akan dikuasai olehnya karena Darwis pasti akan sangat marah dengan tindakan Marve yang menikahi gadis miskin tidak jelas asal usulnya dengan begitu Marve akan di tendang dari perusahaan dan dia akan menguasai perusahaan seperti semestinya sebagai anak satu-satunya Darwis yang masih hidup.
Tapi kebahagiaan itu tidak dirasakan oleh sang penganting, dengan senyum kaku penuh kesandiwaraan saat mereka berdua masih risih satu sama lain bahkan ketika Agus menyuruh Marve dan Maya berfoto, Maya tersenyum kikuk sedangkan Marve hanya menatap dingin meskipun tangannya merangkul Maya.
"Marve, kakek akan mengira kalian hanya bersandiwara jika berfoto seperti itu." Tegur Agus karena saat ini Marve dan Maya terlihat seperti dua orang asing yang duduk bersebelahan.
Marve menyedari itu, ia kemudian meraih tangan Maya dan menggenggamnya setelah itu mencium lembut pipi Maya.
"Sempurna.."
****