***
"Jadi, lo beneran di putusin cuma karena beda pendapat?"
Vika hanya menganggukkan kepalanya yang menunduk itu sedari ia bercerita. Aku menghela nafasku tampak gusar.
"Ck!" aku berdecak sambil menggelengkan kepala.
"Gue berusaha buat move on dari dia, emang sih ini gak gampang. Tapi, gue harus coba." kini, Vika tampak tenang. Ia berusaha untuk terlihat tegar. Seharusnya, aku yang berkata seperti itu untuk menyemangatinya. Bukannya ikut emosi mendengar cerita yang ia sampaikan.
Aku memberikan senyum untuk Vika, dan mengelus punggung tangan nya. Ku akui, ini Tak mudah untuk dilewati oleh temanku. Tapi, di sisi lain ini adalah sebuah proses yang sering terjadi dalam kisah percintaan.
Aku pun jadi teringat dengan pacarku, sudah hampir seminggu aku dan dia tidak berkomunikasi. Kami begitu sibuk dengan urusan masing-masing sampai lupa untuk menanya kabar satu sama lain.
Saat ini, ia sedang di sibukkan dengan kuliahnya. Alhamdulillah, setelah lama bekerja dan menabung. Akhirnya ia bisa kuliah dengan biayanya sendiri. Aku begitu bangga akan sosok nya yang pekerja keras. Sudah hampir dua tahun, kami menjalin kasih. Aku sudah mengenal keluarganya, begitu juga sebaliknya. Entah mengapa, aku begitu merindukannya.
"Hayo, lagi ngelamunin apa?" Aku tersentak, ku alihkan tatapan ku kembali kepadanya. Aku kesal ia mengganggu ku, ia hanya tertawa kecil.
"Sori deh, gue kan lagi curhat. Kok lo Kaya yang ada masalah gitu? coba cerita." Vika mengangkat satu alisnya sambil tersenyum, aku mendengus. Bingung mau cerita darimana.
"Gue kangen sama, Sam."tampak Vika mengerutkan keningnya.
"Sam, cowok lo kan?"
"Hemm.." aku menganggukkan kepala lesu.
"Ya udah sih, tinggal chat aja apa susahnya." Vika berusaha memberikan solusi, aku menggelengkan kepala.
"Dia lagi ada kuliah, gue gak mau ganggu." jawabku, membuat Vika terkejut.
"Kapan kuliah nya?"
"Baru seminggu, makanya gue lost contact sama dia."
"Oh gitu," Vika mangut-mangut, aku hanya bisa menatap layar ponsel ku nanar.