Chereads / Calon Imamku (Tamat) / Chapter 42 - episode 42

Chapter 42 - episode 42

Calon Imam ku epeisode 43

Faeyza berdiri di tepi ranjang, perasaan bercampur aduk antara penasaran dan berpikir buruk tentang seorang gadis yang kini masih duduk di tepi ranjang sang Suami sambil menggenggam tangannya, terlihat sekali kalau gadis itu sangat mengkhawatirkan Suaminya, ingin bertanya tapi ragu.

Di samping gadis itu ada seorang wanita tua yang duduk di kursi roda, terlihat sekali kalau wanita itu juga sangat sayang pada sang Suami, rasanya seperti orang tak dianggap. Ketika hendak membalikkan tubuhnya, suara Suaminya terdengar di telinga. Meski lemah tapi telinganya masih sangat jelas dan tajam.

"Iza."

"Mas, Mas sudah bangun?" Faeyza segera duduk di samping tubuh lemah pria itu dan menggenggam tangannya. Senang dan lega meski masih banyak pertanyaan yang hingga kini masih tidak bisa di lenyapkan dari pikirannya.

Zein mengedipkan matanya perlahan, ia menggulirkan pandangannya pada sepupu dan Neneknya."Rania, Nenek. Maaf, Zein sudah merepotkan kalian."

"Maulana, kamu ini bicara apa? Nenek sama sekali tidak merasa direpotkan, Nenek khawatir saat Rania bilang kalau kamu pingsan. Rania sangat sayang pada mu, dia begitu perhatian. Apakah kamu tidak perduli pada perasaannya?" Cetrine memandang cucunya tersebut prihatin, tidak tega rasanya setiap kali melihat pria lembut dan baik hati tersebut harus terus menderita.

"Tentu saja aku perduli pada Rania, Nek," balas Zein membuat Faeyza sakah paham. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya dan melangkahkan kaki meninggalkan kamar sang Suami.

Zein menatap bingung punggung Istrinya, wanita itu berubah menjadi masam. Ia mencoba untuk bangun meski tubuhya asih sangat lemah."Kak, jangan bangun dulu. Dokter bilang kondisi Kakak sangat serius, Kak, sebaiknya Kakak segera menjalani operasi. Aku takut kak, aku takut kalau sampai Kakak tidak selamat. Kakak daftarkan diri ke donor organ, jangan sampai terlambat, kakak." Rania mencoba untuk menahan sepupunya tersebut agar tidak pergi, dia tidak ingin klau kondisi pria itu semakin serius dan buruk.

"Iya, Kakak mengerti. Tapi kakak harus bicara dengan Iza, sepertinya dia sudah salah paham terhadap hubungan kita," balas Zein, ia mencoba untuk turun dari tempat tidur, baru selangkah saja, dadanya sangat sesak bahkan kembali berkeringat.

"Maulana, kamu jangan terlalu memaksakan diri. Kalau dia memang salah paham, artinya dia adalah orang yang sangat mudah untuk buruk sangka padamu. Sebagai seorang Istri, harusnya dia bersikap dewasa dan merawat mu kalau kamu sakit, bukan mementingkan emosinya seperti ini dan malah pergi meninggalkan mu," sahut Cetrine kesal pada sikap Faeyza.

"Tidak apa, Nek. Mungkin Iza hanya belum mengerti saja, aku akan menemuinya. Aku yakin kalau dia tidak akan ngambek lagi," jawab Zein sabar, dia tetap berusaha untuk berjalan mencari keberadaan Istrinya.

Faeyza berdiri di depan gerbang, tidak berani meminta penjaga untuk membukakkan gerbangnya. Kedua pria bertubuh besar dan tegap itu sangat menakutkan, jangan-jangan belum meminta tolong sudah dibantai duluan. Pikiran buruk mulai menghantui dirinya.

"Iza."

Suara lembut sang Suami menyentakkan gadis itu dari lamunan, ia pun membalikkan tubuhnya. Terlihat sang Suami dengan wajah pucat berjalan menghampirinya."Istriku, kenapa kamu pergi tanpa pamit? Bukankah kamu tahu, kalauseorang Istri itu tidak boleh keluar rumah tanpa izin sang suami?"

Faeyza masih cemberut."Iya, tapi kan mas sudah ada Rania. Dia bisa jagain mas, mas tidak memerlukan aku. Mas ... apakah Rania adalah Istri pertama kamu, mas?" memalingkan wajah dan tidak berani menatap iris safir sang Suami.

"Sayang, kenapa kamu tidak tanya dulu pada mas? Rania itu anak dari adik kandung ayahku," jelas Zein sedikit menyesal karena baru hari pertama sudah dicurigai.

Faeyza tersentak, ia memberanikan diri memandang wajah rupawan sang Suami, pria itu terlihat sedih karena merasa dicurigai.

" Dia sepupu, Mas?"

Zein mengangguk." Benar, dia adikku. Dia hanya khawatir pada ku, sudalah. Sekarang Iza mau kemana? Mas akan antarkan Iza."

" Tapi bukankah tadi Mas sakit? Kenapa ingin mengantarkan ku?" Tanya Faeyza bingung.

" Kalau tahu Mas sakit, kenapa tadi Iza meninggalkan Mas?" Balas Zein sedikit kecewa. Sekarang dirinya bahkan belum begitu sehat tapi harus berjalan dari lantai 3 menemui Istrinya.

" Ya karena aku kesal saja sama Mas, Mas tidak mengetakan apapun tentang Rania. Tapi Mas begitu lembut padanya, dia juga sangat perhatian pada Mas," sungut Faeyza, bukannya minta maaf setelah salah paham malah marah-marah.

Zein menghela nafas, ia memejamkan matanya perlahan lalu membukanya kembali." Sudah malam, kamu mau di sini atau masuk? Aku tidak akan memaksa mu, kalau kamu mau pergi, mintak tolong pada supir." Pria itu membalikkan tubuhnya menahan emosi yang ada dalam dirinya, mana ada dirinya punya kesempatan untuk menjelaskan sedangkan ketika mau melakukan itu sudah pingsan duluan.

Faeyza kesal, dia pikir Zein akan membujuknya lalu minta maaf seperti dalam komik yang sering dibaca tapi nyatanya hanya berkata seperti itu. Ia mengambil ponsel lalu menghubungi Adiknya, matanya masih memperhatikan punggung sang Suami yang semakin menjauh.

Ulfi baru saja selesai belajar ketika ponselnya berbunyi, ia langsung mengambil ponsel tersebut lalu menjawab panggilan telponnya." Iya, Kak. Kenapa menghubungi ku?"

" Mas Zein marah, aku bahkan tidak dibujuk," adu Faeyza.

" Kenapa marah? Memang kakak buat salah apa?" Tanya Ulfi penasaran. Faeyza menjelaskan kejadiannya, gadis 18 tahun itu sangat jengkel dengan sang Suami tapi juga sedih karena harus sendiri di halaman.

" Kak, kenapa Kakak Faeyza tidak tanya dulu pada Kak Zein? Tadi Kakak bilang kalau turun dari mobil Kak Zein pucat lalu wanita itu datang saat Kak Zein limbung, dan belum sempat menjelaskan karena langsung pingsan duluan. Di sini jelas kalau Kak Zein itu ingin mengenalkan Kakak pada sepupunya itu, tapi karena pingsan duluan maka tidaka sempat. Tapi Kakak langsung marah dan pergi. Kak Zein keluar dan menemui Kakak itu karena khawatir, tapi karena kakak malah ngambek dan tidak minta maaf, kak Zein juga lagi sakit, dia malas ribut. Dia tidak ingin kalau Kakak itu sedih dan nangis kalau ditegur, sudalah ... Kakak ini sudah dewasa tapi masih saja seperti anak kecil," jelas Ulfi heran dengan sikap saudaranya tersebut.

Faeyza tidak terima, dia telpon untuk mengadu agar Adiknya itu berada di pihaknya tapi malah membela Suaminya." Fi, kenapa kamu jadi membela Mas Zein? Seharusnya kamu ada di pihakku."

" Kak, Kakak itu jangan seperti anak kecil begitulah. Sudah, kan Kak Zein lagi sakit, Kakak harus masuk dan menjaganya. Jangan selalu gunakan pikiran sempit Kakak itu, kalau sampai kalian pisah, aku akan menikahi Kak Zein. Tentu saja aku tidak akan bersikap seperti anak-anak begitu," omel Ulfi, ia langsung menutup panggilan telponnya.

Faeyza menghela nafas, mencari dukungan malah dapat teguran, tapi dia juga tidak tega kalau harus ada wanita lain yang merebut Suaminya, lebih baik mengalah dulu.