Brum...
Brum...
Faeyza menoleh kebelakang, bibirnya tersenyum kerena mengira bahwa di belakang mobil mereka ada pawai motor tapi setelah diteliti lagi ternyata itu adalah kumpulan preman dengan membawa senjata tajam dan berniat untuk menyakiti orang.
"Mas, Mas." Sebelah tangannya memukul-mukuk pelan lengan sang Suami mencari perhatian.
"Ya, Sayang," balas Zein heran melihat sang Istri memanggil dirinya tapi tidak sedikit pun menoleh padanya.
"Coba Mas lihat ke belakang, di belakang mobil kita banyak sekali mobil lain yang mengikuti, Mas. Apakah menurut Mas memang ada pawai mobil dan motor, tapi kok mereka membawa senjata," jelas Faeyza heran.
Zein ikut menoleh kebelakang, ternyata apa yang dikatakan Istrinya itu benar. Ada banyak motor dan mobil yang mengikutinya dengan niat tidak baik."Tidak perlu khawatir, Mas akan telpon anak buah Mas dulu."
Faeyza mengangguk, ia mengalihkan perhatiannya pada sang Suami, menatap pria itu sedih ketika mengingat bahwa kesehatan Suaminya itu memang sedang tidak baik, jadi wajar kalau untuk menghadapi banyak orang itu mungkin tidak mampu.
"Aku sayang kamu, Mas. Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkan mu." Dia menyandarkan kepalanya di bahu sang Suami, sesungguhnya ia merasa sedih dan takut, dirinya belum siap kalau sampai harus terjadi sesuatu yang berbahaya.
"Maz tahu, kamu jangan takut. Dengan Bismillah, Allah akan selalu melindungi kita," balas Zein, ia menggenggam tangan Istri kecilnya tersebut.
"Mahesa, tolong kamu urus orang-orang yang mengikuti mobil ku. Sepertinya dia berniat tidak baik."
Mahesa adalah seorang kepala Polisi, dulu pernah bekerja menjadi pelayan dan kuliah yang membiayai juga Zein, ia merasa berhutang budi dan memutuskan untuk tetap mengikuti pria itu selama itu bukan melanggar hukum dan agama.
"Teman Maz itu, apakah seorang preman?" tanya Faeyza melihat sang Suami terlihat akrab dengan orang yang ada di telpon.
"Bukan, Mahesa itu dulu adalah pelayan. Tapi karena dia pintar, Maz tidak tega jika membiarkannya terus bekerja sebagai seorang pelayan, lebih baik dia kuliah. Mas keluarkan biaya untuk kuliahnya dan sekarang dia jadi kepala Polisi, meski begitu, dia masih tetap setia. Kalau misal Maz butuh bantuannya, dia selalu setia membantu," jelas Zein.
"Jadi orang kaya itu enak ya Maz jadi orang kaya, bisa bersedekah banyak dan menolong orang," kata Faeyza, ada rasa cemburu dalam hatinya karena tak mampu berbuat seperti apa yang dilakukan oleh sang suami.
Zein tersenyum mendengar ucapan sang Istri, gadis itu mungkin merasa kalau orang sederhana atau orang miskin tidak mampu bersedekah banyak hanya karena tak bisa memberi harta pada orang lain.
"Iza, kaya dan miskin itu sama di hadapan Allah. Pahala mereka juga sama, seribu rupiah orang miskin keluarkan untuk sedekah jika ihklas, itu sama dengan 100000 uang milik orang kaya. Karena Allah tahu, kalau orang miskin harus keluarkan uang sebanyak itu, dia tidak bisa makan. Dan... Bersedekah bukan hanya dengan uang saja, dengan senyum tulus, membantu orang dengan tenaga, pikiran. Itu semua bisa, dengan berdzikir juga bisa. Rizky itu Allah sendiri yang berikan, Allah akan melapangkan rizky pada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa yang Dia kehendaki. Jangan kecil hati, apapun yang kita lakukan selama itu baik dan ikhlas, bagi orang yang beriman pada Allah dan hari akhir, semua dinilai ibadah."
Faeyza mengangguk, setiap kata yang keluar dari mulut manis Suaminya itu selalu membuat hatinya tentram."Maz benar, yang terpenting kita harus berusaha dan berdoa kan, maz?"
"Iya benar," balas Zein.
Dor..
Prang...
Sebuah peluru melesat menembus kaca mobil pria safir tersebut, pria langsung menarik sang Istri ke dalam pelukannya. Hampir saja peluru itu mengenai kepala wanita itu."Astaghfirullahal 'adzim, tadi itu berbahaya sekali. Sepertinya mereka bukan preman biasa, karena mereka memiliki senjata api."
Jantung Faeyza berdrgup sangat cepat, takut dan panik hampir saja nyawa melayang karena peluru tidak bertanggung jawab itu.
"Maz, kita harus bagaimana? Aku takut." Dia semakin masuk ke dalam pelukan sang Suami, suaranya bergetar karena ketakutan.
"Tenang, Sayang. Kita akan baik-baik saja, Maz yakin Allah akan menolong kita," balas Zein berusaha menenangkan hati sang Istri, tangannya menepuk pelan punggung wanita tersebut sedang iris safir nya masih mengamati musuh.
"Pak, arahkan mobil ke tempat yang sepi. Di sini terlalu ramai."
"Baik, Mas." Supir tersebut mengarahkan mobil ke jalan sepi agar pertempuran mereka tidak menganggu orang lain, apa lagi mereka membawa senjata api.
"Maz, kenapa malah ke jalan sepi?" tanya Faeyza bingung, bukankah seharusnya lebih enak di tempat ramai agar ada yang memberikan pertolongan.
"Iza, kalau di tempat ramai, banyak orang yang akan terluka. Kalau di tempat sepi tidak akan terlalu banyak, mereka ini sepertinya bukan preman biasa. Senjata yang mereka miliki adalah jenis senjata api mahal, bukan barang yang beredar di pasaran. Maz yakin, di belakang mereka adalah orang-orang yang bukan biasa," jelas Zein. Dia tahu kalau Istrinya itu sangat ketakutan, terlihat dari cengkraman tangan di bajunya.
"Maz, aku takut. Aku belum punya anak, masak harus kehilangan nyawa di sini." Suaranya semakin gemetar tapi air mata tak mampu keluar.
Setelah berada di tempat yang sepi, supir itu menghentikan mobilnya, para preman yang mengejar pun ikut menghentikan motor dan mobil, satu persatu keluar dari mobil dan satu persatu pula turun dari motor.
Perlahan Zein melepaskan pelukannya, Faeyza khawatir kalau sang Suami akan terluka jika harus melawan para preman itu.
"Maz, Hati-hati. Jangan sampai Maz terluka, aku tidak rela."
Zein mengangguk dan tersenyum, ia senang karena dikhawatirkan. Setelah malam pertama, wanita 18 tahun itu sekarang lebih agresif dan ingin sslalu menempel padanya.
Dari kejauhan, iris safir melihat mobil milik Tanvir. Sepertinya dugaannya memang benar kalau orang yang berada di balik penyerangan dirinya adalah sang Adik tercinta.
"Apakah Tanvir ingin kalian membunuh ku?" langsung dan tidak basa- basi.
"Kalau benar kenapa?!" balas pimpinan geng itu.
Zein tersenyum tipis." Katakan padanya, kalau memang ingin membunuh ku, suruh datang sendiri. Aku akan senang hati menerima tantangannya."
Para preman itu saling berpandangan, mereka pun mengeluarkan ponsel lalu menghubungi Bossnya.
"Ya, kenapa kalian belum melakukan tugas yang aku berikan?!" Tanvir kesal melihat anak buahnya masih diam di depan saudaranya.
Zein mengambil ponsel preman tersebut tanpa disadari dan tanpa bisa dicegah.
"Adikku, kenapa kau harus menghamburkan uang dengan menyewa orang seperti ini? Bukankah kau bisa datang menemui ku, apakah ini karena Faeyza terlihat sangat perduli pada ku? Apakah perkataan mu tadi pagi itu ternyata hanya tipuan?!"
Tanvir tercekat, dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan saudaranya tersebut, ada perasaan bersalah tapi ia juga tidak bisa berkata jujur.
Apa yang harus dilakukan sekarang?
Saudaranya itu terlalu pintar untuk menyadari, kalau bukan karena kondisi tubuhnya yang tidak sehat, jelas dirinya tidak akan mampu kalau harus bertarung.