Calon ImamKu Sembilan.
Impian seorang wanita adalah ketika bisa mendapatkan seorang suami yang mampu menjadi imam untuk dunia akhirat. Tanvir memperhatikan Faeyza, ia dapat melihat tatapan kekaguman dari gadis cantik itu untuk kakaknya, ada perasaan tidak rela kalau gadis itu harus bersama orang lain.
"Kak Zein, bagaimana kalau kakak segera menikah? Ayah dan Ibu sudah tidak sabar menimang cucu," kata Tanvir mengalihkan perhatian.
"Tanvir, aku juga berharap begitu. Tapi hingga kini, belum ada seorang gadis yang menarik perhatian ku, mungkin Allah belum mengirimkan jodoh yang pantas untukku," balas Zein.
"Kak, menurut mu aku dan Faeyza cocok tidak?" tanya Tanvir lagi, ia mengarahkan pandangannya pada gadis pujaan hatinya, sengaja melakukan itu agar Zein tidak menaruh perhatian pada gadis tersebut.
Faeyza dan Rico hampir saja tersedak ludah sendiri mendengar pertanyaan pria safir tersebut, baru juga kenal kemarin sekarang sudah menanyakan kecocokan, apakah itu tidak terlalu dini?
"Tanvir, kamu jangan bicara sembarangan. Kita baru juga kenal kemarin, kenapa sekarang kamu bertanya tentang kecocokan? Kamu pikir ini kisah dalam novel," omel Faeyza jengkel.
"Za, kita memang baru bertemu kemarin. Tapi aku sudah merasa kalau aku menyukaimu, lagi pula … apakah kamu tidak merasa kalau aku ini cocok dengan mu?" balas Tanvir sedikit kesal karena gadis itu terang-terangan menolaknya.
"Tapi… apa yang dikatakan oleh Faeyza itu sepertinya benar, Fir. Karena aku saja yang berusaha mendapatkan perhatiannya dia menolak terus, Faeyza itu mencari calon suaminya, yaitu seorang pria berjubah putih dan bersyal merah yang mengatakan bahwa dia itu adalah calon istrinya," timpal Rico seakan melupakan kalau baju yang digunakan Zein sama persis seperti yang digambarkan.
"Dasar mulut ember, tidak lihat apa kalau apa yang dikatakan itu samma persis dengan Zein, membuat orang malu saja," batin Faeyza jengkel, matanya mendelik tajam.
"Ehem, maaf. Kalau begitu saya pergi dulu." Zein merasa tidak enak hati kalau bersama dengan orang-orang yang selalu mencari suami dari mimpi. Ia menoleh pada adiknya.
"Tanvir, bagaimana kalau kita cari tempat saja?"
Syehan Tanvir Mizan mengangguk, ia sebel juga karena mereka berdua terus membicarakan seseorang yang ada dalam mimpi. Dia pun menggandeng lengan kakaknya, hingga orang mengira kalau mereka akan pasangan sesama jenis padahal saudara kandung.
Zein sama sekali tidak keberatan, karena memang sejak kecil adiknya itu sangat manja hingga sering orang salah paham terhadap hubungan mereka. Sementara itu, Faeyza langsung mencubit lengan sahabatnya hingga pria itu mengaduh kesakitan.
"Za, sakit tahu. Tangan mu itu ringan banget si kalau suruh mencubit orang," omel Rico jengkel, tangannya terlihat kecil tapi cubitannya sungguh sangat menyakitkan.
"Ya kamu si, sudah tahu kalau baju yang dipakai kakaknya Tanvir itu mirip dengan pria yang ada dalam mimpiku, kamu masih menceritakannya. Kamu ingin membuat aku malu di hadapannya?!" omel Faeyza kesal.
"Bukan begitu, Za. Tapi kenapa juga kamu harus merasa malu? Kamu kan tidak memiliki rasa pada kakaknya Tanvir, masak si kamu suka pada orang yang agamis begitu? Kemana-mana menggunakan jubah, tapi … jubahnya itu terlihat sangat bagus, modelnya mirip seperti wali jaman dulu," kata Rico tidak percaya kalau orang yang disukai oleh sahabatnya itu orang yang menurutnya tidak gaul.
"Memangnya kenapa? Orang yang agamis atau religius itu bagus tahu, dia bisa menjadi imam dunia akhirat," sewot Faeyza tidak terima ada orang yang menghina atau meragukan Zein. Baginya seorang pemimpin yang baik itu adalah orang yang religius.
"Za, kamu jangan hanya melihat orang itu dari penampilannya. Kamu lihat sendiri, banyak orang zaman sekarang teerlihat sok alim nyatanya kelakuannya mirip hewan," jawab Rico masih ngeyel.
"Siapa yang menilai orang dari penampilannya?! kamu sendiri yang tadi mengatakan kalau kakaknya Tanvir itu agamis. Ric, kamu jangan suka lihatin berita begituan, nanti kamu akan selalu berpikir bahwa orang yang memiliki gelar suci itu sama dengan seorang yang akalnya rusak. Yang namanya gelar pengajar, seperti Guru, Ustad dan yang lainnya, itu adalah gelar suci, kalau orangnya ya nggak tahu. Banyak orang yang ngaku ustad kelakukannya aneh, tapi bukan berarti jika seorang ustad akan melakukan tindakan seperti itu, bukan ustadnya yang seperti itu, melainkan orang yang menyalah gunakan gelar itu hanya untuk berbuat kemaksiatan." Faeyza menjelaskan sekaligus membantah ucapan sahabatnya tersebut.
Rico tidak tahu lagi harus berkata apa, berbicara dengan wanita satu ini memang sangat sulit kalau sudah seperti ini. Tidak pernah mau mendengarkan orang lain dan selalu saja mau menangnya sendiri.
"Kalian membahas apa?" Nita yang baru saja datang merasa heran dengan kedua sahabatnya tersebut, pagi-pagi baru datang langsung melihat orang ribut tidak jelas.
Rico dan Faeyza mengalihkan perhatiannya pada gadis cantik tersebut."Nit, kenapa kamu baru datang? Kamu tidak lupakan kalau sekarang kita ada tugas, nanti pak Maulana akan datang. Aduh … aku selalu merasa dag dig dug ser setiap kali kelas pak Maulana," kata Rico.
"Kenapa harus seperti itu? Memangnya kamu jatuh hati padanya?" tanya Nita heran dengan temannya tersebut.
"Tentu saja bukan, mana ada aku jatuh cinta pada seorang pria. Aku dari dulu mengejar Faeza hingga kini belum berhasil malah ada saingan cinta baru, kamu tahu tidak kalau Tan-."Ucapan Rico terpotong karena mulut pria itu ditampol buku oleh Faeyza, dia jengkel dengan mulut ember tersebut.
"Tan … Tan apa?" Nita menatap kedua orang tersebut bergantian, ia sama sekali tidak mengerti kenapa kedua temannya itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Nita, apakah kamu menyukai Tanvir?" tanya Faeyza penasaran, dia tidak akan pernah merebut seorang pria yang telah menjadi incaran sahabat sendiri.
Wajah Nita langsung bersemu merah hanya dengan pertanyaan semacam itu, ada sebuah perasaan malu hanya dengan mendengar nama seorang pria yang telah menarik perhatiannya.
"Nit, kamu jatuh cinta pada Tanvir?" tanya Rico tidak percaya, selama bertahun-tahun mengenal gadis itu, mulai dari SMP hingga kuliah, belum pernah ada satu pun pria yang berhasil menarik perhatiannya.
"I-iya, sebenarnya aku sudah menyukainya saat pertama kali dia datang. Tapi … tapi aku merasa kalau dia tidak menyukai ku dan justru menyukai Faeyza, aku tidak mungkin mengatakannya." Nita menundukkan kepala tak berani menatap kedua sahabatnya tersebut.
Faeyza melirik Rico seakan mengatakan"sudah tahu bukan?" gadis itu tersenyum melihat sahabatnya akhirnya bisa menemukan orang yang mampu menggugah hatinya.
"Nit, kamu jangan seperti itu. Cinta itu adalah anugrah, kalau kamu memang menyukaiu Tanvir, kamu datang saja padanya dan langsung katakan kalau kamu menyukainya. Aku yakin kalau Tanvir akan mengerti, bisa jadi kalian itu memang jodoh."
Rico mengangguk setuju, dengan adanya Nita kemungkinan kalau pria bermata safir itu tidak akan lagi berusaha mengejar Faeyza hingga dirinya bisa menjadi lebih leluasa.